IMM STAIM Bima:
Atas dasar ini, mungkin ungkapan yang sesuai dengan konteks
kekinian adalah pernyataan bahwa hijab adalah sebuah bentuk kasih sayang. Allah
swt menciptakan manusia dengan bentuk terbaik dan kaum hawa merupakan
cerminan terbaik dari hal tersebut. Namun, sebagaimana kita saksikan di dunia
nyata kecantikan dan keelokan setiap wanita berbeda satu sama lain. Dari sini,
apakah perempuan yang dikenal sebagai makhluk yang penuh perasaan tidak akan
tersentuh hatinya saat dikatakan kepadanya: Tidakkah engkau merasa
kasihan pada sesama jenismu yang tidak memiliki keelokan seperti dirimu?
Tidakkah engkau merasa iba terhadap mereka yang kehilangan cinta dan kasih
sayang suaminya karena penampakan tubuhmu?
Pendahuluan
Buah nangka yang sudah dibelah, selain akan kehilangan cita
rasa, aroma dan keistimewaan yang dimiliki, juga tidak akan selamat dari
serbuan lalat dan serangga lainnya. Begitu juga dengan perempuan, ketika dia
selalu memamerkan kecantikan dan keindahan tubuhnya, laki-laki hidung belang
dan makhluk jenis ini akan segera datang untuk menikmatinya.[1]
Dan Islam sebagai agama yang sempurna datang menawarkan solusinya.
Hijab adalah sebuah proteksi yang dapat menjaga seorang wanita
dari pelecehan.. Hanya saja ungkapan semacam ini cakupannya sempit dan hanya
akan dimengerti dan diamalkan oleh mereka yang meyakini Islam. Sedang bagi yang
tidak meyakininya, terlebih mereka yang senantiasa mengusung panji feminisme
dan atribut-atribut semisalnya akan sangat sulit menerima ungkapan di atas.
Karena secara emosional penjagaan memberikan konotasi defensif, sebuah
perlawanan yang terpaksa dilakukan. Ini jelas sulit diterima oleh
kelompok-kelompok tadi yang selalu meneriakkan yel-yel kebebasan (menurut
asumsi mereka).
Atas dasar ini, mungkin ungkapan yang sesuai dengan konteks
kekinian adalah pernyataan bahwa hijab adalah sebuah bentuk kasih sayang. Allah
swt menciptakan manusia dengan bentuk terbaik dan kaum hawa merupakan
cerminan terbaik dari hal tersebut. Namun, sebagaimana kita saksikan di dunia
nyata kecantikan dan keelokan setiap wanita berbeda satu sama lain. Dari sini,
apakah perempuan yang dikenal sebagai makhluk yang penuh perasaan tidak akan
tersentuh hatinya saat dikatakan kepadanya: Tidakkah engkau merasa kasihan
pada sesama jenismu yang tidak memiliki keelokan seperti dirimu? Tidakkah
engkau merasa iba terhadap mereka yang kehilangan cinta dan kasih sayang
suaminya karena penampakan tubuhmu?
Agama Islam selain agama yang penuh kasih, juga merupakan agama
yang paling komplit; tidak ada sebuah perbuatan kecuali memiliki hukum
tersendiri. Begitu pula masalah hijab. Perlu diperhatikan, hijab (menutup
aurat) sudah ada pada agama-agama sebelum Islam, jadi hijab bukan inovasi agama
terakhir ini. Bahkan, lebih jauh lagi manusia pertama, Adam a.s. yang pada saat
itu belum memiliki syariat telah memahami bahwa penampakan aurat adalah hal
yang sangat buruk dan aurat tak seharusnya ditampakkan, sebagaimana al-Qur’an
menyebutnya dengan sau’at.[2]
Dalam kesempatan ini kita akan mencoba membahas pensyariatan hijab dalam
Islam beserta batasan-batasannya.
Pensyariatan Hijab
Pensyariatan hijab di dalam Islam, dapat ditetapkan dengan empat
dalil; dalil al-Quran, hadis, sirah (sejarah) dan akal. Masing-masing dari
empat dalil tersebut cukup bagi kita untuk menetapkan pensyariatan hijab bagi
kaum wanita.
1. Menurut al-Quran
Ayat terpenting yang menetapkan kewajiban berhijab pada kaum wanita yang akan
kita bahas adalah ayat ke-31 surat an-Nur dan ayat ke-59 surat al-Ahzab. Allah swt
dalam surat an-Nur ayat ke 31 berfirman:
وَ قُلْ لِلْمُؤْمِناتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصارِهِنَّ وَ يَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَ لا يُبْدينَ
زينَتَهُنَّ إِلاَّ ما ظَهَرَ مِنْها وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلى
جُيُوبِهِنَّ وَ لا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبائِهِنَّ
أَوْ آباءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنائِهِنَّ أَوْ أَبْناءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني أَخَواتِهِنَّ أَوْ
نِسائِهِنَّ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُنَّ أَوِ التَّابِعينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى
عَوْراتِ النِّساءِ وَ لا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ ما يُخْفينَ مِنْ
زينَتِهِنَّ وَ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَميعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(Wahai Rasulullah) Dan katakanlah kepada kaum
wanita yang beriman agar mereka menahan pandangan mereka dan menjaga
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali sesuatu
yang (biasa) tampak darinya. Hendaknya mereka menutupkan kerudung mereka ke
dada mereka (sehingga dada mereka tertutupi), janganlah menampakkan perhiasan
mereka kecuali untuk suami-suami mereka, atau ayah dari suami-suami mereka atau
putra-putra mereka, atau anak laki-laki dari suami-suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki
mereka, atau anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita mereka atau budak-budak mereka atau laki-laki (pembantu di rumah)
yang tidak memiliki syahwat atau anak kecil yang tidak paham terhadap aurat
wanita. Dan janganlah kalian mengeraskan langkah kaki kalian sehingga diketahui
perhiasan yang tertutupi (gelang kaki). Wahai orang-orang yang beriman
bertaubatlah kalian semua kepada Allah swt supaya kalian termasuk orang-orang
yang beruntung.[3]
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini
adalah sebuah kisah yang dinukil dari Imam Muhammad Baqir a.s. Beliau bersabda:
“Pada satu hari, di kota Madinah ada
seorang wanita cantik yang sedang berjalan dengan mengikatkan kerudungnya ke
telinganya (yang menjadi kebiasaan wanita pada saat itu) sehingga tampak leher
dan dadanya. Seorang laki-laki dari golongan Anshar berpapasan dengannya,
karena kecantikan wanita tersebut dia terpesona dan tidak peduli akan keadaan sekelilingnya,
dia telah mabuk akan kemolekan wanita tersebut. Sang wanita memasuki gang
sempit, sedang pandangan laki-laki tersebut terus membuntutinya sampai tak
terasa dia terbentur sebuah benda keras dan tajam sejenis tulang atau kayu yang
menjorok dari tembok sehingga kepala dan dadanya mengucurkan darah segar yang
melumuri pakaiannya.Dalam keadaan seperti itu dia datang menghadap Rasulullah
saw dan menuturkan semua yang terjadi. Pada saat itulah, malaikat Jibril a.s.
datang membawa ayat ini.”[4]
Dalam ayat di atas kita mendapatkan kataابصار yang merupakan bentuk
jamak
dari kata بصر. Untuk memahami ayat tersebut secara
mendalam, lazim bagi kita mengetahui perbedaan antara بصر dan عين.
Walaupun keduanya sama-sama dipakai untuk nama dari anggota tubuh
manusia yaitu
mata, akan tetapi keduanya memiliki makna yang berbeda. عين hanya
bermakna mata bukan penggunaannya, sedang بصر memiliki makna mata dengan
penggunaannya yang dalam bahasa
Indonesia kita sebut dengan pandangan. Kita perlu membahas perbedaan
kedua
kalimat di atas untuk mengetahui bahwa maksud dari ayat di atas adalah
menutup
pandangan bukan menutup mata (ان يغضضن من ابصارهن). Begitu juga dengan
kata يغضضن yang bersumber dari غضي, kita harus mengetahui perbedaan
dengan kata غمض; arti dari kata terakhir adalah menutup mata
sedang غض
adalah menundukkan
pandangan.
Dari ayat di atas kita dapat
menyimpulkan beberapa poin penting, di antaranya:
- Hendaknya kaum
wanita menutup pandangan mereka dari pandangan yang penuh syahwat kepada
laki-laki non muhrim.
