PARTAI ISLAM KEHILANGAN PANGGUNG
Muhammad Alifuddin
Pikom IMM STAIM Bima/ Pemerhati Pluralisme Politik
Pikom IMM STAIM Bima/ Pemerhati Pluralisme Politik
Gemuruh demokrasi belum lama
berakhir, kompetisi kekuasaan melalui jalur “konstitusional”, yang
berhasil mendudukan presiden dan wakil presiden terpilih “ Jokowi-Jusuf
Kalla”. Kekuatan politik yang membentuk poros pemisah massa serta budaya
politik yang dipertontonkan pada “alek rakyat” (pesta rakyat) ini
memberikan garis demarkasi ideologi pendukung yang tidak
abstrak-jelasnya basis massa dan kepentingan politik-sebab, calon yang
“bertarung” hanya dua pasang saja.
Dari dua pasang calon presiden dan wakil Presiden pada 9 Juli 2014 yang lalu-Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terlihat dengan jelas aliran politik yang mewakilinya: Prabowo-Hatta itu lebih mengarah kepada kelompok islam-PAN, PKS, PBB, PPP, Gerindra dan Golkar. Meskipun keberadaan Gerindra dan Golkar sebagai partai yang tidak melekat “bahasa agama” yang kental seperti PKS, PPP, PBB dan PAN dalam menunjukan “identitas” kelembagaannya, tetapi pada momentum itu lebih islami. Sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla memang didukung oleh “kelompok nasionalis”-PDI-P, NASDEM, HANURA, PKB dan PKPI. PKB sebagai partai yang masih melekat dalam “kultur Gusdur” bisa dikatakan PKB sebagai partai relegius yang nasionalis-dengan sikap simpati PKB terhadap disparitas sosial. Dalam poros Koalisi Merah Putih, sebenarnya PAN termasuk partai yang bisa dikatakan sebagai partai yang setuju dengan “pluralisme politik” dan inklusif dalam pergaulan sosial poltik dengan umat beragama, suku dan ras yang berbeda, tetapi pada momentum Pilpres diwaktu yang dahulu juga lebih islami.
Dari dua pasang calon presiden dan wakil Presiden pada 9 Juli 2014 yang lalu-Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terlihat dengan jelas aliran politik yang mewakilinya: Prabowo-Hatta itu lebih mengarah kepada kelompok islam-PAN, PKS, PBB, PPP, Gerindra dan Golkar. Meskipun keberadaan Gerindra dan Golkar sebagai partai yang tidak melekat “bahasa agama” yang kental seperti PKS, PPP, PBB dan PAN dalam menunjukan “identitas” kelembagaannya, tetapi pada momentum itu lebih islami. Sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla memang didukung oleh “kelompok nasionalis”-PDI-P, NASDEM, HANURA, PKB dan PKPI. PKB sebagai partai yang masih melekat dalam “kultur Gusdur” bisa dikatakan PKB sebagai partai relegius yang nasionalis-dengan sikap simpati PKB terhadap disparitas sosial. Dalam poros Koalisi Merah Putih, sebenarnya PAN termasuk partai yang bisa dikatakan sebagai partai yang setuju dengan “pluralisme politik” dan inklusif dalam pergaulan sosial poltik dengan umat beragama, suku dan ras yang berbeda, tetapi pada momentum Pilpres diwaktu yang dahulu juga lebih islami.
Kalahnya Kelompok Islam Politk
Kelompok-kelompok islam politik, dalam
dispartitas pilihan politik Prabowo-Hatta dan Jokowi –Jusuf Kalla berada
dalam barisan Prabowo-Hatta. Setelah kelompok-kelompok islam politik
“mengorbankan” segalanya untuk memenangkan Prabowo-Hatta, tetapi
kedaulatan rakyat malahan mempersembahkan penghargaan kepada
“Jokowi-Jusuf Kalla” untuk menjadi “pengurus rakyat”- jika kita
menggunakan bahasa Muhamad Hatta. Kenapa Prabowo-Hatta kalah, dalam
studi ilmu politik ini harus menjadi bahan kajian sebagai negara
terbesar yang warga negaranya islam, tetapi dalam perebutan
kekuasaan-Partai Islam, seperti kata pepatah: Masuak Karuang Lai (masung
karuang iya), tetapi masuak etongan indak ( masuk hitungan tidak).
Tentu ada masalah dengan partai-partai islam di Indonesia ?.
Kanibalisasi Sesama Partai
Perkembangan Partai Islam setelah
reformasi memang memberikan sebuah “fenomena” baru dalam kajian politik
Partai Islam di Indonesia. Munculnya PKS, PAN, PBB dam PKB dalam marwah
“reformasi” dengan tumbangnya Suharto setelah berkuasa sekitar 32 tahun.
Ruang gerak Partai Islam tidak sesulit Muhamad Natsir membangun
“ideologis”, pertentangan Natsir dengan Demokrasi Terpimpin menyebabkan
Natsir sering perang pendapat dengan Presiden Soekarno saat itu.
Saat ini Partai Islam “macet” dalam
melahirkan kaderisasi kepemimpinan, sehingga tidak ada pemimpin Partai
Islam yang betul-betul ketokohannya diakui era kini dalam “konsistensi
idelogis”. Sehingga saat ini, tokoh-tokoh Partai Islam mundur secara
“estafet ketokohan”. Gagasan tentang pudarnya Partai Islam dalam
melahirkan pemimpin juga pernah dibahas oleh Buya Syafie Ma’rif pada
Resonasi Republika 2 September 2014: katanya- kalangan Masyumi dulu
banyak muncul pemimpin kelas nasional setanding dengan Soekarno, Hatta,
Sjahrir, Wilopo, I.J. Kasimo, Johannes Leimena, dan lain-lain. Nama-nama
semisal Soekiman Wirjosendjojo, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Prawoto
Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara, Jusuf Wibisono, Burhanudin
Harahap, adalah tokoh-tokoh nasional idealis dengan karakter
kepemimpinan yang kuat.Dari rahim NU, kita mengenal KH Hasjim Asy’ari,
KH Wahab Chasbullah, KH Wahid Hasjim, Imron Rosjadi, KH Masjkur, KH
Iljas, Subchan ZE, dan yang terbaru adalah Abdurrahman Wahid dan K.H.
Ahmad Hasjim Muzadi.
Saat ini “ketokohan” Partai Islam
menjadi kompetisi tidak saling membesarkan: akibatnya suara Partai Islam
saat pemilu tak terlalu dilirik oleh umat islam itu sendiri, istilah
yang digunakan Burhanudin Muhtadi-terjadi Kanibalisasi sesama Partai
Islam-selama pemilu berlangsung, Partai Islam tidak bisa memindahkan
pemilih muslim yang masing-masing dikatakan “pemilih mengambang” untuk
mendukung Partai Islam dalam kontes politik, malahan pasang naik terjadi
pada suara PKS, tetapi PAN, PKB,PBB, PPP mengalami pasang surut.
Pluralisme Politik
Persoalan Partai Islam saat ini, hadir
bukan lagi sebagai ranah idelogis dalam memperjuangkan substansi nilai,
dengan ikut mendirikan Partai Islam sebagai penampung “banjir” umat
islam, sehingga saat ini aroma itu, lebih mengarah kepada iklim suara
dan memanfaatkan pemilih muslim untuk mencapai “syahwat politik” elit
Partai Islam yang masih belum paham sejarah berdirinya bangsa ini,
sehingga “politik identitas” bukan menjadi lem pemersatu rakyat, tetapi
menjadi perenggang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan saat ini, jika memang ada
keinginan Partai-Partai Islam untuk mencapai gagasan ideologis nilai
islam. Kenapa PKB, PPP, PKS, PAN, PBB tidak bergabung dalam proses “fusi
Partai Politik”?, dari terjebak dalam perdebatan massa Partai Islam
yang saling makan-memakan: jadi suara pemilih Partai Islam itu stagnan,
perebutan suara malahan terjadi sesama Partai Islam.
Republik ini menyatakan proklamasi
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tetapi 17 tahun sebelumnya, pemuda
telah berkumpul pada 28 Oktober 1928 untuk menyatukan Nation-satu tanah
air, bangsa dan bahasa-ada pertemuan berbagai agama, suku dan ras pemuda
saat itu. Dan mungkin menjadi banyak pertanyaan bagi masyarakat eropa,
bagaimana Indoensia bisa bersatu dengan “wajah multikultural” yang
kompleks. Jawabanya hanya satu: kita membangun Nation dulu baru State.
Jika ingin Partai Islam ingin berperan dalam politik masa depan
Indonesia: Partai Islam harus konsisten dalam “memperkenalkan
nilai-nilai”, tak campur sari “ideologis “dengan meminjam istilah Wiliam
Liddle dan Syaiful Mujani:“bermain dua jalur”.
PEMIKIRAN ISLAM KUNTOWIJOYO
Biografi
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo
lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta pada 18 September 1943. Ia mendapatkan
pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten.
Setelah itu melanjutkan sekolah di Klaten (SMP) dan Solo (SMA), melanjutkan
kulah di Universitas Gadjah Mada dan lulus menjadi sarjana sejarah pada tahun
1969. Gelar MA diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada
tahun 1974, yang disusul dengan gelar Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas
Columbia pada tahun 1980, dengan disertasi tentang sejarah Madura yang berjudul
Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Disertasinya
sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940.
Sejak
SMA Ia sudah banyak membaca karya sastra baik karya penulis Indonesia maupun
luar negeri seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Pada 1964 ia
menulis novel pertamanya yang berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari,
yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966.
Pada 1968, cerpennya yang berjudul Dilarang mencintai Bunga-bunga
memperoleh hadiah pertama dari majalah Sastra.
Berbagai
hadiah dan penghargaan atas karya-karyanya sudah Ia terima. Diantaranya, naskah
dramanya yang berjudul Rumput-rumput Danau Bento memenangkan hadiah
harapan dari BPTNI. Naskah drama lainnya, Topeng Kayu, pernah pula
mendapatkan hadiah dari Dewan kesenian Jakarta pada 1973. Buku kumpulan cerita
pendeknya yang juga diberi judul Dilarang Mencintai Bunga-bunga mendapat
Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Cerpennya yang dimuat di Kompas
juga mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas pada 1995,
1996, 1997.
Kuntowijoyo
mengabdi pada almamaternya, Universitas Gadjah Mada sebagai pengajar di
Fakultas Sastra dan menjadi Guru Besar. Sebagai seorang akademisi Ia juga aktif
menjadi pembicara, menulis, dan meneliti. Kumpulan tulisan tentang pemikirannya
baik mengenai baik sejarah, ilmu sejarah, sosial, maupun budaya yang sudah
diterbitkan Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991), Budaya
dan Masyarakat, Pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, Dinamika
Sejarah Umat Islam, Muslim Tanpa Masjid, Selamat Tinggal Mitos
Selamat Datang Realitas: Esai-esai Budaya dan Politik, Radikalisasi
Petani: Esei-esei Sejarah, dan lain-lain.
Kuntowijoyo
meninggal dunia pada 22 Februari 2005 di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta
akibat komplikasi penyakit sesak nafas, diare, dan ginjal setelah untuk
beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Latar belakang
munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan karena kegagalan paradigma tunggal yang
digunakan oleh sain Barat dan berujung pada kekacauan dunia. Kekacauan ini
membahayakan kehidupan manusia, sehingga diperlukan paradigma utuh, yaitu Islam
yang menjadi paradigma islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan
adalah internalisasi nilai-nilai Islam kedalam ilmu pengetahuan, sehingga semua
ilmu harus mengandung nilai-nilai Islam. Internalisasi ini tentu saja bersifat
ideologis karena “memaksakan” islam menjadi nilai tunggal dari semua jenis ilmu
pengetahuan.
Karakterisitik
islamisasi ilmu pengetahuan adalah adanya nilai tauhid yang terkandung dalam
setiap ilmu pengetahuan. Nilai tauhid ini membedakan ilmu pengetahuan Islam
dengan ilmu pengetahuan non islam. Islamisasi ilmu pengetahuan ditujukan untuk
melindungi umat islam dari paradigma ilmu yang menyesatkan dan mendorong mereka
mengunakan paradigma Islam untuk meningkatkan keimanan kepada Allah S.W.T.
Rencana kerja
islamisasi ilmu pengetahuan mengikuti rumusan dari Islamil Raji al-Faruqi.
Rumusan ini bukan satu-satunya rumusan yang dianggap paling benar, namun salah
satu tawaran dari al-Faruqi bagi yang belum mempunyai rumusan yang lebih baik. Islamisasi
ilmu pengetahuan bisa dipahami sebagai internalisasi konsep-konsep Islam
terhadap ilmu pengetahuan. Artinya, setiap ilmu pengetahuan yang berkembang
harus mempunyai nilai-nilai islamnya. Dalam konsep ini, islam menjadi nilai (satu-satunya)
bagi ilmu pengetahuan.
Karakterisitik
islamisasi ilmu pengetahuan berangkat dari karakteristik ilmu pengetahuan
islam. Di antara karakteristik tersebut:
(1)
mempunyai pokok persoalan yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman,
(2)
mempunyai asumsi-asumsi dasar yang sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman,
(3)
menggunakan metode studi, metode penelitian, dan metode investigasi yang
berbeda dan
(4)
mempunyai tujuan yang jelas
Tujuan dan Manfaat Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan
adalah upaya umat Islam agar tidak begitu saja tanpa reserve mengadopsi
metode-metode dari pengetahuan Barat yang telah mempengaruhi kebudayaan Islam;
yaitu dengan cara mengembalikan konstruksi pengetahuan kepada poros tauhid. Karenanya
gerakan islamisasi pengetahuan berarti membedakan antara ilmu Islam dan ilmu
sekuler.
Tujuan islamisasi ilmu pengetahuan dari sisi
impelementasinya adalah :
- Penguasaan disiplin ilmu modern
- Penguasaan khasanah Islam
- Penentuan relevansi islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
- Pencarian sintesa kreatif antara khasanah islam dengan ilmu modern
- Pengarahan aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah S.W.T.
Merespon permasalahan ini,
Kuntowijoyo menwarkan methodological objectivism, seraya menolak methodological
secularism dengan membawa alternatif ilmu sosial profetik. Tidak bermaksud
membedakan antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial sekuler, akan tetapi
bertujuan merumuskan ilmu sosial yang objektif Objektifikasi yang dimaksud
adalah upaya konkretisasi nilai-nilai normatif yang dihayati secara internal
dalam ketegori dan bahasa ilmu, bukan dalam kategori dan bahasa normatif. Atau
disebut juga sebagai kongkretisasi keyakinan normatif yang dihayati secara
internal, tapi tidak lagi dalam bentuknya yang normative.
Di sinilah letak perbedaan
pengilmuan Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam bukan suatu bentuk
reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan “pengilmuan Islam”
tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu tujuannya adalah
mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan agama dengan
kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan Islam”,
dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan
.
Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110
Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110
Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan
yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui
objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan orang Islam atau ditangan
orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yang perlu diislamisasi,
mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu dimana-mana sama: metode survei,
metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa risiko
akan bertentangan dengan iman. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang
benar-benar obyektif dan sejati. Jadi, bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan
memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna.
Adapun mengenai “ketakbebasnilaian”
suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif
dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin
ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang
bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota
masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat
objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu
kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak
mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah
“trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas
diantara komunitas keilmuan.
Kuntowijoyo melihat bahwa sementara
ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus
ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan. Kuntowijoyo
seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial;
ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal.
Dalam kasus-kasus tersebut, selalu
ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah
proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya
sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan
adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada
akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus
bermanfaat untuk manusia seluruhnya. Ilmu yang integralistik tak akan
mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan
Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau
trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang
dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan.
Kuntowijoyo
merupakan pengamat dan ahli dari diskursus ilmu-ilmu sosial dan humaniora
(geisteiswissenschaften). Karenanya ia mengaca persoalan integrasi ilmu dan
agama dalam kacamata seorang ilmuan sosial dan sejarawan. Sehingga konsep
“pengilmuan Islam” adalah upaya rekonstruksi epistemologis, metodologi dan
etika. Di mana pemikiran yang ditawarkan tidak mampu menembus aspek-aspek
metafisisKuntowijoyo dalam “pengilmuan Islam” yang menawarkan konsep
strukturalisme transendental, sangat terinspirasi oleh perspektif
strukturalisme Jean Piaget yang menyebutkan tiga ciri struktur, yaitu (1)
wholeness (keseluruhan), (2) transformation (perubahan), dan self regulation
(mengatur diri sendiri). Kuntowijoyo juga terinspirasi oleh strukturalisme
analitis Michael Lane yang mengemukakan keterkaitan (inter-connectedness) antar
unsur kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity), dan dalam
peringkat empiris, keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition
(pertentangan antara dua hal). Kuntowijoyo juga mengadopsi perspektif makna
transendensi dari Roger Garaudy, dan konsep etika profetiknya sangat
dipengaruhi oleh pendekatan struktural Antonio Gramsc.
Demistifikasi
Islam
Orang sering
mencampuradukkan antara kebenaran dan kemajuan, sehingga pandangannya tentang
kebenaran terpengaruh oleh kemajuan-kemajuan yang disaksikannya. Kebenaran itu
terppisah dari kemajuan. Kebenaran itu non-comulative ( tidak bertambah ) dan
kemajuan itu comulative (bertambah). Artinya kebenaran itu tidak makin
berkembang dari waktu ke waktu, sedangkan kemajuan itu berkembang.
ð Teori
tentang kebenaran
yaitu
pragmatisme, kepercayaan itu benar kalo dan hanya kalau berguna. Ukuran dari
kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada
tujuan. Pragmatisme menolak pandangan tentang kebenaran rasionais dan idealis
karena pandangan mereka tidak berguna dalam kehidupan yang praktis.
Islam memandang kebenaran ialah apa
saja yang datang dari tuhan, baik berguna atau tidak sekarang ini dalam
kehidupan praktis. Kemajuan jangan sampai memperdayakan.
ð Dekodifikasi
Supaya islam
tetap pada asanya maka islam perlu dijaga. Kriteria tertentu bagi penafsir
al=qur’an dimaksudkan supaya ilmu agama tetap konsisten, tidak berubah dari
aslinya. Al-quran dan assunnah kemudian didodofikasi kedalam ilmu-ilmu agama.
Bagian terpenting dari agmaa yaitu karena substansi agama terletak disini,
yakni dari teks dijabarkan ke teks.
ð Islamisasi
pengetahuan
Sebagai gerakan
intelektual internasional islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat islam
tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan
pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Ada tiga kesatuan yaitu
·
Kesatuan pengetahuan yaitu pengetahuan
harus menuju kepada kebenaran yang Satu
·
Kesatuan hidup yaitu hapusnya perbedaan
antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai
·
Kesatuan sejarah yaitu pengetahuan harus
mengabdi pada umat dan pada manusia.
Islamisasi pengetahuan berarti
mengembalikan pengetahuan pada tauhid , atau konteks ke teks, supaya ada
koherensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar