Sejarah Muhammadiyah
Pada
permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan munculnya gerakan
pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya dapat
dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan
pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria,
diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian
Jamaluddin al Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir.
Munculnya gerakan pembaharuan pemahaman agama itu merupakan sebuah
fenomena yang menandai proses Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan
proses Islamisasi yang terus berlangsung -meminjam konsep Nakamura-
dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang Islam memandang
keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum
memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami
kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka
anggap sebagai standard Islam yang benar.
Peningkatan
agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-pikiran abstrak tetapi
diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk organisasi-organisasi yang
bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di Indonesia adalah
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8
Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.
KH.
Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan di
Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan
Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH.
Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi
pekerjaan ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia
melihat praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi
dalem Kraton, sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki
keadaan.
Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada mulanya bersifat lokal,
tujuannya terbatas pada penyebaran agama di kalangan penduduk
Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli berbunyi (dengan ejaan
baru):
Maka perhimpunan itu maksudnya :
a. Menyebarkan
pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam
kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie Yogyakarta.
b. Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Berkat
kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin organisasinya, maka dalam
waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan pesat sehingga tidak
lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh
Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.
Misi
utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid)
pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh
Muhammadiyah ialah yang seperti yang dikemukakan M. Djindar Tamimy:
Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan”
adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :
Pertama
: berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada
keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai
soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua
: berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu
sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, strategi,
taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya
berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.
Dapat
disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti
memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan
ajaran.
Muhammadiyah
adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam
ditengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam
sebenar-benarnya.
Islam
sebagai agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan
persoalan dunia, tetapi mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang
memancar ke dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu
kesatuan suatu keutuhan. Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah
yang ditampilkan Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan
sekarang ini Muhammadiyah menampakkan diri sebagai pengembangan dari
pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH. Ahmad
Dahlan sebagai karya amal shaleh.
Usaha
pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga
bidang garapan, yaitu : bidang keagamaan, pendidikan, dan
kemasyarakatan.
1. Bidang keagamaan
Pembaharuan
dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar
yang berlaku abadi, yang karena waktu, lingkungan situasi dan kondisi,
mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas tampak dan
tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran tambahan lain.
Di
atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud pembaharuan dalam bidang
keagamaan adalah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada
keasliannya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik menyangkut
aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan
aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran dan
dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, lewat sunah-sunahnya.
Dalam
masalah aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang
murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam, sedang dalam
ibadah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana
yang dituntunkan Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia.
Dengan
kembali kepada ajaran dasar ini yang populernya disebut pada Al-Qur’an
dan Hadits, Muhammadiyah berusaha menghilangkan segala macam tambahan
yang datang kemudian dalam agama. Memang di Indonesia keadaan ini terasa
sekali, bahwa keadaan keagamaan yang nampak adalah serapan dari
berbagai unsur kebudayaan yang ada.
Di
antara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan berasal dari agama
Islam antara lain : pemujaan arwah nenek moyang, benda-benda keramat,
berbagai macam upacara dan selamatan, seperti pada waktu-waktu tertentu
pada waktu hamil, pada waktu puput pusar, khitanan, pernikahan, dan
kematian. Upacara dan do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-5, ke-40,
ke-100, ke-1000 setelah meninggal. Peristiwa penting yang berssfat
sosial yang berhubungan dengan kepercayaan seperti kenduri/ slametan
pada bulan Sya’ban dan Ruwah. Berziarah ke makam orang-orang suci dan
minta dido’akan. Begitu pula orang sering kali meminta nasehat dan
bantuannya kepada petugas agama di desa (seperti modin, rois, kaum)
dalam hal-hal yang berhubungan dengan takhayul, misal untuk menolak
pengaruh penyakit, yang untuk itu biasanya mereka diberi/dibacakan
do’a-do’a dalam bahasa Arab, yang di antara do’a tersebut tidak jarang
bagian-bagian yang berbau Agama Hindu atau animisme dari zaman kuno, dan
sebagainya.
Terhadap
tradisi dan kepercayaan di atas banyak orang Islam yang menganggap
bahwa hal tersebut termasuk amalan-amalan keagamaan, atau
setidak-tidaknya hal tersebut tidak bertentangan.
Terhadap tradisi, adat kebiasaan dan berbagai macam kepercayaan di atas banyak kaum muslimin yang melakukannya tanpa reserve, bahkan mereka menganggap bahwa hal di atas termasuk keharusan menurut agama.
Untuk itu Muhammadiyah berusaha meluruskan kembali dengan memberantas segala bentuk bid’ah dan khurafat sepeti bentuk di atas.
Usaha
Muhammadiyah untuk memurnikan keyakinan umat Islam Indonesia, ialah
Muhammadiyah telah mengenalkan penelaahan kembali dan pengubahan
drastis, jika diperlukan, menuju penafsiran yang benar terhadap
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha pemurnian tersebut antara lain dapat
disebut :
1. Penentuan
arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari
kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
2. Penggunaan
perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa
(hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas
agama.
3. Menyelenggarakan
sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, Idul Fitri
dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah
jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid.
4. Pengumpulan
dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas,
oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat
dibandingkan sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan
ini pada pegawai atau petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan
sebagainya).
5. Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian khutbah dalam bahasa Arab.
6. Penyederhanaan
upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan
pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat politheistis
darinya.
7. Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.
8. Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
9. Membersihkan
anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh para
kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.
10. Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.
Dalam
rangka usaha tersebut, tidak sedikit rintangan yang dialami. Beberapa
tafsir Muhammadiyah tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits menimbulkan debat
theologis di antara ulama.Tetapi kemudian, beberapa hal yang dipelopori
oleh Muhammadiyah menjadi umum di kalangan umat Islam di Indonesia.
Untuk
membahas, apakah adat istiadat/tradisi serta kepercayaan berlaku di
masyarakat itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits atau tidak, dalam
Muhammadiyah dibicarakan oleh suatu lembaga yang bernama “Lajnah
Tarjih”. Tarjih ini adalah merupakan realisasi dari prinsip, bahwa pintu
ijtihad tetap terbuka.
Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah ke- XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur.
Fungsi
dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang
masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak
pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada
masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi
pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas
syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan
hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini berusaha untuk
mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di
masyarakat tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun
yang merupakan masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada
ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung,
bank dan lain-lain.
2. Bidang Pendidikan
Dalam
kegiatan pendidikan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah mempelopori
dan menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata.
Bagi Muhammadiyah, yang berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas
dan lebih dalam, pendidikan mempunyai arti penting, karena melalui
inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari
generasi ke generasi.
Pembaharuan
pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik
pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksud K.H. Ahmad Dahlan ialah
ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas
dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang
untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, adalah lebih banyak
berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.
Gagasan
pendidikan Muhammadiyah adalah untuk mendidik sejumlah banyak orang
awam dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dalam usaha merealisasi
gagasan tersebut, Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan Ahmad Dahlan,
telah berusaha keras untuk mengawinkan antara dua sistim pendidikan,
pesantren (pendidikan agama pedesaan di bawah tuntunan kyai/ulama) dan
sekolah model barat, dengan menghilangkan kelemahan dari keduanya.
Menurut Muhammadiyah, pendidikan pesantren tradisional membutuhkan waktu
terlalu banyak bagi santri untuk menyelesaikannya, juga kurang adanya
sistim kelas atau penjenjangan. Pesantren biasanya hanya terbatas pada
sejumlah kecil mata pelajaran tertentu, sehingga santri harus memasuki
dan tinggal di beberapa pesantren agar sempurna ilmunya. Pesantren
tradisional tidak cukup membekali santrinya dalam memecahkan
masalah-masalah keduniawian, karena lembaga-lembaga tersebut tidak
mengajarkan pelajaran-pelajaran sekuler. Di pihak lain, pendidikan model
Barat hanya mengajarkan ketrampilan praktis, pengetahuan dan ilmu umum,
tetapi tidak mengajarkan ketrampilan akhlak, budi pekerti, dengan
bersandar kepada ajaran Islam. Muhammadiyah merasa perlu menggabungkan
keduanya : pendidikan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.
Atau dengan kata lain, bahwa dengan sistim pendidikannya itu,
Muhammadiyah ingin membentuk ulama intelek dan atau intelek yang ulama.
Dengan
mengambil unsur-unsurnya yang baik dari sistim pendidikan Barat dan
sistim pendidikan tradisional, Muhammadiyah berhasil membangun sistim
pendidikan sendiri, seperti sekolah model Barat, tetapi dimasuki
pelajaran agama di dalamnya, sekolah dengan menyertakan pelajaran
sekuler, bermacam-macam sekolah kejuruan dan lain-lain.
Sedang
dalam cara penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi
dilaksanakan di masjid atau langgar, tetapi di gedung khusus, yang di
lengkapi dengan meja, kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai.
Selain
pembaharuan dalam lembaga pendidikan formal, Muhammadiyah pun telah
memperbaharui bentuk pendidikan tradisional non formal, yaitu pengajian.
Semula pengajian di lakukan di mana orang tua atau guru privat mengajar
anak-anak kecil membaca Al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah
diperluas dan pengajian disistematiskan ke dalam bentuk pendidikan agama
non formal, di mana pesertanya lebih banyak juga isi pengajian
diserahkan pada masalah-masalah kehidupan sehari-hari umat Islam.
Begitu
pula Muhammadiyah dalam usaha pembaharuan ini telah berhasil mewujudkan
bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang
diperlukan dan mungkin bersifat pribadi, seperti Muhammadiyah telah
memelopori mendirikan Badan Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar.
Dengan menyelenggarakan pengajian dan nasihat yang bersifat pribadi
tersebut, dapat ditunjukkan bahwa Islam menyangkut seluruh aspek
kehidupan manusia.
3. Bidang Kemasyarakatan
Di
bidang sosial dan kemasyarakatan, maka usaha yang dirintis oleh
Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah yatim
piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual
sebagaimana dilakukan orang pada umumnya di dalam memelihara anak yatim
piatu. Badan atau lembaga pendidikan sosial di dalam Muhammadiyah juga
ikut menangani masalah-masalah keagamaan yang ada kaitannya dengan
bidang sosial, seperti prosedur penerimaan dan pembagian zakat ditangani
sepenuhnya oleh P.K.U., yang sekaligus berwenang sebagai badan ‘amil.
Usaha pemaharuan dalam
bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan
Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1923. Ide di balik pembangunan
dalam bidang ini karena banyak di antara orang Islam yang mengalami
kesengsaraan, dan hal ini merupakan kesempatan bagi kaum muslimin untuk
saling tolong-menolong.
Perhatian
pada kesengsaraan umum dan kewajiban menolong sesama muslim, tidak
hanya sekedar karena rasa cinta kasih pada sesama, tetapi juga ada
tuntunan agama yang jelas untuk beramar ma’ruf. Sebagai perwujudan
sosial dari semangat beragama. Hal ini merupakan gerakan sosial dengan
ilham keagamaan. Contohnya ialah pengamalan firman Tuhan dalam Surat
Al-Ma’un (terjemahannya) :
“Tahukah
engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
yatim, dan tiada menganjurkan menyantuni orang miskin. Celakalah
orang-orang yang shalat, yaitu lalai dari shalatnya, orang-orang yang
riya’ dan tiada mau menolong dengan barang-barang yang berguna.”
Ajaran
ini direalisasikan oleh Muhammadiyah melalui pendirian rumah yatim,
klinik, rumah sakit dan juga melalui pembaharuan cara mengumpulkan dan
mendistribusikan zakat.
Dapatlah
disimpulkan, bahwa pembaharuan sosial kemasyarakatan yang dilakukan
Muhammadiyah, merupakan salah satu wujud dari ketaatan beragama, dalam
dimensi sosialnya, atau dimaksudkan untuk mencapai tujuan keagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar