“Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering”
[Karl Marx dalam “Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right”]
Seorang filsuf Jerman kenamaan, Karl Marx, menyampaikan bahwa,
“Penderitaan agama, dalam suatu waktu tertentu, merupakan ekspresi dan
perlawanan terhadap penderitaan yang sesungguhnya.” Iman yang benar,
seringkali disampaikan secara mengesankan, dalam rangka memprotes
kegetiran kemanusiaan.
Berbanding lurus dengan hal ini, Marx mengajukan kritik, “
Die Religion … ist das Opium des Volkes!”
(Agama adalah candu bagi rakyat). Dengan segala kekecewaan yang
mendalam terhadap “institusi” keagamaan, penulis buku “Das Kapital:
Kritik der politischen Ökonomie” (1867) ini memilih untuk tidak beragama
sampai akhir hayatnya. Ia menganggap, tidak ada gunanya beragama bila
tidak memberikan kontribusi apa pun bagi kemerosotan martabat
kemanusiaan. Idenya, sesungguhnya dapat kita maklumi.
Fenomena
Marx ini memberikan pelajaran bahwa, bukan berarti tidak ada institusi
agama yang menuntun kepada iman dan keberpihakan terhadap kemanusiaan
sekaligus. Di balik kekecewaan seorang atheis ini, secara psikoanalisis,
masih terbersit pengharapan terhadap perjuangan agama. 45 tahun
kemudian, di ruang dan waktu yang berbeda, lahirlah Persyarikatan
Muhammadiyah.
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 18 November 1918.
Misi utamanya adalah menghimpun anggota untuk menjadi para pengikut Nabi
Muhammad, yang siap berjuang untuk tegaknya agama dan kemanusiaan
(Alfian, 1989). Sebagai institusi keagamaan, Muhammadiyah memiliki
fungsi strategis mengupayakan perjuangan pemihakan kemanusiaan.
Konteks sosial saat itu, memang diwarnai dengan kemiskinan yang
sangat memprihatinkan. Di bawah kolonialisme dan imperialisme Belanda,
rakyat kecil mustahil mendapatkan martabatnya. Hari demi hari menjalani
hidup, tanpa kepastian keadilan dan kesejahteraan. Harta, benda, jiwa,
raga dan martabat tercerabut demi kepentingan para penjajah.
Kompleksitas penderitaan rakyat semakin tinggi, ketika kultur yang
ada saat itu adalah feodalisme. Pemimpin setempat bukan membela
rakyatnya, tetapi malah memeras dan merampas hak-hak rakyat, atas nama
moral kerajaan. Di samping itu, kehidupan keagamaan yang ada, sangat
syarat dengan mistik dan fatalisme yang merusak mental. Manifestasi
Islam, dipenuhi dengan praktik ritual gaib yang tidak masuk akal. Pendek
kata, dekadensi kemanusiaan terjadi secara merata, khususnya bagi kaum
melarat.
Tentu
saja hal ini menguras pikiran Dahlan. Sebagai ahli agama yang mengikuti
ide-ide kritis intelektual Mesir seperti Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha, ia kemudian berijtihad. Baginya, tidak ada jalan lain kecuali
melakukan perlawanan. Terinspirasi dari pesan-pesan kemanusiaan dalam
Surat al-Ma’un, ia mulai melakukan propaganda ideologis kepada umat.
“Kita hanyalah pendusta agama, bila belum memberikan kontribusi dan
kemanfaatan di hadapan kemanusiaan.”