MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Jumat, 03 Mei 2013

Bacaan Shalat Berdasarkan Putusan Tarjih Muhammadiyah

Bacaan Shalat Berdasarkan Putusan Tarjih Muhammadiyah


Shalat merupakan ibadah yang pertama kali yang bakal dihisab diakhirat nanti. Ibadah shalat sudah ada tuntunannya dari Rasulullah SAW, baik dari segi gerakan maupun bacaannya. Bagaimana kita bisa tahu seperti apa gerakan maupun bacaan shalat yang dicontohkan Nabi? Kita bisa tahu dari hadist-hadist beliau yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat maupun istri beliau. Oleh karena shalat ini sudah ada tuntunannya, maka kita sebagai umatnya tentu ibadah shalat yang kita lakukan juga harus sesuai dengan yang dicontohkan beliau baik gerakan maupun bacaanya. 

Nah, pada postingan kali ini saya akan mengutip bacaan shalat yang telah diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui, Muhammadiyah hanya memilih hadist-hadist yang Shahih atau yang kuat terutama dalam masalah ibadah termasuk dalam ibadah shalat ini. Disamping itu Muhammadiyah juga tidak taklid  terhadap satu mahzab saja, sehingga terkadang Muhammadiyah mempunyai pendapat yang sama dengan mahzab Syafi’i, terkadang Maliki, Hanafi maupun mahzab Hambali. Berbeda dengan umat islam di Indonesia umumnya yang hanya berpegang dan terpaku pada mahzab Syafi’i saja. Semoga bacaan shalat yang saya posting ini bermanfaat bagi kita semua terutama warga maupun simpatisan Muhammadiyah.

Do’a Iftitah

اَللّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَاياَيَ كَمَا باَعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
اَللّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَاياَ كَماَ يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ
اَللّهُمَّ اغْسِلْ خَطَاياَيَ باِلْماَءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ.


Allaahumma baa’id bainii wabainaa khotoo yaa ya kamaa baa ‘adta bainal masyriqi wal maghrib.
Allaahumma naqqinii minal khotoo yaa kamaa yunqqots tsaubul abyadhuu minaddanas.
Allaahummaghsil khotoo yaa ya bil maa i wats tsalji walbarod.

Artinya : “Ya Allah, jauhkanlah antara diriku dan di antara kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat.
Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana dibersihkannya kain putih dari kotoran.
Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.”


Bacaan Ruku’/Sujud


سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّناَ وَبِحَمْدِكَ اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى

Subhaanaka allaahuma robbanaa wabihamdika allaahumaghfirlii.

Artinya: “Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu yan Allah ampunilah
aku”.


Do’a I’tidal


رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Robbanaa walakalhamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarokan fiihi.

Artinya : “Ya Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian yang banyak, baik, dan diberkahi padanya ”.



Do’a Duduk Diantara Dua Sujud

اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى وَارْحَمْنِى وَاجْبُرْنِى وَاهْدِنِى وَارْزُقْنِى

Allaahummaghfirlii warhamnii wajburnii wahdinii warzuqnii.

Artinya : “Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah aku, tunjukilah aku, dan berilah rizki
untukku”.

Do’a Tasyahud

اَلتَّحِيَّاتُ لِلّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباَتُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِاللهِ الصَّالِحِيْنَ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.


Attahiyyaatu lillaahi washsholawaatu waththoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warohmatullaahi wabarokaatuh. Assalaamu’alainaa wa’ala ‘ibaadillaahi shshoolihiin. Asyhadu anlaa ilaaha illallaah waasyhadu annamuhammadan ‘abduhu warosuuluh.

Artinya : “Segala kehormatan, kebahagiaan dan kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi Engkau, ya Nabi Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya”.


Do’a Shalawat Kepada Nabi



اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa’alaa aali Muhammad. Kamaa shollaita ‘alaa ibroohiim wa aali ibroohiim. Wabaarik ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad. Kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa aali ibroohiim. Innaka hamiidummajiid.

Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”.


Do'a Sesudah Tasyahud Awal



اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ. فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي، إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
  
Allahumma innii dzolamtu nafsii dzulman katsiiro, wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta faghfir lii maghfirotan min 'indika warhamnii, innaka antal ghofuurur rohiim.
 
Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak. Tiada sesiapa yang dapat mengampunkan dosa-dosa melainkan Engkau, maka ampunilah bagiku dengan keampunan dariapda-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau maha pengampun lagi maha penyayang."



Do’a Sesudah Tasyahud Akhir



اَللّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ,  وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْياَ وَالْمَمَاتِ, وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

Allaahumma innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam. Wamin ‘adzaabil qobri. Wamin fitnatil mahyaa walmamaati. Wamin syarri fitnatil masiihiddadjaal.

Artinya : “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari siksa jahannam dan siksa kubur, begitu juga dari fitnah hidup dan mati, serta dari jahatnya fitnah dajjal (pengembara yang dusta)”.


Salam



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Assalaamua’alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh.

Artinya : “ Berbahagialah kamu sekalian dengan rahmat dan berkah Allah”.
Hubungan Erat Antara Keimanan dan Kemajuan
Muhammad Alifuddin

Tidak jarang orang beranggapan,  bahwa pencapaian kemajuan  kehidupan manusia seperti sekarang  ini didasarkan pada kemampuan dan  kekuatan manusia dalam memanfaatkan olah falsafahnya. Atau  dengan lain perkataan, kemajuan kehidupan manusia banyak  ditentukan oleh kekuatan filsafat.
Banyak  yang sangat percaya, bahwa dengan temuan falsafah, seperti falsafah Rasionalisme dan Eksperimentalisme, maka berkembanglah  ilmu pengetahuan yang beranak-kandung teknologi dengan  sesatnya. Bahwa  manakala manusia secara serius mau  memeras otak dan kecerdasannya serta  tekun  melakukan percobaan-percobaan  dalam hal apa saja, maka akan majulah kehidupannya. Begitulah kira-kira ilustrasi  anggapan banyak orang dewasa ini.
Namun, ketika kemajuan kehidupan telah dicapai, tak  jarang pula terdengar keluhan,  bahwa justru setelah mencapai apa yang disebut"kemajuan kehidupan"tersebut malahan merasa makin jauh dari rasa puas dan  tidak merasa sejuk hati. Atau  dengan lain perkataan, hidup terasa makin "kering" "kurang bermakna", "hilang tujuan hidup" "serba  mekanis dan robotis", dan sebagainya.
Mengapa hal seperti ini, keadaan yang serba paradoks, terjadi?    jawabannya adalah  karena kekuatan agama yang berupa keyakinan rohani tidak dilibatkan. Agama dan keyakinan rohani adalah wujud dari pernyataan perasaan, dunia kepuasan dan kesejukan hati. Sebaliknya, filsafat dan olah falsafah hanya menyuplai kepuasan otak dan pikiran belaka. Tampaknya, apa yang disebut kepuasan itu baru lengkap dan menyeluruh  kalau kepuasan pikiran digabung dengan kepuasan perasaan.  Sekarang kita bertanya, bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang hubungan antara masalah keimanan dan kemajuan hidup Al-Qur'an tidak mengajari manusia untuk meraih kemajuan dalam hidupnya dengan berdasar berfalsafah secara ekstrem, seperti berspekulasi, bahwa pada hakikatnya kehidupan ini, mati dan hidup, hanyalah fenomena "dahr", masa (Al-Jatsiyah [45]: 24).
Berfalsafah seperti itu dinyatakan hanya sebagai olah spekulasi (dhann), tidak berdasar ilmu yang benar. demikian kritik Al-Qur'an. Walaupun Al-Qur'an menghargai potensi akal yang menyebabkan manusia mampu berpikir, namun Al-Qur'an tidak membenarkan manusia berpikir secara- ekstrem, yang ujung-ujungnya hanya bertaraf spekulatif tanpa fondasi.
Al-Qur'an mengajari manusia untuk meraih  kemajuannya berdasar keyakinan rohani dan didukung oleh penggunaan potensi akal secara benar. inilah yang disebut keimanan terhadap petunjuk (hidayah) Allah SwT. Petunjuk tersebut berwujud prinsip-prinsip yang perlu dijadikan patokan ketika manusia beriman (Mukmin) akan meraih kemajuan hidupnya. Apa isi prinsip-prinsip tersebut?
Pertama, dasar bertindak. Bahwa dasar bertindak untuk meraih kemajuan adalah: mengubah nasib. Hidup di dunia ini diliputi oleh keniscayaan untuk terjadi "perubahan". Perubahan yang bersifat teknis dinyatakan Al-Qur'an tergantung pada usaha manusia itu sendiri, mau berubah atau tidak, berusaha untuk berubah atau tidak (Ar-Ra'd [13]; 11). Lalu apa "yang diubah"? Al-Qur'an menegaskan: nasib. Kata "nasib" ada keterkaitan dengan kosa kata "nashabah yang berarti mengangkat atau mendirikan.  Jadi, nasib adalah kondisi (dalam hal ini hidup) yang perlu ditingkatkan, diangkat lebih tinggi dari kondisi sebelumnya, didirikan/dibangun kondisi baru  yang lebih meningkat. Peningkatan yang lebih tinggi ini oleh Al-Qur'an justru diperintahkan dengan kalimat frasa "fanshab" yang terjemahan luasnya: maka carilah, temukan, dan jalankan usaha/pekerjaan/tindakan/kreasi/metode/kemampuan yang diyakini dapat meningkatkan kondisi yang lebih tinggi lagi (Asy-Syarh [94]: 7).
Kedua, hasil dari proses persaingan. Persaingan (kompetisi) yang  sehat dan membangun (konstruktif). Kata kuncinya adalah: unggul. Unggul di sini bukan berarti menang karena berhasii mengalahkan, atau menang untuk bangga atau untuk menganggap kecil   pihak lain,  melainkan unggul karena kompetisi dalam hal-hal yang baik dan konstruktif. Rumusannya dalam Al-qur'an disebut "fa- 'stabiquu-'l-khairaat", maka berlomba-lobalah dalam berbuat kebajikan (Al-Baqarah [2]: 148; Al-Maidah [5]: 48). Jadi, hasil kemajuan yang dicapai harus melalui proses persaingan, bukan  proses yang berdiri sendiri. Sebab, dalam setiap tempat dan zaman, mesti ada yang berusaha untuk mencari kebajikan, tidak pernah sepi dari hal itu.
Ketiga, hasil dari usaha. Hasil dari usaha untuk mencapai kemajuan hidup di atas adalah: meningkat lebih baik. Di sini yang menjadi ukuran mutunya,  yaitu "baik", dan ukuran jumlahnya, yaitu "banyak". Ukuran mutu"baik" dan jumiah*banyak"ini  dirangkum dengan istilah "khair" dalam Al-Qur'an. Hal seperti ini digambarkan Al-Qur'an bahwa perhiasan dunia dengan segala gemerlap dan kemajuannya itu (mataa'u d-dunyaa) sedikit, terbatas waktunya, sedangkan kenikmatan akhirat itu lebih baik dan lebih banyak (An-Nisa' [4): 77). Karena itu peralihan untuk meningkat tersebut harus diukur dan dikoridori/dikontrol oleh rambu-rambu "khair" tersebut (Adl-Dluha [93]: 4).
Keempat, kaya harapan. Bahwa untuk meraih kemajuan hidup, karena harus  melewati jembatan "proses", maka sangat mungkin terjadi halangan, kebelum-ber-hasilan/gagal, hambatan/ganjalan, pasang- surut, untung-rugi, dan sebagainya. Menghadapi hal yang demikian ini  seseorang harus tahan uji, kuat mental, dan kokoh kemauan. Untuk itu Al-Qur'an mengajari agar kaya harapan. Caranya: berdoa. Karena Allah SwT adalah Maha Kaya, sekaligus Maha Pengasih dan Maha  pemurah (rahmaan rahiim), maka kepada-Nyalah hati manusia perlu dilabuhkan, dimintal pertolongan-Nya, dimintai karunia-Nya. Dengan cara seperti itu harapan akan muncul dan menjadi kaya dalam ruang batin. Orang tidak mudah patah semangat karenanya. (Asy-Syarh [94]: 8). Begitulah Al-Qur'an mengajari orang  beriman meraih kemajuan hidupnya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.-

Aqidah Islam

Islam Agama Hanif

Mohammad Dzikron
Alumni Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta/Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Alam kehidupan sehari-hari terkadang kita masih melihat praktik-praktik ke-Islaman yang masih jauh dari Islam yang sesungguhnya. Misalnya, orang Muslim yang setiap hari melakukan shalat namun selesai shalat masih suka menipu, mencuri, korupsi, berbuat maksiat dan lain sebagainya.Atau misalnya orang Muslim yang mengaku sebagai insan yang paling memegang kuat syariah Islam namun dalam mendakwahkan ajaran Islam masih menggunakan kekerasan dan bukan dengan jalan kedamaian.
 Atau kita sering melihat banyak orang yang menekuni ilmu ke-Islaman, namun ilmunya masih berhenti pada tataran teori dan sama sekali tidak terwujud dalam kehidupannya sehari-hari. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa banyak umat Islam saat ini yang mengaku Islam namun pada hakekatnya belum memahami Islam sebenarnya. Meyakini Islam tapi baru sebatas pada simbol keislaman dan sama sekali belum menyentuh aspek riil dalam keber-Islamannya. Salah satu penyebab yang melatarbelakangi hal itu adalah adanya pengabaian akan pemahaman yang utub terhadap paradigma Islam sebagai agama yang hanif.
 Dalam Al-Qur'an, kata hanfftelah diulang dalam berbagai ayat sebanyak sepuluh kali, sedangkan kata hunafâ'diulang selama dua kali. Kata hanif dalam Al-Qur'an biasanya diterjemahkan dengan kata lurus. Sehingga, agama yang hanif adalahagamayanglurus.Atauterkadang dimaknai dengan makna condong. Maka, agama Islam yang hanif adalah agama yang lurus menuju Tuhan, dan atau condong hanya kepada Tuhan yang satu, tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu pula maka agama hanif adalah agama tauhid. Itulah agama yang dibawa Nabi Ibrahim, sebagai bapak para Nabi. Dalam surat Al-Baqarah ayat 135 misalnya, disebutkan:
Katakanlah: Bahkan agama Ibrahim  yang lurus, dan bukanlah dia dari orang- orang yang musyrik. Oleh sebab itu, agama Nabi Ibrahim  as adalah agama yang lurus hanya kepada Allah. Sehingga Nabi Ibrahim bukanlah  seseorang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Kerangka dasar  paradigma keberagamaan ini sangat jelas  dan seharusnya menjadi dasar berpikir  dan berbuat bagi umat Muslim seluruhnya.
Untuk memahami Islam sebagai agama hanif kita juga perlu melihat secara historis sebuah gerakan yang muncul di tengah masyarakat Arab yang dahulu disebut  sebagai gerakan al-Hanafiyah. Letak penting gerakan ini ada pada kemunculannya di masa transisi, dari masa pra-Islam me nuju masa Islam.
Pada waktu itu, penyebaran al-Hanafiyah yang diikuti oleh sebagian para tokoh, para cendekiawan, para penyair dan orang- orang yang tercerahkan merupakan gerakan revolusioner yang pemah muncul sebe lum diutusnya Nabi Muhammad saw. Fe nomena munculnya gerakan al-Hanafiy yah ini merupakan realitas sejarah yang tak mungkin dihindari. Bahkan hal tersebut merupakan keharusan karena kebutuhan masyarakat terhadap perubahan yang lebih baik dan untuk meninggalkan budaya kejahiliahan yang telah merajalela.
Masyarakat ketika itu dihadapkan dengan kekuatan-kekuatan produktivitasyang terus berkembang, baik produktivitas dalam perdagangan, perindustrian maupun dalam pertanian. Bahkan perkampungan yang kecil berubah menjadi besar, aktivitas kehidupan yang semakin aktif dan dinamika kehidupan yang begitu cepat, semuanya memaksa terjadinya percepatan perubahan dalam masyarakat.
Dengan demikian gerakan al-Hanafiy-yah tersebut merupakan kumpulan dari al-hunafâ', yaitu orang-orang yang dengan segenap kemampuan dan keistimewaan yang ada pada dirinya, baik itu kecerdasan akainya, pengetahuannya, yang menumbuhkan sikap kritis terhadap berbagai problem kehidupan manusia. Oleh karenanya, mereka tercirikan sebagai orang-orang yang relatif lebih terpelajar dan memiliki budi pekerti yang baik. Mereka juga menolak menyembah berhala karena dipandang sebagai suatu hal yang menyimpang dan sia-sia. Dengan itu mereka lebih condong untuk menyerukan kepada ke-Esaan Allah sebagai sebuah keyakinan yang telah terpatri dalam hidupnya.
 Demikian juga mereka menjadi sebuah kelompok yang memiliki moralitas tinggi, menolak segala bentuk kehinaan yang dapat menjerumuskannya dalam lembah kenistaan.  Karenanya mereka menjauhi perbuatan zina, meminum khamer, mengubur hidup-hidup anak perempuan. Ajakan-ajakan itu merupakan upaya untuk menyebarkan agama hanif sebagai sebuah pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional. Pada akhirnya fenomena gerakan al-Hanafiyah tersebut menjadi titik awal bagi muncuinya "kesadaran" baru dalam ber-Islam dan berdinamika membangun peradaban yang utama.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan babwa Islam adalah agama hanif. Ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw pada dasarnya adalah sama dengan ajaran agama-agama yang disampaikan oleh para Nabi-Nabi terdahulu.Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan penyempurna dari ajaran-ajaran agama sebelumnya, sehingga menjadi agama yang kita kenal dan kita yakini sebagai agama Rahmatan Lil'Alamîn. Wallâhu a'lam bi al-shawâb.

Islam Agama Hanif

Mohammad Dzikron
Alumni Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta/Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Alam kehidupan sehari-hari terkadang kita masih melihat praktik-praktik ke-Islaman yang masih jauh dari Islam yang sesungguhnya. Misalnya, orang Muslim yang setiap hari melakukan shalat namun selesai shalat masih suka menipu, mencuri, korupsi, berbuat maksiat dan lain sebagainya.Atau misalnya orang Muslim yang mengaku sebagai insan yang paling memegang kuat syariah Islam namun dalam mendakwahkan ajaran Islam masih menggunakan kekerasan dan bukan dengan jalan kedamaian.
 Atau kita sering melihat banyak orang yang menekuni ilmu ke-Islaman, namun ilmunya masih berhenti pada tataran teori dan sama sekali tidak terwujud dalam kehidupannya sehari-hari. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa banyak umat Islam saat ini yang mengaku Islam namun pada hakekatnya belum memahami Islam sebenarnya. Meyakini Islam tapi baru sebatas pada simbol keislaman dan sama sekali belum menyentuh aspek riil dalam keber-Islamannya. Salah satu penyebab yang melatarbelakangi hal itu adalah adanya pengabaian akan pemahaman yang utub terhadap paradigma Islam sebagai agama yang hanif.
 Dalam Al-Qur'an, kata hanfftelah diulang dalam berbagai ayat sebanyak sepuluh kali, sedangkan kata hunafâ'diulang selama dua kali. Kata hanif dalam Al-Qur'an biasanya diterjemahkan dengan kata lurus. Sehingga, agama yang hanif adalahagamayanglurus.Atauterkadang dimaknai dengan makna condong. Maka, agama Islam yang hanif adalah agama yang lurus menuju Tuhan, dan atau condong hanya kepada Tuhan yang satu, tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu pula maka agama hanif adalah agama tauhid. Itulah agama yang dibawa Nabi Ibrahim, sebagai bapak para Nabi. Dalam surat Al-Baqarah ayat 135 misalnya, disebutkan:
Katakanlah: Bahkan agama Ibrahim  yang lurus, dan bukanlah dia dari orang- orang yang musyrik. Oleh sebab itu, agama Nabi Ibrahim  as adalah agama yang lurus hanya kepada Allah. Sehingga Nabi Ibrahim bukanlah  seseorang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Kerangka dasar  paradigma keberagamaan ini sangat jelas  dan seharusnya menjadi dasar berpikir  dan berbuat bagi umat Muslim seluruhnya.
Untuk memahami Islam sebagai agama hanif kita juga perlu melihat secara historis sebuah gerakan yang muncul di tengah masyarakat Arab yang dahulu disebut  sebagai gerakan al-Hanafiyah. Letak penting gerakan ini ada pada kemunculannya di masa transisi, dari masa pra-Islam me nuju masa Islam.
Pada waktu itu, penyebaran al-Hanafiyah yang diikuti oleh sebagian para tokoh, para cendekiawan, para penyair dan orang- orang yang tercerahkan merupakan gerakan revolusioner yang pemah muncul sebe lum diutusnya Nabi Muhammad saw. Fe nomena munculnya gerakan al-Hanafiy yah ini merupakan realitas sejarah yang tak mungkin dihindari. Bahkan hal tersebut merupakan keharusan karena kebutuhan masyarakat terhadap perubahan yang lebih baik dan untuk meninggalkan budaya kejahiliahan yang telah merajalela.
Masyarakat ketika itu dihadapkan dengan kekuatan-kekuatan produktivitasyang terus berkembang, baik produktivitas dalam perdagangan, perindustrian maupun dalam pertanian. Bahkan perkampungan yang kecil berubah menjadi besar, aktivitas kehidupan yang semakin aktif dan dinamika kehidupan yang begitu cepat, semuanya memaksa terjadinya percepatan perubahan dalam masyarakat.
Dengan demikian gerakan al-Hanafiy-yah tersebut merupakan kumpulan dari al-hunafâ', yaitu orang-orang yang dengan segenap kemampuan dan keistimewaan yang ada pada dirinya, baik itu kecerdasan akainya, pengetahuannya, yang menumbuhkan sikap kritis terhadap berbagai problem kehidupan manusia. Oleh karenanya, mereka tercirikan sebagai orang-orang yang relatif lebih terpelajar dan memiliki budi pekerti yang baik. Mereka juga menolak menyembah berhala karena dipandang sebagai suatu hal yang menyimpang dan sia-sia. Dengan itu mereka lebih condong untuk menyerukan kepada ke-Esaan Allah sebagai sebuah keyakinan yang telah terpatri dalam hidupnya.
 Demikian juga mereka menjadi sebuah kelompok yang memiliki moralitas tinggi, menolak segala bentuk kehinaan yang dapat menjerumuskannya dalam lembah kenistaan.  Karenanya mereka menjauhi perbuatan zina, meminum khamer, mengubur hidup-hidup anak perempuan. Ajakan-ajakan itu merupakan upaya untuk menyebarkan agama hanif sebagai sebuah pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional. Pada akhirnya fenomena gerakan al-Hanafiyah tersebut menjadi titik awal bagi muncuinya "kesadaran" baru dalam ber-Islam dan berdinamika membangun peradaban yang utama.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan babwa Islam adalah agama hanif. Ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw pada dasarnya adalah sama dengan ajaran agama-agama yang disampaikan oleh para Nabi-Nabi terdahulu.Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan penyempurna dari ajaran-ajaran agama sebelumnya, sehingga menjadi agama yang kita kenal dan kita yakini sebagai agama Rahmatan Lil'Alamîn. Wallâhu a'lam bi al-shawâb.
Hubungan Erat Antara Keimanan dan Kemajuan
DR. Mohammad Damami, M.Ag

Tidak jarang orang beranggapan,  bahwa pencapaian kemajuan  kehidupan manusia seperti sekarang  ini didasarkan pada kemampuan dan  kekuatan manusia dalam memanfaatkan olah falsafahnya. Atau  dengan lain perkataan, kemajuan kehidupan manusia banyak  ditentukan oleh kekuatan filsafat.
Banyak  yang sangat percaya, bahwa dengan temuan falsafah, seperti falsafah Rasionalisme dan Eksperimentalisme, maka berkembanglah  ilmu pengetahuan yang beranak-kandung teknologi dengan  sesatnya. Bahwa  manakala manusia secara serius mau  memeras otak dan kecerdasannya serta  tekun  melakukan percobaan-percobaan  dalam hal apa saja, maka akan majulah kehidupannya. Begitulah kira-kira ilustrasi  anggapan banyak orang dewasa ini.
Namun, ketika kemajuan kehidupan telah dicapai, tak  jarang pula terdengar keluhan,  bahwa justru setelah mencapai apa yang disebut"kemajuan kehidupan"tersebut malahan merasa makin jauh dari rasa puas dan  tidak merasa sejuk hati. Atau  dengan lain perkataan, hidup terasa makin "kering" "kurang bermakna", "hilang tujuan hidup" "serba  mekanis dan robotis", dan sebagainya.
Mengapa hal seperti ini, keadaan yang serba paradoks, terjadi?    jawabannya adalah  karena kekuatan agama yang berupa keyakinan rohani tidak dilibatkan. Agama dan keyakinan rohani adalah wujud dari pernyataan perasaan, dunia kepuasan dan kesejukan hati. Sebaliknya, filsafat dan olah falsafah hanya menyuplai kepuasan otak dan pikiran belaka. Tampaknya, apa yang disebut kepuasan itu baru lengkap dan menyeluruh  kalau kepuasan pikiran digabung dengan kepuasan perasaan.  Sekarang kita bertanya, bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang hubungan antara masalah keimanan dan kemajuan hidup Al-Qur'an tidak mengajari manusia untuk meraih kemajuan dalam hidupnya dengan berdasar berfalsafah secara ekstrem, seperti berspekulasi, bahwa pada hakikatnya kehidupan ini, mati dan hidup, hanyalah fenomena "dahr", masa (Al-Jatsiyah [45]: 24).
Berfalsafah seperti itu dinyatakan hanya sebagai olah spekulasi (dhann), tidak berdasar ilmu yang benar. demikian kritik Al-Qur'an. Walaupun Al-Qur'an menghargai potensi akal yang menyebabkan manusia mampu berpikir, namun Al-Qur'an tidak membenarkan manusia berpikir secara- ekstrem, yang ujung-ujungnya hanya bertaraf spekulatif tanpa fondasi.
Al-Qur'an mengajari manusia untuk meraih  kemajuannya berdasar keyakinan rohani dan didukung oleh penggunaan potensi akal secara benar. inilah yang disebut keimanan terhadap petunjuk (hidayah) Allah SwT. Petunjuk tersebut berwujud prinsip-prinsip yang perlu dijadikan patokan ketika manusia beriman (Mukmin) akan meraih kemajuan hidupnya. Apa isi prinsip-prinsip tersebut?
Pertama, dasar bertindak. Bahwa dasar bertindak untuk meraih kemajuan adalah: mengubah nasib. Hidup di dunia ini diliputi oleh keniscayaan untuk terjadi "perubahan". Perubahan yang bersifat teknis dinyatakan Al-Qur'an tergantung pada usaha manusia itu sendiri, mau berubah atau tidak, berusaha untuk berubah atau tidak (Ar-Ra'd [13]; 11). Lalu apa "yang diubah"? Al-Qur'an menegaskan: nasib. Kata "nasib" ada keterkaitan dengan kosa kata "nashabah yang berarti mengangkat atau mendirikan.  Jadi, nasib adalah kondisi (dalam hal ini hidup) yang perlu ditingkatkan, diangkat lebih tinggi dari kondisi sebelumnya, didirikan/dibangun kondisi baru  yang lebih meningkat. Peningkatan yang lebih tinggi ini oleh Al-Qur'an justru diperintahkan dengan kalimat frasa "fanshab" yang terjemahan luasnya: maka carilah, temukan, dan jalankan usaha/pekerjaan/tindakan/kreasi/metode/kemampuan yang diyakini dapat meningkatkan kondisi yang lebih tinggi lagi (Asy-Syarh [94]: 7).
Kedua, hasil dari proses persaingan. Persaingan (kompetisi) yang  sehat dan membangun (konstruktif). Kata kuncinya adalah: unggul. Unggul di sini bukan berarti menang karena berhasii mengalahkan, atau menang untuk bangga atau untuk menganggap kecil   pihak lain,  melainkan unggul karena kompetisi dalam hal-hal yang baik dan konstruktif. Rumusannya dalam Al-qur'an disebut "fa- 'stabiquu-'l-khairaat", maka berlomba-lobalah dalam berbuat kebajikan (Al-Baqarah [2]: 148; Al-Maidah [5]: 48). Jadi, hasil kemajuan yang dicapai harus melalui proses persaingan, bukan  proses yang berdiri sendiri. Sebab, dalam setiap tempat dan zaman, mesti ada yang berusaha untuk mencari kebajikan, tidak pernah sepi dari hal itu.
Ketiga, hasil dari usaha. Hasil dari usaha untuk mencapai kemajuan hidup di atas adalah: meningkat lebih baik. Di sini yang menjadi ukuran mutunya,  yaitu "baik", dan ukuran jumlahnya, yaitu "banyak". Ukuran mutu"baik" dan jumiah*banyak"ini  dirangkum dengan istilah "khair" dalam Al-Qur'an. Hal seperti ini digambarkan Al-Qur'an bahwa perhiasan dunia dengan segala gemerlap dan kemajuannya itu (mataa'u d-dunyaa) sedikit, terbatas waktunya, sedangkan kenikmatan akhirat itu lebih baik dan lebih banyak (An-Nisa' [4): 77). Karena itu peralihan untuk meningkat tersebut harus diukur dan dikoridori/dikontrol oleh rambu-rambu "khair" tersebut (Adl-Dluha [93]: 4).
Keempat, kaya harapan. Bahwa untuk meraih kemajuan hidup, karena harus  melewati jembatan "proses", maka sangat mungkin terjadi halangan, kebelum-ber-hasilan/gagal, hambatan/ganjalan, pasang- surut, untung-rugi, dan sebagainya. Menghadapi hal yang demikian ini  seseorang harus tahan uji, kuat mental, dan kokoh kemauan. Untuk itu Al-Qur'an mengajari agar kaya harapan. Caranya: berdoa. Karena Allah SwT adalah Maha Kaya, sekaligus Maha Pengasih dan Maha  pemurah (rahmaan rahiim), maka kepada-Nyalah hati manusia perlu dilabuhkan, dimintal pertolongan-Nya, dimintai karunia-Nya. Dengan cara seperti itu harapan akan muncul dan menjadi kaya dalam ruang batin. Orang tidak mudah patah semangat karenanya. (Asy-Syarh [94]: 8). Begitulah Al-Qur'an mengajari orang  beriman meraih kemajuan hidupnya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.-

Hubungan Erat Antara Keimanan dan Kemajuan

Hubungan Erat Antara Keimanan dan Kemajuan
Muhammad Alifuddin

Tidak jarang orang beranggapan,  bahwa pencapaian kemajuan  kehidupan manusia seperti sekarang  ini didasarkan pada kemampuan dan  kekuatan manusia dalam memanfaatkan olah falsafahnya. Atau  dengan lain perkataan, kemajuan kehidupan manusia banyak  ditentukan oleh kekuatan filsafat.
Banyak  yang sangat percaya, bahwa dengan temuan falsafah, seperti falsafah Rasionalisme dan Eksperimentalisme, maka berkembanglah  ilmu pengetahuan yang beranak-kandung teknologi dengan  sesatnya. Bahwa  manakala manusia secara serius mau  memeras otak dan kecerdasannya serta  tekun  melakukan percobaan-percobaan  dalam hal apa saja, maka akan majulah kehidupannya. Begitulah kira-kira ilustrasi  anggapan banyak orang dewasa ini.
Namun, ketika kemajuan kehidupan telah dicapai, tak  jarang pula terdengar keluhan,  bahwa justru setelah mencapai apa yang disebut"kemajuan kehidupan"tersebut malahan merasa makin jauh dari rasa puas dan  tidak merasa sejuk hati. Atau  dengan lain perkataan, hidup terasa makin "kering" "kurang bermakna", "hilang tujuan hidup" "serba  mekanis dan robotis", dan sebagainya.
Mengapa hal seperti ini, keadaan yang serba paradoks, terjadi?    jawabannya adalah  karena kekuatan agama yang berupa keyakinan rohani tidak dilibatkan. Agama dan keyakinan rohani adalah wujud dari pernyataan perasaan, dunia kepuasan dan kesejukan hati. Sebaliknya, filsafat dan olah falsafah hanya menyuplai kepuasan otak dan pikiran belaka. Tampaknya, apa yang disebut kepuasan itu baru lengkap dan menyeluruh  kalau kepuasan pikiran digabung dengan kepuasan perasaan.  Sekarang kita bertanya, bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang hubungan antara masalah keimanan dan kemajuan hidup Al-Qur'an tidak mengajari manusia untuk meraih kemajuan dalam hidupnya dengan berdasar berfalsafah secara ekstrem, seperti berspekulasi, bahwa pada hakikatnya kehidupan ini, mati dan hidup, hanyalah fenomena "dahr", masa (Al-Jatsiyah [45]: 24).
Berfalsafah seperti itu dinyatakan hanya sebagai olah spekulasi (dhann), tidak berdasar ilmu yang benar. demikian kritik Al-Qur'an. Walaupun Al-Qur'an menghargai potensi akal yang menyebabkan manusia mampu berpikir, namun Al-Qur'an tidak membenarkan manusia berpikir secara- ekstrem, yang ujung-ujungnya hanya bertaraf spekulatif tanpa fondasi.
Al-Qur'an mengajari manusia untuk meraih  kemajuannya berdasar keyakinan rohani dan didukung oleh penggunaan potensi akal secara benar. inilah yang disebut keimanan terhadap petunjuk (hidayah) Allah SwT. Petunjuk tersebut berwujud prinsip-prinsip yang perlu dijadikan patokan ketika manusia beriman (Mukmin) akan meraih kemajuan hidupnya. Apa isi prinsip-prinsip tersebut?
Pertama, dasar bertindak. Bahwa dasar bertindak untuk meraih kemajuan adalah: mengubah nasib. Hidup di dunia ini diliputi oleh keniscayaan untuk terjadi "perubahan". Perubahan yang bersifat teknis dinyatakan Al-Qur'an tergantung pada usaha manusia itu sendiri, mau berubah atau tidak, berusaha untuk berubah atau tidak (Ar-Ra'd [13]; 11). Lalu apa "yang diubah"? Al-Qur'an menegaskan: nasib. Kata "nasib" ada keterkaitan dengan kosa kata "nashabah yang berarti mengangkat atau mendirikan.  Jadi, nasib adalah kondisi (dalam hal ini hidup) yang perlu ditingkatkan, diangkat lebih tinggi dari kondisi sebelumnya, didirikan/dibangun kondisi baru  yang lebih meningkat. Peningkatan yang lebih tinggi ini oleh Al-Qur'an justru diperintahkan dengan kalimat frasa "fanshab" yang terjemahan luasnya: maka carilah, temukan, dan jalankan usaha/pekerjaan/tindakan/kreasi/metode/kemampuan yang diyakini dapat meningkatkan kondisi yang lebih tinggi lagi (Asy-Syarh [94]: 7).
Kedua, hasil dari proses persaingan. Persaingan (kompetisi) yang  sehat dan membangun (konstruktif). Kata kuncinya adalah: unggul. Unggul di sini bukan berarti menang karena berhasii mengalahkan, atau menang untuk bangga atau untuk menganggap kecil   pihak lain,  melainkan unggul karena kompetisi dalam hal-hal yang baik dan konstruktif. Rumusannya dalam Al-qur'an disebut "fa- 'stabiquu-'l-khairaat", maka berlomba-lobalah dalam berbuat kebajikan (Al-Baqarah [2]: 148; Al-Maidah [5]: 48). Jadi, hasil kemajuan yang dicapai harus melalui proses persaingan, bukan  proses yang berdiri sendiri. Sebab, dalam setiap tempat dan zaman, mesti ada yang berusaha untuk mencari kebajikan, tidak pernah sepi dari hal itu.
Ketiga, hasil dari usaha. Hasil dari usaha untuk mencapai kemajuan hidup di atas adalah: meningkat lebih baik. Di sini yang menjadi ukuran mutunya,  yaitu "baik", dan ukuran jumlahnya, yaitu "banyak". Ukuran mutu"baik" dan jumiah*banyak"ini  dirangkum dengan istilah "khair" dalam Al-Qur'an. Hal seperti ini digambarkan Al-Qur'an bahwa perhiasan dunia dengan segala gemerlap dan kemajuannya itu (mataa'u d-dunyaa) sedikit, terbatas waktunya, sedangkan kenikmatan akhirat itu lebih baik dan lebih banyak (An-Nisa' [4): 77). Karena itu peralihan untuk meningkat tersebut harus diukur dan dikoridori/dikontrol oleh rambu-rambu "khair" tersebut (Adl-Dluha [93]: 4).
Keempat, kaya harapan. Bahwa untuk meraih kemajuan hidup, karena harus  melewati jembatan "proses", maka sangat mungkin terjadi halangan, kebelum-ber-hasilan/gagal, hambatan/ganjalan, pasang- surut, untung-rugi, dan sebagainya. Menghadapi hal yang demikian ini  seseorang harus tahan uji, kuat mental, dan kokoh kemauan. Untuk itu Al-Qur'an mengajari agar kaya harapan. Caranya: berdoa. Karena Allah SwT adalah Maha Kaya, sekaligus Maha Pengasih dan Maha  pemurah (rahmaan rahiim), maka kepada-Nyalah hati manusia perlu dilabuhkan, dimintal pertolongan-Nya, dimintai karunia-Nya. Dengan cara seperti itu harapan akan muncul dan menjadi kaya dalam ruang batin. Orang tidak mudah patah semangat karenanya. (Asy-Syarh [94]: 8). Begitulah Al-Qur'an mengajari orang  beriman meraih kemajuan hidupnya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.-

Gerak Kemajuan Muhammadiyah

Sejarah Muhammadiyah

Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria, diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus berlangsung -meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang Islam memandang keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai standard Islam yang benar.
Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-pikiran abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.
KH. Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton, sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli berbunyi (dengan ejaan baru):
Maka perhimpunan itu maksudnya :
a.       Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie Yogyakarta.
b.       Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah  ialah yang seperti yang dikemukakan M. Djindar Tamimy: Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan” adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :
Pertama    :   berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua       :    berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam sebenar-benarnya.
Islam sebagai agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan persoalan dunia, tetapi mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan. Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini Muhammadiyah menampakkan diri sebagai pengembangan dari pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai karya amal shaleh.
Usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu : bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan.

 
 
1.       Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu, lingkungan situasi dan kondisi, mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas tampak dan tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran tambahan lain.
Di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, lewat sunah-sunahnya.
Dalam masalah aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam, sedang dalam ibadah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
Dengan kembali kepada ajaran dasar ini yang populernya disebut pada Al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah berusaha menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam agama. Memang di Indonesia keadaan ini terasa sekali, bahwa keadaan keagamaan yang nampak adalah serapan dari berbagai unsur kebudayaan yang ada.

 
 
Di antara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan berasal dari agama Islam antara lain : pemujaan arwah nenek moyang, benda-benda keramat, berbagai macam upacara dan selamatan, seperti pada waktu-waktu tertentu pada waktu hamil, pada waktu puput pusar, khitanan, pernikahan, dan kematian. Upacara dan do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-5, ke-40, ke-100, ke-1000 setelah meninggal. Peristiwa penting yang berssfat sosial yang berhubungan dengan kepercayaan seperti kenduri/ slametan pada bulan Sya’ban dan Ruwah. Berziarah ke makam orang-orang suci dan minta dido’akan. Begitu pula orang sering kali meminta nasehat dan bantuannya kepada petugas agama di desa (seperti modin, rois, kaum) dalam hal-hal yang berhubungan dengan  takhayul, misal untuk menolak pengaruh penyakit, yang untuk itu biasanya mereka diberi/dibacakan do’a-do’a dalam bahasa Arab, yang di antara do’a tersebut tidak jarang bagian-bagian yang berbau Agama Hindu atau animisme dari zaman kuno, dan sebagainya.
 
 

Terhadap tradisi dan kepercayaan di atas banyak orang Islam yang menganggap bahwa hal tersebut termasuk amalan-amalan keagamaan, atau setidak-tidaknya hal tersebut tidak bertentangan.
Terhadap tradisi, adat kebiasaan dan berbagai macam kepercayaan di atas banyak kaum muslimin yang melakukannya tanpa reserve, bahkan mereka menganggap bahwa hal di atas termasuk keharusan menurut agama.
Untuk itu Muhammadiyah berusaha meluruskan kembali dengan memberantas segala bentuk bid’ah dan khurafat sepeti bentuk di atas.
Usaha Muhammadiyah untuk memurnikan keyakinan umat Islam Indonesia, ialah Muhammadiyah telah mengenalkan penelaahan kembali dan pengubahan drastis, jika diperlukan, menuju penafsiran yang benar terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha pemurnian tersebut antara lain dapat disebut :
1.       Penentuan arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
2.       Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.
3.       Menyelenggarakan sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid.
4.       Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas, oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai atau petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan sebagainya).
5.       Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian khutbah dalam bahasa Arab.
6.       Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat politheistis darinya.
7.       Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.
8.       Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
9.       Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh para kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.
10.   Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.
Dalam rangka usaha tersebut, tidak sedikit rintangan yang dialami. Beberapa tafsir Muhammadiyah tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits menimbulkan debat theologis di antara ulama.Tetapi kemudian, beberapa hal yang dipelopori oleh Muhammadiyah menjadi umum di kalangan umat Islam di Indonesia.
Untuk membahas, apakah adat istiadat/tradisi serta kepercayaan berlaku di masyarakat itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits atau tidak, dalam Muhammadiyah dibicarakan oleh suatu lembaga yang bernama “Lajnah Tarjih”. Tarjih ini adalah merupakan realisasi dari prinsip, bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.

 
 
Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah   ke- XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur.
 
 

Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di masyarakat tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung, bank dan lain-lain.


 
 
2.       Bidang Pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah mempelopori dan menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammadiyah, yang berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih dalam, pendidikan mempunyai arti penting, karena melalui inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.
Pembaharuan pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksud K.H. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.
Gagasan pendidikan Muhammadiyah adalah untuk mendidik sejumlah banyak orang awam dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dalam usaha merealisasi gagasan tersebut, Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan Ahmad Dahlan, telah berusaha keras untuk mengawinkan antara dua sistim pendidikan, pesantren (pendidikan agama pedesaan di bawah tuntunan kyai/ulama) dan sekolah model barat, dengan menghilangkan kelemahan dari keduanya. Menurut Muhammadiyah, pendidikan pesantren tradisional membutuhkan waktu terlalu banyak bagi santri untuk menyelesaikannya, juga kurang adanya sistim kelas atau penjenjangan. Pesantren biasanya hanya terbatas pada sejumlah kecil mata pelajaran tertentu, sehingga santri harus memasuki dan tinggal di beberapa pesantren agar sempurna ilmunya. Pesantren tradisional tidak cukup membekali santrinya dalam memecahkan masalah-masalah keduniawian, karena lembaga-lembaga tersebut tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran sekuler. Di pihak lain, pendidikan model Barat hanya mengajarkan ketrampilan praktis, pengetahuan dan ilmu umum, tetapi tidak mengajarkan ketrampilan akhlak, budi pekerti, dengan bersandar kepada ajaran Islam. Muhammadiyah merasa perlu menggabungkan keduanya : pendidikan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Atau dengan kata lain, bahwa dengan sistim pendidikannya itu, Muhammadiyah ingin membentuk ulama intelek dan atau intelek yang ulama.
Dengan mengambil unsur-unsurnya yang baik dari sistim pendidikan Barat dan sistim pendidikan tradisional, Muhammadiyah berhasil membangun sistim pendidikan sendiri, seperti sekolah model Barat, tetapi dimasuki pelajaran agama di dalamnya, sekolah dengan menyertakan pelajaran sekuler, bermacam-macam sekolah kejuruan dan lain-lain.
Sedang dalam cara penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi dilaksanakan di masjid atau langgar, tetapi di gedung khusus, yang di lengkapi dengan meja, kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai.
Selain pembaharuan dalam lembaga pendidikan formal, Muhammadiyah pun telah memperbaharui bentuk pendidikan tradisional non formal, yaitu pengajian. Semula pengajian di lakukan di mana orang tua atau guru privat mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah diperluas dan pengajian disistematiskan ke dalam bentuk pendidikan agama non formal, di mana pesertanya lebih banyak juga isi pengajian diserahkan pada masalah-masalah kehidupan sehari-hari umat Islam.
Begitu pula Muhammadiyah dalam usaha pembaharuan ini telah berhasil mewujudkan bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi, seperti Muhammadiyah telah memelopori mendirikan Badan Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar. Dengan menyelenggarakan pengajian dan nasihat yang bersifat pribadi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.

 
 
3.  Bidang Kemasyarakatan    
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, maka usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah yatim piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya di dalam memelihara anak yatim piatu. Badan atau lembaga pendidikan sosial di dalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan yang ada kaitannya dengan bidang sosial, seperti prosedur penerimaan dan pembagian zakat ditangani sepenuhnya oleh P.K.U., yang sekaligus berwenang sebagai badan ‘amil.
Usaha pemaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1923. Ide di balik pembangunan dalam bidang ini karena banyak di antara orang Islam yang mengalami kesengsaraan, dan hal ini merupakan kesempatan bagi kaum muslimin untuk saling tolong-menolong.
Perhatian pada kesengsaraan umum dan kewajiban menolong sesama muslim, tidak hanya sekedar karena rasa cinta kasih pada sesama, tetapi juga ada tuntunan agama yang jelas untuk beramar ma’ruf. Sebagai perwujudan sosial dari semangat beragama. Hal ini merupakan gerakan sosial dengan ilham keagamaan. Contohnya ialah pengamalan firman Tuhan dalam Surat Al-Ma’un (terjemahannya) :

 
 
“Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiada menganjurkan menyantuni orang miskin. Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya’ dan tiada mau menolong dengan barang-barang yang berguna.”
Ajaran ini direalisasikan oleh Muhammadiyah melalui pendirian rumah yatim, klinik, rumah sakit dan juga melalui pembaharuan cara mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
Dapatlah disimpulkan, bahwa pembaharuan sosial kemasyarakatan yang dilakukan Muhammadiyah, merupakan salah satu wujud dari ketaatan beragama, dalam dimensi sosialnya, atau dimaksudkan untuk mencapai tujuan keagamaan.

Mencerahkan Batin Lewat Membaca Al-Qur’an

Mencerahkan Batin Lewat Membaca Al-Qur’an
Muhammad alifuddin


Selanjutnya, tadabbur terambil dari kata “dabara” yang artinya belakang. Pengertiannya ialah bahwa dalam membaca Al-Qur’an itu diperlukan pendalaman dalam memahami ayatayat yang dibaca. Dengan demikian, seseorang pembaca Al-Qur’an akan menguasai benar apa yang menjadi pesan yang termuat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibaca.

Pendalaman pemahaman ini juga melibatkan hati (qalbun), bukan sekadar hanya dengan nalar (pikiran logis) saja. Jadi, antara hati dan nalar perlu disiapakan dalam proses pendalaman tersebut. Dalam dunia hati yang dicari adalah keharusan dan kelayakan sesuatu sehingga dianggap proporsional oleh kebanyakan orang. Sedangkan dalam nalar yang dicari adalah ketepatan dan keajegan keadaan yang dianggap proporsional pula oleh kebanyakan orang. Allah  SwT berfirman (Q.s. Muhammad [47]: 24):

afalaa yatadabbaruuna-’1-qur’aana am qu-luubun aqfaaluhaa = Maka apakah mereka mendalami Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? Dengan demikian, orang membaca Al-Qur’an itu tidak sekadar “membaca” dalam arti  biasa membaca huruf/aksara, melainkan perlu dibarengi dengan mendalami isi ayat Al-Qur’an dengan hati dan nalarnya.

Untuk selanjutnya, perlu juga tadzkir (pelafalan aslinya “tadzkiir”) yang berasal dari kata “dzakara” yang berarti mengingat. Yang dimaksud di sini adalah bahwa ketika seseorang membaca ayat-ayat Al-Qur’an,maka apa saja yang dipahami dan dikuasai secara mendalam perlu disimpan dalam alam memori (ingatan). Tidak begitu memahami dan menguasai lalu hilang tidak berbekas. Seharusnyalah apa saja yaug telah dipahami dan dikuasai dengan baik dan mendalam tersebut mampu memberi juru penerang dalam setiap langkah kehidupan seseorang atau mampu menjadi pengingat manakala terjadi kemelencengan hidup. Ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dibaca mampu memperkokoh keyakinan hati bahwa Allah SwT senantiasa mengawasi seluruh perilaku dalam kehidupan seharihari. Menurut Al-Qur’an, jika seseorang benar-benar ingin  menjadikan Al-Qur’an sebagai pihak pengingatnya, maka Allah SwT telah mempermudahnya terhadap hal yang demikian itu (Q.s. Al-Qomar [54]: 32): wa laqad yassarna-’l-qur’aana li-’dz-dzikri fa hal min muddakir = Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an sebagai pengingat (pelajaran), maka adakah yang mau mengambil pelajaran?

Unsur terakhir dalam bangunan istilah “qiraa’ah” adalah dirasat (pelafalan aslinya “diraasat”) berasal dari kata, “darasa” yang berarti mempelajari. Dirasat di sini dimaksudkan adalah mengulang-ngulangi dalam membaca sehingga menjadi hafal. Arti lainnya adalah membaca secara berulang untuk memperluas pandangan atau wawasan. Dua pengertian ini pada hakikatnya saling menguatkan. Dengan dirasat tersebut seseorang yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan gampang melupakan pesan-pesan mulia yang terkandung di dalamnya, bahkan akan terasa rindu untuk selalu kembali mempelajari pesan-pesan mulia tersebut. Di  samping itu, dengan dirasat tersebut seseorang menjadi merasa luas pandangan dan wawasan, tidak merasa tertelikung di ruang yang  sempit dan pengap yang menyesakkan dada, melainkan merasa lapang tempat, berudara segar, dan longgar menarik nafas. Dengan dirasat seseorang yang membaca Al-Qur’an merasa mendapat pemecahan kalau ada permasalahan, mendapat ketenangan kalau ada kebingungan atau ancaman, mendapat nur (cahaya) kalau ada kegelapan, dan mendapat keteduhan kalau ada kegundahan. Barangkali inilah maksud firman Allah SwT (Q.s. Al-An’am [6]: 156): an taquuluu innama unzila-’lkitaa- bu ’alaa thaaifataini min qablinaa wa in kunnaa ’an  diraasatihim laghaafiliin = (dengan diturunkan-Nya Al-Qur’an itu) agar kamu tidak mengatakannya: “Bahwasanya kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja (yaitu Yahudi dan Nasrani) sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka pelajari. Ayat Al-Qur’an ini menjelaskan bahwa kalangan pemuka Yahudi dan Nasrani pada masa Rasulullah saw dikenal sebagai orang-orang yang  tekun dalam mempelajari Kitab-Kitab Suci mereka. Bahwa dengan diturunkannya Al-Qur’an, maka umat Islam tidak pada tempatnya kalau kalah tekun dalam mempelajari Kitab Suci Al-Qur’an yang penuh mengandung pesan-pesan yang mulia pula.

Jadi, istilah “qiraa’ah” atau  membaca Al-Qur’an perlu dilengkapi dan diutuhkan dengan unsur tartil (membaca huruf/ aksaranya secara jelas), tadabbur (mendalami isi  ayat yang dibaca), tadzkir (mengingat selalu isi pelajaran dari ayat yang dibaca), dan dirasat (mempelajari isi ayat agar memperoleh keluasan pandangan dan wawasan). Kalau seseorang sungguh- sungguh telah membaca Al-Qur’an menurut prinsip-prinsip “qiraa’ah” di atas, maka berlakulah rahmat Allah SwT bagi para pendengar bacaannya (Q.s. Al-A’raf [7]: 204): wa idzaa quri’a-’l-qur’aanu fa-’s-tami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamuun  = Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkan bacaan itu (baikbaik), dan perhatikan dengan tenang (tidak berbicara) agar kamu mendapat rahmat. Janji mendapat rahmat ini diwujudkan dalam bentuk: (1) akan mendapat curahan hidayah  atau petunjuk yang tidak akan pernah salah (inna haadzaa-’l-qur’aana yahdii lillatii hiya aqwamu = Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk ke (jalan) yang lebih lurus; Q.s. Al-Isra’ [7]: 9); dan (2) akan mendapat obat atau penawar dan rahmat bagi orang yang beriman sungguh-sungguh. Qiraa’ah seperti inilah yang sesungguhnya dikehendaki Al-Qur’an. Sekalipun harus juga diakui, bahwa jika telah melakukan salah satu dari pilar qiraa’ah, yaitu tartil, tadabbur, tadzkir, dan dirasat, telah menghasilkan pahala di sisi Allah SwT.

Kedua, adalah istilah “tilaawah”. Setengah ahli tafsir mengartikan asal kata tilaawah adalah mengikuti. Artinya, kalau dalam konteks membaca huruf/aksara, maka arti tilaawah adalah mengikuti apa bunyi huruf/ aksara beserta tanda-tanda bacanya. Dalam arti yang lebih luas, tilaawah memiliki arti: bacaan yang menyebabkan pendengarnya menjadi mengikuti atau terhanyut di dalamnya. Tegasnya, tilaawah adalah bacaan yang sangat mempengaruhi alam jiwa (ruhani) seseorang. Tilaawah adalah “bacaan yang sangat begitu menyentuh hati”. Kata tilaawah hanya dipakai  untuk pengertian membaca sesuatu yang agung dan suci, dalam hal ini hanya terbatas pada ayat-ayat Kitab Suci atau wahyu. Sementara itu, kata qiraa’ah obyek atau sasarannya lebih luas dan lebih umum, yang meliputi ayat suci atau wahyu dan juga di luar itu (simbol apa saja dan kitab terbuka alam semesta).

Dalam kegiatan tilaawah lebih ditujukan untuk kepentingan, pertama, untuk memperkokoh keimanan yang sudah mapan tertanam dalam hati. Hal ini bisa untuk ditujukan kepada diri si pembaca Al-Qur’an sendiri, bisa juga bagi para pendengar bacaan Al-Qur’an sendiri. Inilah yang disitir Al-Qur’an (Q.s. Al-Anfal [8]: 2): innama-‘lmu’minuuna-‘ l-ladziina idza dzukira-‘llaahu wajilat quluubuhum wa idzaa tuliyat aayaatuhu zaadathum iimaanan wa‘alaa rabbihim yatawakkaluuna = Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah (maka serentak) gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan ayat-ayat firman- Nya (maka serentak) bertambah-tambahlah iman mereka serta, (hanya) kepada Tuhan merekalah mereka bertawakal. Dengan tilaawah Al-Qur’an, maka mudah tersentuhlah perasaan keimanan seseorang, baik karena mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacanya sendiri atau karena mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca orang lain. Kedua, untuk menarik pendengarnya dan merasa tersentuh untuk beriman dengan kesadaran penuh dari dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, berkat mendengar tilaawah ayatayat Al-Qur’an seseorang termotivasi kuat muncul rasa keimanannya. Ini barangkali yang dimaksud firman Allah SwT. (Q.s. An-Naml [27]: 92): wa an atluwaa-’l-qur’aana fa mani-‘h-tadaa fa innamaa yahtadii lii nafsihi = Dan supaya aku (Muhammad) membacakan Al-Qur’an (tertuju kepada seluruh manusia); maka barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya dia adalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya (sendiri). Tugas para Rasul antara lain adalah membacakan (tilaawah) ayatayat firman-Nya dan wahyu-Nya secara menarik untuk membersihkan keimanan mereka, mengajarkan isi kitab dan hikmah agar pendengarnya terentaskan dari kesesatan jalan dalam hidupnya (Q.s. Ali Imran [3]: 164).

Berdasar uraian di atas, maka dalam tilaawah perlu dicapai sifat bacaan yang bersifat menarik, menyentuh perasaan, memberikan motivasi yang  tumbuh dari dalam diri sendiri, dan memberikan motivasi orang untuk berubah, terutama dalam hal keimanannya. Sifat tilaawah yang demikian inilah yang dilakukan para Rasul.

Uraian di atas menunjukkan secara begitu jelas bahwa qiraa’ah dan tilaawah merupakan dua hal yang sungguh-sungguh pokok tatkala seorang Mukmin menghadapi Al-Qur’an. Dengan qiraa’ah dan tilawaah seperti terurai di atas diharapkan akan menimbulkan kecerahan batin umat Mukmin, apalagi bertepatan waktu dengan ibadah shiyaam di bulan suci Ramadlan. Orang Mukmin yang sedang membaca Al-Qur’an tidak sekadar membaca begitu saja, tetapi perlu mengikuti apa saja yang seharusnya terjadi dan dilakukan pada saat melakukan qiraa’ah dan tilaawah. Dengan demikian bobot dan kualitas pembacaan Al-Qur’an, minimal selama bulan suci Ramadlan, akan lebih meningkat tajam. Insya Allah, di situlah akan terjadi pencerahan batin dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Mari  kita niatkan dan kita mulai mencoba melakukannya. Wallaahu a’lam bishshawaab