- Wajib bagi kaum
wanita menutupi auratnya dari laki-laki non muhrim.
- Wajib bagi kaum
wanita menutupi badan dan perhiasan mereka.
- Diperbolehkan
bagi kaum wanita untuk menampakkan badan dan perhiasan mereka di hadapan para
muhrimnya.
Setelah Allah swt memerintahkan kewajiban menutup pandangan kaum
wanita dari laki-laki non muhrim dan menutup aurat mereka dari pandangan orang
lain, Allah swt memerintahkan untuk menutupi perhiasan wanita. Mungkin masalah
menutup perhiasan merupakan masalah yang penting sehingga disebutkan dua kali
dalam satu ayat. Makna perhiasan juga sangat jelas bagi kita yaitu setiap
sesuatu yang menambah keindahan wanita dan dipahami oleh masyarakat umum,
seperti gelang, kalung, anting dan lainnya. Perhiasan ini ada yang dapat
dipisahkan dari badan wanita dan ada yang tidak dapat dipisahkan dari badan
seperti dandanan pada wajah seorang wanita atau perhiasan
alami/natural seperti rambut wanita atau yang lain.
Contoh larangan Allah swt terhadap penampakan perhiasan di awal-awal
Islam adalah larangan-Nya terhadap para wanita untuk memperlihatkan kakinya
ketika berjalan sehingga perhiasan yang tersembunyi (gelang kaki) terdengar
oleh non muhrim.[5]
Di dalam surat an-Nur juga tertera larangan
Allah bagi kaum wanita untuk tidak menampakkan perhiasan dengan pengecualian
yaitu “kecuali yang sudah tampak الا ما ظهر منها “. Dari kalimat ini, kita
dapat memahami bahwa perhiasan wanita ada dua macam, perhiasan yang tampak dan
yang tidak tampak (juga jika wanita secara sengaja menampakkannya).
Para ahli tafsir berbeda pendapat satu sama lain
dalam menjelaskan kalimat ini الا ما ظهر منها) (, dan memaknainya dengan makna yang
beragam. Thabari dalam tafsirnya menyebut hampir dua puluh macam pendapat dari
ungkapan [6]الا ما ظهر منها . Di
antaranya adalah:
Oleh karena itu, dalam hal ini kita harus merujuk kepada Marja’ kita masing-masing untuk
menentukan apa saja yang diperbolehkan terlihat.
Akan tetapi, dari ayat di atas dan juga menurut kesepakatan para
ahli fiqih Islam, dapat disimpulkan bahwa haram memakai segala sesuatu yang
menurut uruf (tradisi) sebagai
perhiasan di hadapan non muhrim seperti gelang, kalung, anting, kaca mata, jam
tangan (yang menurut tradisi dianggap sebagai perhiasan), dandanan wajah dan
tangan, kuku panjang atau kuku yang diwarnai, gelang kaki, cincin, baju dan
sepatu yang dari segi warna, model, dan semacamnya dihitung sebagai perhiasan.[7]
Ayat lain yang berisi larangan menunjukkan perhiasan adalah ayat
ke 33 surat al-Ahzab. Dalam surat ini Allah swt berfirman: “...Dan diamlah kalian di rumah-rumah kalian dan
janganlah kalian tunjukkan perhiasan kalian sebagaimana yang dilakukan di
zaman jahiliyah.” Walaupun pada dasarnya ayat ini ditujukan kepada
istri-istri Rasulullah saw, akan tetapi perintahnya juga mencakup semua wanita
muslim. Oleh karena itu, di akhir ayat ke-31 dari surat an-Nur dapat dipahami
bahwa wanita yang menunjukkan perhiasannya termasuk orang-orang yang
berdosa, sehingga Allah swt memerintahkannya untuk bertaubat: “Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian
kepada Allah swt sehingga kamu termasuk orang-orang yang menang.”
Interpretasi dari penggalan ayat وليضربن بخمرهن علي
جيوبهن adalah bahwa al-Qur’an juga menjelaskan kepada kita tentang batasan hijab yang
diinginkan oleh Islam. Karena pada zaman dahulu, wanita-wanita jahiliah memakai
pakaian yang tidak menutupi leher dan dada. Oleh karenanya Allah berfirman: “Dan tutuplah leher kalian dengan kerudung kalian”.
Ibnu Abbas, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan: ”Wanita hendaknya menutupi rambut, leher dan bawah
dagu mereka.”[8]
Maksud dari او نسائهن dari ayat di atas memiliki tiga
kemungkinan:
- Mereka adalah
wanita muslim, maka maksudnya wanita non muslim tidak termasuk muhrim dan
wanita muslim wajib menutup auratnya di hadapan mereka.
- Mereka adalah
wanita secara mutlak baik itu wanita muslim atau selain muslim.
- Maksud dari kata
nisa’ itu adalah wanita-wanita
yang berada di dalam rumah seperti para pembantu.
Ayatullah Murthadha Muthahari menolak mentah-mentah makna yang
ketiga, menganggap lemah makna yang kedua dan meyakini bahwa makna yang pertama
lebih kuat. Karena makna pertama ini juga dikuatkan oleh beberapa riwayat yang
melarang wanita muslim untuk membuka auratnya di hadapan wanita-wanita Yahudi
dan Nasrani karena dikhawatirkan mereka akan menceritakan kecantikan wanita
muslim kepada suami atau saudara mereka.[9]
Sedangkan kalimat او ما ملكت ايمانهن
memiliki dua kemungkinan:
· Yang dimaksudkan
oleh ayat tersebut adalah khusus budak perempuan.
· Budak
secara mutlak, yang mencakup budak perempuan atau laki-laki.
Jika kita merujuk pada berbagai riwayat, tampaknya pendapat
kedua (budak laki-laki dan perempuan) lebih kuat, seperti dalam suatu riwayat
dari Imam Shadiq as. Seseorang menceritakan kepada Imam Shadiq a.s. bahwa
orang-orang Madinah selalu mengirim budak-budak laki-laki mereka untuk menemani
istri-istri mereka pergi ke satu tempat dan terkadang ketika istri-istri mereka
ingin menunggangi kuda, mereka meminta bantuan budak mereka dengan memegang
pundaknya. Imam Shadiq a.s. ketika mendengar hal ini menjawab: “Hal ini tidak
dilarang berdasarkan ayat 55 surah al-Ahzab.”[10]
Selanjutnya, dari kalimat التابعين غير اولي الاربة terlihat jelas bahwa maksud dari kalimat
tersebut adalah orang-orang gila dan orang yang terbelakang secara mental yang
tidak memiliki syahwat dan tidak tertarik dengan keindahan wanita.[11]
Adapun tentang anak kecil yang tidak tahu menahu tentang aurat
wanita, memiliki dua penafsiran:
Pertama: anak-anak
kecil yang tidak tahu tentang perkara-perkara yang tersembunyi dari seorang
wanita dan biasa kita sebut anak kecil yang belum mumayyiz.
Kedua: anak-anak
kecil yang tidak mampu memanfaatkan perkara-perkara yang tersembunyi dari
seorang wanita dan bisa kita sebut anak kecil yang belum baligh.
Berkenaan dengan penggalan ayat ولا يضربن wanita-wanita pada zaman dahulu biasanya
memakai gelang kaki, dan supaya gelang kaki mereka diketahui orang lain mereka
mengeraskan langkah mereka. Sebenarnya penggalan ayat ini ingin mengatakan
bahwa Allah melarang segala sesuatu yang menarik perhatian laki-laki non
muhrim, seperti memakai parfum yang wanginya dapat tercium orang lain ataupun
menghias wajah dan semua yang membuat hati laki-laki tergerak dan menjadi pusat
perhatian mereka.
Ayat lain yang menyinggung tentang pensyariatan hijab adalah
ayat ke-59 surah Ahzab. Allah swt dalam ayat tersebut berfirman:
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْواجِكَ وَ بَناتِكَ وَ نِساءِ
الْمُؤْمِنينَ يُدْنينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذلِكَ أَدْنى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَ كانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحيماً
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu
dan kepada wanita-wanita mukmin agar mereka mendekatkan diri kepada mereka
dengan jilbab mereka supaya mereka mudah dikenal dan supaya mereka tidak
diganggu maka sesungguhnya Allah Maha mengampuni dan Maha Penyayang.
Berkenaan dengan kondisi turunnya ayat ini,
dalam tafsir Ali bin Ibrahim al-Qumi disebutkan:
Pada saat itu kaum wanita pergi ke masjid dan
shalat di belakang Rasulullah. Saat mereka menuju masjid untuk menunaikan
shalat Magrib atau Isya’ para remaja nakal yang duduk di pinggir jalan,
mengejek atau mengolok-olok mereka. Lalu turunlah ayat ini [12]
yang memerintahkan mereka memakai hijab sempurna supaya mereka dikenal
seutuhnya dan tidak ada alasan lagi untuk mengolok-olok mereka.[13]
Dalam ayat ini ada dua poin yang
harus diperhatikan:
Pertama, apakah maksud dari jilbab yang disebutkan dalam ayat? Dan
apakah maksud dari kalimat “hendaknya mereka mendekatkan diri dengannya”?
Kedua, apa maksud dari faedah perintah hijab
yang dalam kalimat di atas disebutkan (agar
mereka dapat dikenal dan tidak diganggu)? Namun karena poin kedua
ini harus dibahas secara tersendiri dalam filsafat hijab, maka kami tidak
akan mengulasnya.[14]
Menjawab poin pertama merupakan hal yang terasa cukup sulit,
karena terjadi silang pendapat di antara para mufassir dan ahli bahasa. Ragib
Isfahani dalam kitabnya, Mufradat al-Fadzil
Qur’an menyebutkan, jilbab
adalah baju kurung dan kerudung.[15]
Makna jilbab menurut para mufassir adalah sebagai berikut;
pertama, kerudung panjang yang
menutupi kepala (rambut) dan dada. Kedua,
jilbab (kerudung biasa). Ketiga,
baju yang besar. Namun
titik temu dari semua arti di atas adalah kain yang dapat menutupi badan.
Namun, mayoritas mufassir berkeyakinan bahwa maksud dari jilbab dalam
ayat tersebut adalah kain yang lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari chadur, sebagaimana ditegaskan oleh
penulis kitab Lisanul Arab.[16]
Kemudian, kata يدنين di sini berarti memakai. Tidak di semua tempat kata ini berarti
demikian, kita harus melihat konteks kalimatnya sebagaimana dalam ayat ini.
Maksud dari kata يدنين adalah agar para wanita mendekatkan jilbab
mereka ke badan mereka supaya dapat dikontrol, tidak terlalu besar sehingga
terkadang tersingkap [17] (jika tertiup angin atau lainnya).
2. Menurut Hadis
Banyak hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang membahas tentang hijab, oleh
karenanya perlu kita pilah-pilah dan kelompokkan riwayat-riwayat tersebut dalam
beberapa kategori.
a. Hadis tidak diwajibkannya menutup wajah dan telapak tangan
Mas’adah bin Ziyad menukil dari Imam Ja'far Shadiq a.s. ketika
beliau ditanya tentang perhiasan yang boleh untuk ditampakkan, Imam
menjawab:”Wajah dan telapak tangan.”[18]
Mufaddhal bin Umar bertanya kepada Imam Shadiq a.s. tentang
wanita yang meninggal di perjalanan dan di sana tidak ada laki-laki muhrim atau
wanita yang memandikannya. Imam menjawab: “Anggota-anggota tubuh yang wajib
untuk ditayamumi hendaklah dibasuh akan tetapi tidak boleh menyentuh badannya,
dan juga tidak boleh menampakkan kecantikan yang Allah wajibkan untuk ditutupi. Mufaddhal bertanya kembali: “Bagaimana
caranya?” Imam menjawab: “Pertama membasuh bagian dalam telapak tangan,
kemudian wajah dan bagian luar tangannya.”[19] Dari sini kita dapat memahami
bahwa tangan dan wajah bukan termasuk anggota badan yang wajib untuk ditutupi.
Ali bin Ja'far ditanya tentang batasan seorang laki-laki
dapat melihat wanita non muhrim, Imam menjawab: “Wajah, telapak tangan dan
pergelangan tangan.”[20]
Dalam hadis lain juga
disebutkan bahwa pada suatu hari Jabir bin Abdullah bersama Rasulullah menuju
rumah putrinya Sayyidah Fathimah. Sesampainya di pintu rumah, Rasulullah
mengucapkan salam dan meminta izin kepada putrinya untuk masuk sambil
memberitahukan bahwa dia bersama Jabir bin Abdullah. Sayyidah Fathimah meminta
beliau untuk menunggu sebentar karena pada waktu itu beliau belum menutup
rambutnya. Setelah Sayyidah Fathimah menutup rambutnya, Rasulullah dan Jabir masuk
ke rumah Sayyidah Fathimah. Rasulullah melihat wajah putrinya pucat dan
kekuning-kuningan, kemudian bertanya mengapa hal ini terjadi. Sayyidah Fathimah
menjawab bahwa wajah pucatnya dikarenakan rasa lapar yang menderanya.
Mendengar hal itu Rasulullah langsung berdoa kepada Allah agar menghilangkan
rasa lapar yang diderita oleh putrinya.[21]
Dari hadis di atas kita dapat mengambil dua kesimpulan: pertama, Sayyidah Fathimah tidak
menutup wajahnya di hadapan laki-laki non muhrim. Kedua, tidak wajib menutup wajah di hadapan laki-laki non
muhrim.
b. Hadis tentang diwajibkannya berhijab di hadapan Yahudi dan Nasrani
Imam Shadiq a.s. bersabda: “Tidak dibenarkan seorang wanita
muslim menampakkan auratnya di hadapan wanita Yahudi dan Nasrani, karena mereka
akan menceritakan ciri-ciri jasmaninya kepada suami-suami mereka.”[22]
c. Hadis tentang ciri-ciri dan waktu hijab
Imam Shadiq a.s. bersabda: “Bukan termasuk maslahat jika wanita
memakai kerudung dan baju yang tipis.”[23]
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bersabda: “Selamat bagi
kalian yang memakai baju yang tebal, karena sebenarnya orang yang memakai baju
yang tipis maka imannya pun tipis.”[24]
Imam Shadiq a.s. bersabda: “Cukuplah sebagai tolok ukur kehinaan
seseorang ketika dia memakai baju yang menyebabkan kemasyhurannya.”[25]
Imam Shadiq bersabda: “Rasulullah Saw selalu melarang laki-laki
untuk menyerupai wanita dan melarang wanita untuk menyerupai laki-laki dalam
segi berpakaian.”[26]
d. Hadis tentang balasan bagi mereka yang tidak berhijab
Rasulullah saw bersabda: “Wanita yang di neraka menggantungkan
dirinya dengan rambutnya adalah wanita yang tidak menutup rambutnya di hadapan
selain muhrim.”[27]
Rasulullah saw bersabda: “Dua golongan penghuni Jahanam belum
pernah aku lihat. Kelompok yang disiksa dengan sebuah pecut (menyerupai ekor
sapi). Kedua para wanita yang berbusana namun telanjang (mereka yang mengenakan
baju tipis dan transparan)...”[28]
Dengan melihat dan memperhatikan beberapa hadis di atas, maka
jelaslah bagi kita bahwa Allah swt telah mewajibkan hijab bagi wanita
muslimah.
3. Menurut Sirah (Sejarah) dan Akal
Untuk menetapkan kewajiban hijab bagi kaum wanita, kita juga bisa merujuk sirah kaum wanita muslimah pada zaman
Rasulullah. Mereka selalu menutupi tubuh dan rambut mereka ketika berada di
hadapan non muhrim,[29] seperti yang kita lihat dari hadis tentang kedatangan
Rasulullah bersama Jabir ke rumah Sayyidah Fathimah as.
Begitu juga dengan akal manusia, akal manusia juga dapat
membuktikan kewajiban hijab bagi kaum wanita. Akal akan senantiasa
memerintahkan segala perbuatan yang membawa manfaat dan akan memerintahkan
untuk melakukan hal itu, begitu juga sebaliknya akal akan selalu memperingatkan
manusia dari hal-hal yang membahayakan manusia.
Oleh karena itu,
ketika melihat bahwa hijab akan memberikan keamanan, ketenangan atau dapat
memupuk rasa cinta kasih di antara sesama maka akal yang sehat dan tidak
tertawan oleh hawa nafsu akan memerintahkan untuk berhijab. Wallahu a’lam.[]
Jurnal Fathimiah, Vol.II No.2, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar