MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Mahasiswa

IDENTITAS MAHASISWA

Hasil gambar untuk Realita Mahasiswa Hari ini - Apa Itu Identitas Mahasiswa ?
 Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus yang dimiliki seseorang, dengan demikian Identitas Mahasiswa adalah ciri-ciri yang dimiiki oleh setiap mahasiswa. PoPoPe (Potensi, Posisi, Peran) adalah 3 Identitas yang harus dimiliki oleh mahasiswa.




1. POTENSI
Potensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dari sejak lahir.Potensi dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Hardskill, kemampuan sesuai bidang keilmuan.
b. Softskill, kemampuan beriteraksi antar sesama manusia.
c. Idealisme, kemampuan menganalisis dan mengevaluasi sesuai prinsip yang dipegang.

2. POSISI
Posisi adalah kedudukan pada suatu titik acauan. Posisi kita sebagai mahasiswa di mayarakat adalah
a. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Akademia.
b. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Bisnis.
c. Masyarakat sipil yang bergerak pada bidang Pemerintahan.

3. PERAN
Peran adalah tingkah yang diharapkan yang dimiliki seseorang. Peran bisa saja dikatakan sebagai hubungan antara potensi dengan posisi. Peran mahasiswa yang disampaikan pada saat Diklat kemarin adalah
a. Berkontribus mendidik generasi penerus bangsa.
b. Terjun langsung ke masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahan bangsa.



 

Realita Mahasiswa Saat Ini : Integritas VS Pragmatisme. Apakah Menjawab Tantangan Bangsa di Masa Depan?

Mahasiswa adalah kaum intelektual yang memiliki visi, misi dan tujuan yang ideal dalam membangun bangsa, segala tingkah laku dan perbuatannya pun didasarkan pada kaidah ilmiah dan menggunakan akal pikiran yang jernih dan komprehensif, meskipun pada kenyataanya tidak semua mahasiswa seideal itu, namun itu semua menjadi tolak ukur dan pandangan ke depan agar seluruh mahasiswa di Indonesia menjadi calon pemimpin yang ideal yang akan memimpin bangsa ini dimasa yang akan datang.
Masih teringat dipikiran dan hati kita bagaimana peran andil mahasiswa pada saat rezim orde baru berkibar dinegeri ini, yang pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani bertindak bahkan bicara pun sangat sulit dilakukan, namun apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu guna menstabilkan kembali stabilitas politik yang sampai saat ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita dan pandangan bangsa indonesia? Apakah mereka diam dan hanya menyaksikan dari tirai dinding yang jauh?. Ataukah mereka hanya mengangguk dan setuju pada setiap keputusan dan kebijakan yang dibuat pemerintah?. Jawabannya adalah TIDAK. Tidak untuk diam, tidak untuk terpaku dan mengalah pada keadaan yang seharusnya mereka perjuangkan dalam membangun bangsa dan untuk rakyat yang telah membesarakan nama dan jiwa mereka dimasyarakat.
Tidak mudah dan sangat mustahil bangsa ini akan maju dan berkembang tanpa ada peran andil dan keikutsertaan masyarakat khususnya mahasiswa dalam membangun bangsa, semua cita-cita dan tujuan mustahil dapat terlaksana apabila antar mahasiswa itu sendiri tidak bersatu atau bahkan terpecah belah, disinilah kepemimpinan mahasiswa harus dilatih, dikembangkan dan dipraktekan. Tanpa teori mengenai kepimimpinan maka praktek pun tidak akan berjalan, dan sebaliknya praktek tanpa teori kepemimpinan tidak akan berarti dan sia-sia karena segala tingkah laku dan perbuatan tidak sesuai dengan norma yang ada dimasyarakat, disinilah makna dari pentingnya sebuah manajemen kepemimpinan mahasiswa dalam membangun bangsa yang madani.


Realita Mahasiswa Saat Ini
Paradigma yang saat ini lebih dominan beredar di mahasiswa Indonesia sebagai insan akademik adalah “Lulus cepat, langsung kerja.” Sehingga yang sering terjadi adalah penanggalan peran penting mahasiswa sebagai pengabdi masyarakat, seperti yang dituangkan dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Paradigma ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi dan pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk.
Orientasi mahasiswa saat ini lebih pragmatis ketimbang idealis ditambah lagi budaya individualis yang terus mengakar dan merasuk dalam kepribadiannya. Konsekuensi logis dari kentalnya orientasi ini adalah terpolanya perilaku-perilaku oportunistis yang negatif. Mahasiswa saat ini masih berpikir, “Bagaimana cara yang instan untuk mendapatkan nilai yang baik?” Pemikiran seperti demikian telak sekali adaptasi dari hukum ekonomi klasik, “Dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.” Akhirnya jalan-jalan culas pun dihalalkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal bagi kepentingan pribadi. Ironinya ketika kita melihat seorang aktivis pembela mahasiswa dan rakyat kecil dari jeratan koruptor yang setelah melakukan aksi, mereka mencontek saat ujian. Inilah sebuah fenomena yang disebut-sebut sebagai bibit-bibit koruptor.
Fenomena lain adalah polarisasi antara kegiatan akademik dan organisasi. Jarang sekali ada mahasiswa yang dapat menjalankan dua kegiatan ini dengan baik. Mahasiswa yang memiliki pilihan ekstrim terhadap kegiatan akademik (study oriented) kurang bisa memberikan kontribusi riil kepada masyarakatnya. Dalam menjalani kehidupan pasca-kampus, seorang mahasiswa yang study oriented kurang memiliki kecakapan untuk dapat bekerja secara tim, sehingga saat ini banyak perusahaan yang memiliki persyaratan khusus mengenai riwayat organisasi. Dalam titik ekstrim yang lain, mahasiswa yang organization oriented juga memiliki permasalahan krusial. Dengan fokus yang sangat berlebihan terhadap kehidupan berorganisasinya, mahasiswa tipe organization oriented ini tidak memiliki prestasi akademik yang baik, atau dalam sebuah guyonan sering dikatakan ‘nasakom’ (nasib IPK satu koma).
Permasalahan bangsa ini adalah krisis integritas. Tak hanya mahasiswa masyarakat pun banyak yang belum memahami apa itu integritas. Mahasiswa itu dikatakan beritegritas, ketika mahasiswa kembali menumbuhkan hati nurani mereka. Karena disitulah kejujuran yang akan bicara, nilai-nilai dan keputusan-keputusan mulia akan muncul, tidak ada lagi yang namanya ego, kepentingan, nafsu, kepentingan kedudukan yang membuat nilai-nilai mulia itu tersingkirkan. Yang terjadi kalau mahasiswa tidak dipersiapkan. Mahasiswa akan menjadi talent full yaitu tempat dikumpulnya orang-orang berbakat dimasa depan oleh kekuasaan atau partai politik. Mahasiswa akan mudah dimanfaatkan dan dikaderisasi mengenai hal-hal yang menyimpang yang selama ini ada dan diteruskan oleh mahasiswa.
Peran mahasiswa sebagai pemimpin strategis masa kini dan masa depan.
salah satu inti dari pemimpin adalah pengaruh. Mahasiswa yang memiliki sebuah status elegan dalam struktur masyarakat memiliki pengaruh yang sangat strategis. Sebagai middle class, mahasiswa merupakan elemen penting pengontrol kebijakan pemerintahan. Selain itu, mahasiswa merupakan pengabdi masyarakat yang diamanahkan sebagai pembina bangsa melalui aplikasi ilmu yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat, khususnya rakyat kecil.
Namun problematika yang ada saat ini adalah, apakah kita sebagai mahasiswa bisa dan mampu menjadi pemimpin masa depan yang ideal, yang memiliki pandangan jauh kedepan dan memiliki idealisme dalam membangun bangsa?. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing, sejauh mana kita telah membangun kepemimpinan yang ada pada diri kita dan memaksimalkan semua potensi yang ada, semua itu akan kembali kepada pribadi kita masing-masing dan menjadi motivasi yang akan membangun kepemimpinan mahasiswa dalam jiwa dan raga mahasiswa itu sendiri karena yang akan menjalankan semua itu adalah kita sendiri, bukan tugas seorang dosen, orangtua atau bahkan pemerintah. Semua itu adalah tugas yang harus ditempuh kita sebagai mahasiswa dalam membangun dan memimpin bangsa dimasa yang akan datang.
Pandangan visioner di atas tidak terlepas dari langkah konkrit yang harus ditempuh mahasiswa dalam mengasah kepemimpinannya untuk terjun dalam realita keterpurukan bangsa ini. Mahasiswa harus memilih jalan sebagai pembuat solusi ketimbang masalah. Kampus sebagai habitat mahasiswa harus menjadi laboratorium kepemimpinan, membentuk kepribadian yang mengintegrasikan potensi intelektual, fisikal, dan spiritual. Dispolarisasi antara akademik dan organisasi harus diwujudkan sebagai langkah strategis. Penguasaan keilmuan harus menjadi pedoman mahasiswa dalam mengorganisasikan pergerakannya. Akhirnya, dimanapun berada mahasiswa harusnya menciptakan sinergisitas dengan semua elemen masyarakat yang ada di atasnya maupun di bawah mereka agar benar-benar menjadi pemimpin yang strategis pada masa kini, terutama masa depan bangsa. (FF)
Hidup Mahasiswa...!!!
Hidup Rakyat Indonesia....!!!




Mahasiswa, Realita, dan Schizophrenia

Mungkin ini bukan lagi masanya Iwan Fals untuk bernyanyi tentang keadilan dan lagu-lagu kerakyatan. Apalagi masa-masa Soe Hok Gie untuk bericara tentang perjuangan mahasiswa melawan rezim pemerintahan. Bukan juga masanya Ronggowarsito untuk mnjelaskan rancangan pemikirannya mengenai apa itu Zaman Edan. Ini masa para mahasiswa yang sibuk dengan riset-riset mutakhir, penelitian yang menggagas teori-teori mumpuni, serta perjuangan mereka untuk memenuhi tuntutan akademis yang tinggi. Tidak ada lagi istilah mahasiswa turun ke jalan, parlemen jalanan, apalagi seruan-seruan reformasi dan kritik-kritik tajam pada para pejabat yang bertugas mengelola kepercayaan rakyat. Selamat datang di dunia mahasiswa masa kini, realita pendidikan tinggi yang diciptakannya sendiri.

Dunia Mahasiswa: Mencipta Realita?

 Adanya dorongan yang begitu kuat pada mahasiswa untuk menggeluti dunia akademis dengan maksimal dan menjadikannya sebagai prioritas utama lebih dari yang lain, entah tersistematis atau tidak, telah membawa kehidupan mahasiswa pada tugas-tugas pokoknya sebagai seorang konsumer sekaligus produser ilmu pengetahuan. Tentunya hal ini tidak dapat dipisahkan dari dunia riset sebagai tulang punggung ilmu pengetahuan. Tugas-tugas ini telah membentuk budaya baru dalam kehidupan mahasiswa saat ini. Budaya ini berpengaruh pada orientasi studi, orientasi kegiatan-kegiatan yang dipilih selama proses perkuliahan, masa waktu studi, hingga ke proses pengambilan keputusan pasca studi, baik untuk ke dunia kerja hingga ke keputusannya untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun secara umum, perubahan yang paling mendasar tren mahasiswa masa kini adalah perubahan orientasi studi dan apa yang mereka lakukan selama mereka duduk di bangku perkuliahan, tentang skill apa yang mereka pilih, tentang waktu-waktu yang mereka habiskan, dan tentang penelitian yang mereka jalankan.

Salah satu tugas terberat sebuah penelitian, adalah membawa keadaan yang terjadi sebenarnya, atau kita sebut sebagai realita, mendefinisikannya, merangkaikannya dengan fenomena lain, merumuskan permasalahannya, lalu mengkonduksi sebuah proses empiris untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Atau dalam bahasa sederhana, sebuah penelitian adalah realita-sentris: dari realita, oleh realita, dan untuk realita. Penelitian, sebagai sebuah metode empiris yang “dikultuskan” dalam perkembangan ilmu pengetahuan, hakikatnya berfungsi sebagai perumus permasalahan yang ada pada kehidupan manusia sehari-hari, pembuat solusi, dan mengimplementasikannya untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Tampaknya pengertian ini harus dikembalikan ke pengertian awalnya. Suatu pengertian yang menegaskan bahwa apapun kegiatan yang kita lakukan, tidak pernah terlepas dari realita yang kini ada, realita dalam masyarakat di sekitar kita.

Memperlihatkan Gejala Schizophrenia

Masalahnya, realita-sentris yang saat ini digandrungi dan menjadi tren mahasiswa masa kini, justru menjadi belenggu yang membuat mahasiswa menjauhi realita yang sesungguhnya, realita masyarakat di sekitar kita. Satu penjelasan unik mengenai penyakit schizophrenia tampaknya patut kita pertimbangkan sebagai sebuah penjelasan yang cukup menggambarkan permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Sebagai sebuah psychological disorder, salah satu kondisi terparah yang dihadapi penderita schizophrenia adalah ketika mereka mulai menyadari adanya “realita yang lain” hingga mencapai keadaan ketidakmampuannya membedakan mana realita yang sebenarnya dan “realita yang lain” itu. Ketika seorang penderita telah masuk ke dalam fase tidak mampu membedakan mana realita yang sesungguhnya dan mana “realita yang lain” itu, secara resmi penderita tersebut mengalami schizophrenia yang sesungguhnya, pikiran yang pecah, jiwa yang terbelah. Kekhawatiran terbesar yang saat ini layak untuk mulai kita pikirkan adalah tentang kondisi mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang mulai menyadari adanya realita yang lain berupa kehidupan akademisnya semata, kita yang mulai kehilangan kesadaran akan realita di masyarakat yang sesungguhnya.

Kesadaran-Kepekaan-Kepedulian Mahasiswa: Sebuah Konklusi

Tanpa bermaksud untuk menyandingkan mahasiswa dengan penderita schizophrenia, atau merendahkan saudara-saudara kita yang tidak seberuntung kita itu, tetapi kita benar-benar harus belajar memahami realita yang ada secara lebih bijak. Apa kita pernah membayangkan ada di luar sana seorang berusia lanjut mungkin, yang terpaksa menahan sakitnya, tidak bisa berobat karena kekurangan biaya. Ya, ia yang tidak memiliki penghasilan tetap, tinggal di kawasan kumuh, makan seadanya, dan memiliki banyak putra tidak mampu membayar biaya kesehatannya. Ya, ia yang memiliki resiko tinggi untuk sakit, harus membayar sangat mahal untuk pengobatan kanker paru-parunya. Sebenarnya sistem realita macam apa yang bekerja dalam kehidupan kita?


Contoh di atas sengaja berupa keadaan ekstrim yang dipaparkan berbeda dengan apa yang selama ini kita lihat dalam keseharian. Namun sayangnya, meski secara ilmiah belum teruji empiris, contoh di atas adalah sebuah realita. Poin utamanya: Jangan kita lupa, yang tak terlihat belum tentu tak ada, yang tak tersentuh bukan berarti sesuatu yang tidak nyata. Kita, sebagai mahasiswa, harus bisa keluar dari gejala schizophrenik akut yang membuat diri kita dibingungkan oleh realita, atau tertipu oleh sesuatu yang kita lihat saja. Hal ini bukan berarti kita harus meninggalkan ‘dunia ilmiah’ yang saat ini kita jalani, namun kita dituntut untuk lebih bijak memahami situasi. Di penghujung tulisan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah keterangan yang dijelaskan Shaughnessy et all., dalam bukunya Metode Penelitian Psikologi: “Psikolog mengembangkan teori dan melaksanakan penelitian untuk menjawab pertanyaan tentang perilaku dan proses mental, yang jawabnnya dapat berdampak pada individu dan masyarakat.” Ini saatnya kita tersadar tentang apa realita yang sebenarnya terjadi, peka pada tiap disonansi antara idealisme dan realita, dan peduli dengan berkontribusi optimal untuk masyarakat yang menunggu karya-karya kita, mahasiswa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar