MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Jumat, 03 Mei 2013

Gerak Kemajuan Muhammadiyah

Sejarah Muhammadiyah

Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria, diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus berlangsung -meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang Islam memandang keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai standard Islam yang benar.
Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-pikiran abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.
KH. Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton, sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli berbunyi (dengan ejaan baru):
Maka perhimpunan itu maksudnya :
a.       Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie Yogyakarta.
b.       Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah  ialah yang seperti yang dikemukakan M. Djindar Tamimy: Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan” adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :
Pertama    :   berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua       :    berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam sebenar-benarnya.
Islam sebagai agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan persoalan dunia, tetapi mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan. Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini Muhammadiyah menampakkan diri sebagai pengembangan dari pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai karya amal shaleh.
Usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu : bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan.

 
 
1.       Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu, lingkungan situasi dan kondisi, mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas tampak dan tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran tambahan lain.
Di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, lewat sunah-sunahnya.
Dalam masalah aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam, sedang dalam ibadah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
Dengan kembali kepada ajaran dasar ini yang populernya disebut pada Al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah berusaha menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam agama. Memang di Indonesia keadaan ini terasa sekali, bahwa keadaan keagamaan yang nampak adalah serapan dari berbagai unsur kebudayaan yang ada.

 
 
Di antara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan berasal dari agama Islam antara lain : pemujaan arwah nenek moyang, benda-benda keramat, berbagai macam upacara dan selamatan, seperti pada waktu-waktu tertentu pada waktu hamil, pada waktu puput pusar, khitanan, pernikahan, dan kematian. Upacara dan do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-5, ke-40, ke-100, ke-1000 setelah meninggal. Peristiwa penting yang berssfat sosial yang berhubungan dengan kepercayaan seperti kenduri/ slametan pada bulan Sya’ban dan Ruwah. Berziarah ke makam orang-orang suci dan minta dido’akan. Begitu pula orang sering kali meminta nasehat dan bantuannya kepada petugas agama di desa (seperti modin, rois, kaum) dalam hal-hal yang berhubungan dengan  takhayul, misal untuk menolak pengaruh penyakit, yang untuk itu biasanya mereka diberi/dibacakan do’a-do’a dalam bahasa Arab, yang di antara do’a tersebut tidak jarang bagian-bagian yang berbau Agama Hindu atau animisme dari zaman kuno, dan sebagainya.
 
 

Terhadap tradisi dan kepercayaan di atas banyak orang Islam yang menganggap bahwa hal tersebut termasuk amalan-amalan keagamaan, atau setidak-tidaknya hal tersebut tidak bertentangan.
Terhadap tradisi, adat kebiasaan dan berbagai macam kepercayaan di atas banyak kaum muslimin yang melakukannya tanpa reserve, bahkan mereka menganggap bahwa hal di atas termasuk keharusan menurut agama.
Untuk itu Muhammadiyah berusaha meluruskan kembali dengan memberantas segala bentuk bid’ah dan khurafat sepeti bentuk di atas.
Usaha Muhammadiyah untuk memurnikan keyakinan umat Islam Indonesia, ialah Muhammadiyah telah mengenalkan penelaahan kembali dan pengubahan drastis, jika diperlukan, menuju penafsiran yang benar terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha pemurnian tersebut antara lain dapat disebut :
1.       Penentuan arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
2.       Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.
3.       Menyelenggarakan sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid.
4.       Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas, oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai atau petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan sebagainya).
5.       Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian khutbah dalam bahasa Arab.
6.       Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat politheistis darinya.
7.       Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.
8.       Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
9.       Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh para kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.
10.   Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.
Dalam rangka usaha tersebut, tidak sedikit rintangan yang dialami. Beberapa tafsir Muhammadiyah tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits menimbulkan debat theologis di antara ulama.Tetapi kemudian, beberapa hal yang dipelopori oleh Muhammadiyah menjadi umum di kalangan umat Islam di Indonesia.
Untuk membahas, apakah adat istiadat/tradisi serta kepercayaan berlaku di masyarakat itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits atau tidak, dalam Muhammadiyah dibicarakan oleh suatu lembaga yang bernama “Lajnah Tarjih”. Tarjih ini adalah merupakan realisasi dari prinsip, bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.

 
 
Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah   ke- XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur.
 
 

Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di masyarakat tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung, bank dan lain-lain.


 
 
2.       Bidang Pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah mempelopori dan menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammadiyah, yang berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih dalam, pendidikan mempunyai arti penting, karena melalui inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.
Pembaharuan pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksud K.H. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.
Gagasan pendidikan Muhammadiyah adalah untuk mendidik sejumlah banyak orang awam dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dalam usaha merealisasi gagasan tersebut, Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan Ahmad Dahlan, telah berusaha keras untuk mengawinkan antara dua sistim pendidikan, pesantren (pendidikan agama pedesaan di bawah tuntunan kyai/ulama) dan sekolah model barat, dengan menghilangkan kelemahan dari keduanya. Menurut Muhammadiyah, pendidikan pesantren tradisional membutuhkan waktu terlalu banyak bagi santri untuk menyelesaikannya, juga kurang adanya sistim kelas atau penjenjangan. Pesantren biasanya hanya terbatas pada sejumlah kecil mata pelajaran tertentu, sehingga santri harus memasuki dan tinggal di beberapa pesantren agar sempurna ilmunya. Pesantren tradisional tidak cukup membekali santrinya dalam memecahkan masalah-masalah keduniawian, karena lembaga-lembaga tersebut tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran sekuler. Di pihak lain, pendidikan model Barat hanya mengajarkan ketrampilan praktis, pengetahuan dan ilmu umum, tetapi tidak mengajarkan ketrampilan akhlak, budi pekerti, dengan bersandar kepada ajaran Islam. Muhammadiyah merasa perlu menggabungkan keduanya : pendidikan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Atau dengan kata lain, bahwa dengan sistim pendidikannya itu, Muhammadiyah ingin membentuk ulama intelek dan atau intelek yang ulama.
Dengan mengambil unsur-unsurnya yang baik dari sistim pendidikan Barat dan sistim pendidikan tradisional, Muhammadiyah berhasil membangun sistim pendidikan sendiri, seperti sekolah model Barat, tetapi dimasuki pelajaran agama di dalamnya, sekolah dengan menyertakan pelajaran sekuler, bermacam-macam sekolah kejuruan dan lain-lain.
Sedang dalam cara penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi dilaksanakan di masjid atau langgar, tetapi di gedung khusus, yang di lengkapi dengan meja, kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai.
Selain pembaharuan dalam lembaga pendidikan formal, Muhammadiyah pun telah memperbaharui bentuk pendidikan tradisional non formal, yaitu pengajian. Semula pengajian di lakukan di mana orang tua atau guru privat mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah diperluas dan pengajian disistematiskan ke dalam bentuk pendidikan agama non formal, di mana pesertanya lebih banyak juga isi pengajian diserahkan pada masalah-masalah kehidupan sehari-hari umat Islam.
Begitu pula Muhammadiyah dalam usaha pembaharuan ini telah berhasil mewujudkan bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi, seperti Muhammadiyah telah memelopori mendirikan Badan Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar. Dengan menyelenggarakan pengajian dan nasihat yang bersifat pribadi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.

 
 
3.  Bidang Kemasyarakatan    
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, maka usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah yatim piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya di dalam memelihara anak yatim piatu. Badan atau lembaga pendidikan sosial di dalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan yang ada kaitannya dengan bidang sosial, seperti prosedur penerimaan dan pembagian zakat ditangani sepenuhnya oleh P.K.U., yang sekaligus berwenang sebagai badan ‘amil.
Usaha pemaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1923. Ide di balik pembangunan dalam bidang ini karena banyak di antara orang Islam yang mengalami kesengsaraan, dan hal ini merupakan kesempatan bagi kaum muslimin untuk saling tolong-menolong.
Perhatian pada kesengsaraan umum dan kewajiban menolong sesama muslim, tidak hanya sekedar karena rasa cinta kasih pada sesama, tetapi juga ada tuntunan agama yang jelas untuk beramar ma’ruf. Sebagai perwujudan sosial dari semangat beragama. Hal ini merupakan gerakan sosial dengan ilham keagamaan. Contohnya ialah pengamalan firman Tuhan dalam Surat Al-Ma’un (terjemahannya) :

 
 
“Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiada menganjurkan menyantuni orang miskin. Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya’ dan tiada mau menolong dengan barang-barang yang berguna.”
Ajaran ini direalisasikan oleh Muhammadiyah melalui pendirian rumah yatim, klinik, rumah sakit dan juga melalui pembaharuan cara mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
Dapatlah disimpulkan, bahwa pembaharuan sosial kemasyarakatan yang dilakukan Muhammadiyah, merupakan salah satu wujud dari ketaatan beragama, dalam dimensi sosialnya, atau dimaksudkan untuk mencapai tujuan keagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar