IDENTITAS MAHASISWA
- Apa Itu Identitas Mahasiswa ?
Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus yang dimiliki seseorang, dengan demikian Identitas Mahasiswa adalah ciri-ciri yang dimiiki oleh setiap mahasiswa. PoPoPe (Potensi, Posisi, Peran) adalah 3 Identitas yang harus dimiliki oleh mahasiswa.
1. POTENSI
Potensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dari sejak lahir.Potensi dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Hardskill, kemampuan sesuai bidang keilmuan.
b. Softskill, kemampuan beriteraksi antar sesama manusia.
c. Idealisme, kemampuan menganalisis dan mengevaluasi sesuai prinsip yang dipegang.
2. POSISI
Posisi adalah kedudukan pada suatu titik acauan. Posisi kita sebagai mahasiswa di mayarakat adalah
a. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Akademia.
b. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Bisnis.
c. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Pemerintahan.
3. PERAN
Peran adalah tingkah yang diharapkan yang dimiliki seseorang. Peran bisa saja dikatakan sebagai hubungan antara potensi dengan posisi. Peran mahasiswa yang disampaikan pada saat Diklat kemarin adalah
a. Berkontribus mendidik generasi penerus bangsa.
b. Terjun langsung ke masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahan bangsa.
Memperlihatkan Gejala Schizophrenia
Kesadaran-Kepekaan-Kepedulian Mahasiswa: Sebuah Konklusi
- Apa Itu Identitas Mahasiswa ?
Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus yang dimiliki seseorang, dengan demikian Identitas Mahasiswa adalah ciri-ciri yang dimiiki oleh setiap mahasiswa. PoPoPe (Potensi, Posisi, Peran) adalah 3 Identitas yang harus dimiliki oleh mahasiswa.
1. POTENSI
Potensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dari sejak lahir.Potensi dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Hardskill, kemampuan sesuai bidang keilmuan.
b. Softskill, kemampuan beriteraksi antar sesama manusia.
c. Idealisme, kemampuan menganalisis dan mengevaluasi sesuai prinsip yang dipegang.
2. POSISI
Posisi adalah kedudukan pada suatu titik acauan. Posisi kita sebagai mahasiswa di mayarakat adalah
a. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Akademia.
b. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Bisnis.
c. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Pemerintahan.
3. PERAN
Peran adalah tingkah yang diharapkan yang dimiliki seseorang. Peran bisa saja dikatakan sebagai hubungan antara potensi dengan posisi. Peran mahasiswa yang disampaikan pada saat Diklat kemarin adalah
a. Berkontribus mendidik generasi penerus bangsa.
b. Terjun langsung ke masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahan bangsa.
Realita Mahasiswa Saat Ini : Integritas VS Pragmatisme. Apakah Menjawab Tantangan Bangsa di Masa Depan?
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang memiliki visi, misi dan tujuan
yang ideal dalam membangun bangsa, segala tingkah laku dan perbuatannya
pun didasarkan pada kaidah ilmiah dan menggunakan akal pikiran yang
jernih dan komprehensif, meskipun pada kenyataanya tidak semua mahasiswa
seideal itu, namun itu semua menjadi tolak ukur dan pandangan ke depan
agar seluruh mahasiswa di Indonesia menjadi calon pemimpin yang ideal
yang akan memimpin bangsa ini dimasa yang akan datang.
Masih teringat dipikiran dan hati kita bagaimana peran andil mahasiswa
pada saat rezim orde baru berkibar dinegeri ini, yang pada saat itu
tidak ada seorang pun yang berani bertindak bahkan bicara pun sangat
sulit dilakukan, namun apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu guna
menstabilkan kembali stabilitas politik yang sampai saat ini termaktub
dalam pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita dan pandangan bangsa
indonesia? Apakah mereka diam dan hanya menyaksikan dari tirai dinding
yang jauh?. Ataukah mereka hanya mengangguk dan setuju pada setiap
keputusan dan kebijakan yang dibuat pemerintah?. Jawabannya adalah
TIDAK. Tidak untuk diam, tidak untuk terpaku dan mengalah pada keadaan
yang seharusnya mereka perjuangkan dalam membangun bangsa dan untuk
rakyat yang telah membesarakan nama dan jiwa mereka dimasyarakat.
Tidak mudah dan sangat mustahil bangsa ini akan maju dan berkembang
tanpa ada peran andil dan keikutsertaan masyarakat khususnya mahasiswa
dalam membangun bangsa, semua cita-cita dan tujuan mustahil dapat
terlaksana apabila antar mahasiswa itu sendiri tidak bersatu atau bahkan
terpecah belah, disinilah kepemimpinan mahasiswa harus dilatih,
dikembangkan dan dipraktekan. Tanpa teori mengenai kepimimpinan maka
praktek pun tidak akan berjalan, dan sebaliknya praktek tanpa teori
kepemimpinan tidak akan berarti dan sia-sia karena segala tingkah laku
dan perbuatan tidak sesuai dengan norma yang ada dimasyarakat, disinilah
makna dari pentingnya sebuah manajemen kepemimpinan mahasiswa dalam
membangun bangsa yang madani.
Realita Mahasiswa Saat Ini
Paradigma yang saat ini lebih dominan beredar di mahasiswa Indonesia
sebagai insan akademik adalah “Lulus cepat, langsung kerja.” Sehingga
yang sering terjadi adalah penanggalan peran penting mahasiswa sebagai
pengabdi masyarakat, seperti yang dituangkan dalam Tridharma Perguruan
Tinggi. Paradigma ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi dan pendidikan
Indonesia yang sedang terpuruk.
Orientasi mahasiswa saat ini lebih pragmatis ketimbang idealis ditambah
lagi budaya individualis yang terus mengakar dan merasuk dalam
kepribadiannya. Konsekuensi logis dari kentalnya orientasi ini adalah
terpolanya perilaku-perilaku oportunistis yang negatif. Mahasiswa saat
ini masih berpikir, “Bagaimana cara yang instan untuk mendapatkan nilai
yang baik?” Pemikiran seperti demikian telak sekali adaptasi dari hukum
ekonomi klasik, “Dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya.” Akhirnya jalan-jalan culas pun
dihalalkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal bagi kepentingan
pribadi. Ironinya ketika kita melihat seorang aktivis pembela mahasiswa
dan rakyat kecil dari jeratan koruptor yang setelah melakukan aksi,
mereka mencontek saat ujian. Inilah sebuah fenomena yang disebut-sebut
sebagai bibit-bibit koruptor.
Fenomena lain adalah polarisasi antara kegiatan akademik dan organisasi.
Jarang sekali ada mahasiswa yang dapat menjalankan dua kegiatan ini
dengan baik. Mahasiswa yang memiliki pilihan ekstrim terhadap kegiatan
akademik (study oriented) kurang bisa memberikan kontribusi riil kepada
masyarakatnya. Dalam menjalani kehidupan pasca-kampus, seorang mahasiswa
yang study oriented kurang memiliki kecakapan untuk dapat bekerja
secara tim, sehingga saat ini banyak perusahaan yang memiliki
persyaratan khusus mengenai riwayat organisasi. Dalam titik ekstrim yang
lain, mahasiswa yang organization oriented juga memiliki permasalahan
krusial. Dengan fokus yang sangat berlebihan terhadap kehidupan
berorganisasinya, mahasiswa tipe organization oriented ini tidak
memiliki prestasi akademik yang baik, atau dalam sebuah guyonan sering
dikatakan ‘nasakom’ (nasib IPK satu koma).
Permasalahan bangsa ini adalah krisis integritas. Tak hanya mahasiswa
masyarakat pun banyak yang belum memahami apa itu integritas. Mahasiswa
itu dikatakan beritegritas, ketika mahasiswa kembali menumbuhkan hati
nurani mereka. Karena disitulah kejujuran yang akan bicara, nilai-nilai
dan keputusan-keputusan mulia akan muncul, tidak ada lagi yang namanya
ego, kepentingan, nafsu, kepentingan kedudukan yang membuat nilai-nilai
mulia itu tersingkirkan. Yang terjadi kalau mahasiswa tidak
dipersiapkan. Mahasiswa akan menjadi talent full yaitu tempat
dikumpulnya orang-orang berbakat dimasa depan oleh kekuasaan atau partai
politik. Mahasiswa akan mudah dimanfaatkan dan dikaderisasi mengenai
hal-hal yang menyimpang yang selama ini ada dan diteruskan oleh
mahasiswa.
Peran mahasiswa sebagai pemimpin strategis masa kini dan masa depan.
salah satu inti dari pemimpin adalah pengaruh. Mahasiswa yang memiliki
sebuah status elegan dalam struktur masyarakat memiliki pengaruh yang
sangat strategis. Sebagai middle class, mahasiswa merupakan elemen
penting pengontrol kebijakan pemerintahan. Selain itu, mahasiswa
merupakan pengabdi masyarakat yang diamanahkan sebagai pembina bangsa
melalui aplikasi ilmu yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat, khususnya rakyat kecil.
Namun problematika yang ada saat ini adalah, apakah kita sebagai
mahasiswa bisa dan mampu menjadi pemimpin masa depan yang ideal, yang
memiliki pandangan jauh kedepan dan memiliki idealisme dalam membangun
bangsa?. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing, sejauh mana kita
telah membangun kepemimpinan yang ada pada diri kita dan memaksimalkan
semua potensi yang ada, semua itu akan kembali kepada pribadi kita
masing-masing dan menjadi motivasi yang akan membangun kepemimpinan
mahasiswa dalam jiwa dan raga mahasiswa itu sendiri karena yang akan
menjalankan semua itu adalah kita sendiri, bukan tugas seorang dosen,
orangtua atau bahkan pemerintah. Semua itu adalah tugas yang harus
ditempuh kita sebagai mahasiswa dalam membangun dan memimpin bangsa
dimasa yang akan datang.
Pandangan visioner di atas tidak terlepas dari langkah konkrit yang
harus ditempuh mahasiswa dalam mengasah kepemimpinannya untuk terjun
dalam realita keterpurukan bangsa ini. Mahasiswa harus memilih jalan
sebagai pembuat solusi ketimbang masalah. Kampus sebagai habitat
mahasiswa harus menjadi laboratorium kepemimpinan, membentuk kepribadian
yang mengintegrasikan potensi intelektual, fisikal, dan spiritual.
Dispolarisasi antara akademik dan organisasi harus diwujudkan sebagai
langkah strategis. Penguasaan keilmuan harus menjadi pedoman mahasiswa
dalam mengorganisasikan pergerakannya. Akhirnya, dimanapun berada
mahasiswa harusnya menciptakan sinergisitas dengan semua elemen
masyarakat yang ada di atasnya maupun di bawah mereka agar benar-benar
menjadi pemimpin yang strategis pada masa kini, terutama masa depan
bangsa. (FF)
Hidup Mahasiswa...!!!
Hidup Rakyat Indonesia....!!!
Mahasiswa, Realita, dan Schizophrenia
Mungkin ini bukan lagi masanya
Iwan Fals untuk bernyanyi tentang keadilan dan lagu-lagu kerakyatan. Apalagi
masa-masa Soe Hok Gie untuk bericara tentang perjuangan mahasiswa melawan rezim
pemerintahan. Bukan juga masanya Ronggowarsito untuk mnjelaskan rancangan
pemikirannya mengenai apa itu Zaman Edan. Ini masa para mahasiswa yang sibuk
dengan riset-riset mutakhir, penelitian yang menggagas teori-teori mumpuni,
serta perjuangan mereka untuk memenuhi tuntutan akademis yang tinggi. Tidak ada
lagi istilah mahasiswa turun ke jalan, parlemen jalanan, apalagi seruan-seruan
reformasi dan kritik-kritik tajam pada para pejabat yang bertugas mengelola
kepercayaan rakyat. Selamat datang di dunia mahasiswa masa kini, realita
pendidikan tinggi yang diciptakannya sendiri.
Dunia Mahasiswa: Mencipta Realita?
Adanya dorongan yang begitu kuat pada
mahasiswa untuk menggeluti dunia akademis dengan maksimal dan menjadikannya
sebagai prioritas utama lebih dari yang lain, entah tersistematis atau tidak,
telah membawa kehidupan mahasiswa pada tugas-tugas pokoknya sebagai seorang
konsumer sekaligus produser ilmu pengetahuan. Tentunya hal ini tidak dapat
dipisahkan dari dunia riset sebagai tulang punggung ilmu pengetahuan.
Tugas-tugas ini telah membentuk budaya baru dalam kehidupan mahasiswa saat ini.
Budaya ini berpengaruh pada orientasi studi, orientasi kegiatan-kegiatan yang
dipilih selama proses perkuliahan, masa waktu studi, hingga ke proses
pengambilan keputusan pasca studi, baik untuk ke dunia kerja hingga ke
keputusannya untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun
secara umum, perubahan yang paling mendasar tren mahasiswa masa kini adalah
perubahan orientasi studi dan apa yang mereka lakukan selama mereka duduk di
bangku perkuliahan, tentang skill apa yang mereka pilih, tentang waktu-waktu
yang mereka habiskan, dan tentang penelitian yang mereka jalankan.
Salah satu tugas terberat sebuah
penelitian, adalah membawa keadaan yang terjadi sebenarnya, atau kita sebut
sebagai realita, mendefinisikannya, merangkaikannya dengan fenomena lain,
merumuskan permasalahannya, lalu mengkonduksi sebuah proses empiris untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Atau dalam bahasa sederhana,
sebuah penelitian adalah realita-sentris: dari realita, oleh realita, dan untuk
realita. Penelitian, sebagai sebuah metode empiris yang “dikultuskan” dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, hakikatnya berfungsi sebagai perumus
permasalahan yang ada pada kehidupan manusia sehari-hari, pembuat solusi, dan
mengimplementasikannya untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Tampaknya
pengertian ini harus dikembalikan ke pengertian awalnya. Suatu pengertian yang
menegaskan bahwa apapun kegiatan yang kita lakukan, tidak pernah terlepas dari
realita yang kini ada, realita dalam masyarakat di sekitar kita.
Memperlihatkan Gejala Schizophrenia
Masalahnya, realita-sentris yang
saat ini digandrungi dan menjadi tren mahasiswa masa kini, justru menjadi
belenggu yang membuat mahasiswa menjauhi realita yang sesungguhnya, realita
masyarakat di sekitar kita. Satu penjelasan unik mengenai penyakit schizophrenia tampaknya patut kita
pertimbangkan sebagai sebuah penjelasan yang cukup menggambarkan permasalahan
yang kita hadapi sekarang ini. Sebagai sebuah psychological disorder, salah
satu kondisi terparah yang dihadapi penderita schizophrenia adalah ketika mereka mulai menyadari adanya “realita
yang lain” hingga mencapai keadaan ketidakmampuannya membedakan mana realita
yang sebenarnya dan “realita yang lain” itu. Ketika seorang penderita telah
masuk ke dalam fase tidak mampu membedakan mana realita yang sesungguhnya dan
mana “realita yang lain” itu, secara resmi penderita tersebut mengalami schizophrenia yang sesungguhnya, pikiran
yang pecah, jiwa yang terbelah. Kekhawatiran terbesar yang saat ini layak untuk
mulai kita pikirkan adalah tentang kondisi mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa
yang mulai menyadari adanya realita yang lain berupa kehidupan akademisnya
semata, kita yang mulai kehilangan kesadaran akan realita di masyarakat yang
sesungguhnya.
Kesadaran-Kepekaan-Kepedulian Mahasiswa: Sebuah Konklusi
Tanpa bermaksud untuk
menyandingkan mahasiswa dengan penderita schizophrenia,
atau merendahkan saudara-saudara kita yang tidak seberuntung kita itu, tetapi
kita benar-benar harus belajar memahami realita yang ada secara lebih bijak.
Apa kita pernah membayangkan ada di luar sana seorang berusia lanjut mungkin,
yang terpaksa menahan sakitnya, tidak bisa berobat karena kekurangan biaya. Ya,
ia yang tidak memiliki penghasilan tetap, tinggal di kawasan kumuh, makan
seadanya, dan memiliki banyak putra tidak mampu membayar biaya kesehatannya.
Ya, ia yang memiliki resiko tinggi untuk sakit, harus membayar sangat mahal
untuk pengobatan kanker paru-parunya. Sebenarnya sistem realita macam apa yang
bekerja dalam kehidupan kita?
Contoh di atas sengaja berupa
keadaan ekstrim yang dipaparkan berbeda dengan apa yang selama ini kita lihat
dalam keseharian. Namun sayangnya, meski secara ilmiah belum teruji empiris,
contoh di atas adalah sebuah realita. Poin utamanya: Jangan kita lupa, yang tak
terlihat belum tentu tak ada, yang tak tersentuh bukan berarti sesuatu yang
tidak nyata. Kita, sebagai mahasiswa, harus bisa keluar dari gejala
schizophrenik akut yang membuat diri kita dibingungkan oleh realita, atau
tertipu oleh sesuatu yang kita lihat saja. Hal ini bukan berarti kita harus
meninggalkan ‘dunia ilmiah’ yang saat ini kita jalani, namun kita dituntut
untuk lebih bijak memahami situasi. Di penghujung tulisan ini, kita bisa
mengambil pelajaran dari sebuah keterangan yang dijelaskan Shaughnessy et all.,
dalam bukunya Metode Penelitian Psikologi: “Psikolog mengembangkan teori dan
melaksanakan penelitian untuk menjawab pertanyaan tentang perilaku dan proses
mental, yang jawabnnya dapat berdampak pada individu dan masyarakat.” Ini
saatnya kita tersadar tentang apa realita yang sebenarnya terjadi, peka pada
tiap disonansi antara idealisme dan realita, dan peduli dengan berkontribusi
optimal untuk masyarakat yang menunggu karya-karya kita, mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar