Hubungan Erat Antara Keimanan dan Kemajuan
DR. Mohammad Damami, M.Ag
Tidak jarang orang beranggapan, bahwa pencapaian kemajuan kehidupan manusia seperti sekarang ini didasarkan pada kemampuan dan kekuatan manusia dalam memanfaatkan olah falsafahnya. Atau dengan lain perkataan, kemajuan kehidupan manusia banyak ditentukan oleh kekuatan filsafat.
Banyak yang sangat percaya, bahwa dengan temuan falsafah, seperti falsafah Rasionalisme dan Eksperimentalisme, maka berkembanglah ilmu pengetahuan yang beranak-kandung teknologi dengan sesatnya. Bahwa manakala manusia secara serius mau memeras otak dan kecerdasannya serta tekun melakukan percobaan-percobaan dalam hal apa saja, maka akan majulah kehidupannya. Begitulah kira-kira ilustrasi anggapan banyak orang dewasa ini.
Namun, ketika kemajuan kehidupan telah dicapai, tak jarang pula terdengar keluhan, bahwa justru setelah mencapai apa yang disebut"kemajuan kehidupan"tersebut malahan merasa makin jauh dari rasa puas dan tidak merasa sejuk hati. Atau dengan lain perkataan, hidup terasa makin "kering" "kurang bermakna", "hilang tujuan hidup" "serba mekanis dan robotis", dan sebagainya.
Mengapa hal seperti ini, keadaan yang serba paradoks, terjadi? jawabannya adalah karena
kekuatan agama yang berupa keyakinan rohani tidak dilibatkan. Agama
dan keyakinan rohani adalah wujud dari pernyataan perasaan, dunia
kepuasan dan kesejukan hati. Sebaliknya, filsafat dan olah falsafah
hanya menyuplai kepuasan otak dan pikiran belaka. Tampaknya, apa yang
disebut kepuasan itu baru lengkap dan menyeluruh kalau kepuasan pikiran digabung dengan kepuasan perasaan. Sekarang
kita bertanya, bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang hubungan antara
masalah keimanan dan kemajuan hidup Al-Qur'an tidak mengajari manusia
untuk meraih kemajuan dalam hidupnya dengan berdasar berfalsafah
secara ekstrem, seperti berspekulasi, bahwa pada hakikatnya kehidupan
ini, mati dan hidup, hanyalah fenomena "dahr", masa (Al-Jatsiyah [45]:
24).
Berfalsafah seperti itu
dinyatakan hanya sebagai olah spekulasi (dhann), tidak berdasar ilmu
yang benar. demikian kritik Al-Qur'an. Walaupun Al-Qur'an menghargai
potensi akal yang menyebabkan manusia mampu berpikir, namun Al-Qur'an
tidak membenarkan manusia berpikir secara- ekstrem, yang ujung-ujungnya
hanya bertaraf spekulatif tanpa fondasi.
Al-Qur'an mengajari manusia untuk meraih kemajuannya
berdasar keyakinan rohani dan didukung oleh penggunaan potensi akal
secara benar. inilah yang disebut keimanan terhadap petunjuk (hidayah)
Allah SwT. Petunjuk tersebut berwujud prinsip-prinsip yang perlu
dijadikan patokan ketika manusia beriman (Mukmin) akan meraih kemajuan
hidupnya. Apa isi prinsip-prinsip tersebut?
Pertama, dasar
bertindak. Bahwa dasar bertindak untuk meraih kemajuan adalah: mengubah
nasib. Hidup di dunia ini diliputi oleh keniscayaan untuk terjadi
"perubahan". Perubahan yang bersifat teknis dinyatakan Al-Qur'an
tergantung pada usaha manusia itu sendiri, mau berubah atau tidak,
berusaha untuk berubah atau tidak (Ar-Ra'd [13]; 11). Lalu apa "yang
diubah"? Al-Qur'an menegaskan: nasib. Kata "nasib" ada keterkaitan
dengan kosa kata "nashabah yang berarti mengangkat atau mendirikan. Jadi,
nasib adalah kondisi (dalam hal ini hidup) yang perlu ditingkatkan,
diangkat lebih tinggi dari kondisi sebelumnya, didirikan/dibangun
kondisi baru yang lebih
meningkat. Peningkatan yang lebih tinggi ini oleh Al-Qur'an justru
diperintahkan dengan kalimat frasa "fanshab" yang terjemahan luasnya:
maka carilah, temukan, dan jalankan
usaha/pekerjaan/tindakan/kreasi/metode/kemampuan yang diyakini dapat
meningkatkan kondisi yang lebih tinggi lagi (Asy-Syarh [94]: 7).
Kedua, hasil dari proses persaingan. Persaingan (kompetisi) yang sehat
dan membangun (konstruktif). Kata kuncinya adalah: unggul. Unggul di
sini bukan berarti menang karena berhasii mengalahkan, atau menang
untuk bangga atau untuk menganggap kecil pihak lain, melainkan
unggul karena kompetisi dalam hal-hal yang baik dan konstruktif.
Rumusannya dalam Al-qur'an disebut "fa- 'stabiquu-'l-khairaat", maka
berlomba-lobalah dalam berbuat kebajikan (Al-Baqarah [2]: 148; Al-Maidah
[5]: 48). Jadi, hasil kemajuan yang dicapai harus melalui proses
persaingan, bukan proses yang
berdiri sendiri. Sebab, dalam setiap tempat dan zaman, mesti ada yang
berusaha untuk mencari kebajikan, tidak pernah sepi dari hal itu.
Ketiga, hasil dari
usaha. Hasil dari usaha untuk mencapai kemajuan hidup di atas adalah:
meningkat lebih baik. Di sini yang menjadi ukuran mutunya, yaitu "baik", dan ukuran jumlahnya, yaitu "banyak". Ukuran mutu"baik" dan jumiah*banyak"ini dirangkum
dengan istilah "khair" dalam Al-Qur'an. Hal seperti ini digambarkan
Al-Qur'an bahwa perhiasan dunia dengan segala gemerlap dan kemajuannya
itu (mataa'u d-dunyaa) sedikit, terbatas waktunya, sedangkan
kenikmatan akhirat itu lebih baik dan lebih banyak (An-Nisa' [4): 77).
Karena itu peralihan untuk meningkat tersebut harus diukur dan
dikoridori/dikontrol oleh rambu-rambu "khair" tersebut (Adl-Dluha [93]:
4).
Keempat, kaya harapan. Bahwa untuk meraih kemajuan hidup, karena harus melewati
jembatan "proses", maka sangat mungkin terjadi halangan,
kebelum-ber-hasilan/gagal, hambatan/ganjalan, pasang- surut,
untung-rugi, dan sebagainya. Menghadapi hal yang demikian ini seseorang
harus tahan uji, kuat mental, dan kokoh kemauan. Untuk itu Al-Qur'an
mengajari agar kaya harapan. Caranya: berdoa. Karena Allah SwT adalah
Maha Kaya, sekaligus Maha Pengasih dan Maha pemurah
(rahmaan rahiim), maka kepada-Nyalah hati manusia perlu dilabuhkan,
dimintal pertolongan-Nya, dimintai karunia-Nya. Dengan cara seperti itu
harapan akan muncul dan menjadi kaya dalam ruang batin. Orang tidak
mudah patah semangat karenanya. (Asy-Syarh [94]: 8). Begitulah
Al-Qur'an mengajari orang beriman meraih kemajuan hidupnya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar