MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

KUMPULAN MATERI

PARTAI ISLAM KEHILANGAN PANGGUNG

Muhammad Alifuddin
Pikom IMM STAIM Bima/ Pemerhati Pluralisme Politik

Gemuruh demokrasi belum lama berakhir, kompetisi kekuasaan melalui jalur “konstitusional”, yang berhasil mendudukan presiden dan wakil presiden terpilih “ Jokowi-Jusuf Kalla”. Kekuatan politik yang membentuk poros pemisah massa serta budaya politik yang dipertontonkan pada “alek rakyat” (pesta rakyat) ini memberikan garis demarkasi ideologi pendukung yang tidak abstrak-jelasnya basis massa dan kepentingan politik-sebab, calon yang “bertarung” hanya dua pasang saja.

Dari dua pasang calon presiden dan wakil Presiden pada 9 Juli 2014 yang lalu-Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terlihat dengan jelas aliran politik yang mewakilinya: Prabowo-Hatta itu lebih mengarah kepada kelompok islam-PAN, PKS, PBB, PPP, Gerindra dan Golkar. Meskipun keberadaan Gerindra dan Golkar sebagai partai yang tidak melekat “bahasa agama” yang kental seperti PKS, PPP, PBB dan PAN dalam menunjukan “identitas” kelembagaannya, tetapi pada momentum itu lebih islami. Sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla memang didukung oleh “kelompok nasionalis”-PDI-P, NASDEM, HANURA, PKB dan PKPI. PKB sebagai partai yang masih melekat dalam “kultur Gusdur” bisa dikatakan PKB sebagai partai relegius yang nasionalis-dengan sikap simpati PKB terhadap disparitas sosial. Dalam poros Koalisi Merah Putih, sebenarnya PAN termasuk partai yang bisa dikatakan sebagai partai yang setuju dengan “pluralisme politik” dan inklusif dalam pergaulan sosial poltik dengan umat beragama, suku dan ras yang berbeda, tetapi pada momentum Pilpres diwaktu yang dahulu juga lebih islami.

Kalahnya Kelompok Islam Politk

Kelompok-kelompok islam politik, dalam dispartitas pilihan politik Prabowo-Hatta dan Jokowi –Jusuf Kalla berada dalam barisan Prabowo-Hatta. Setelah kelompok-kelompok islam politik “mengorbankan” segalanya untuk memenangkan Prabowo-Hatta, tetapi kedaulatan rakyat malahan mempersembahkan penghargaan kepada “Jokowi-Jusuf Kalla” untuk menjadi “pengurus rakyat”- jika kita menggunakan bahasa Muhamad Hatta. Kenapa Prabowo-Hatta kalah, dalam studi ilmu politik ini harus menjadi bahan kajian sebagai negara terbesar yang warga negaranya islam, tetapi dalam perebutan kekuasaan-Partai Islam, seperti kata pepatah: Masuak Karuang Lai (masung karuang iya), tetapi masuak etongan indak ( masuk hitungan tidak). Tentu ada masalah dengan partai-partai islam di Indonesia ?.

Kanibalisasi Sesama Partai

Perkembangan Partai Islam setelah reformasi memang memberikan sebuah “fenomena” baru dalam kajian politik Partai Islam di Indonesia. Munculnya PKS, PAN, PBB dam PKB dalam marwah “reformasi” dengan tumbangnya Suharto setelah berkuasa sekitar 32 tahun. Ruang gerak Partai Islam tidak sesulit Muhamad Natsir membangun “ideologis”, pertentangan Natsir dengan Demokrasi Terpimpin menyebabkan Natsir sering perang pendapat dengan Presiden Soekarno saat itu.
Saat ini Partai Islam “macet” dalam melahirkan kaderisasi kepemimpinan, sehingga tidak ada pemimpin Partai Islam yang betul-betul ketokohannya diakui era kini dalam “konsistensi idelogis”. Sehingga saat ini, tokoh-tokoh Partai Islam mundur secara “estafet ketokohan”. Gagasan tentang pudarnya Partai Islam dalam melahirkan pemimpin juga pernah dibahas oleh Buya Syafie Ma’rif pada Resonasi Republika 2 September 2014: katanya- kalangan Masyumi dulu banyak muncul pemimpin kelas nasional setanding dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Wilopo, I.J. Kasimo, Johannes Leimena, dan lain-lain. Nama-nama semisal Soekiman Wirjosendjojo, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara, Jusuf Wibisono, Burhanudin Harahap, adalah tokoh-tokoh nasional idealis dengan karakter kepemimpinan yang kuat.Dari rahim NU, kita mengenal KH Hasjim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Wahid Hasjim, Imron Rosjadi, KH Masjkur, KH Iljas, Subchan ZE, dan yang terbaru adalah Abdurrahman Wahid dan K.H. Ahmad Hasjim Muzadi.
Saat ini “ketokohan” Partai Islam menjadi kompetisi tidak saling membesarkan: akibatnya suara Partai Islam saat pemilu tak terlalu dilirik oleh umat islam itu sendiri, istilah yang digunakan Burhanudin Muhtadi-terjadi Kanibalisasi sesama Partai Islam-selama pemilu berlangsung, Partai Islam tidak bisa memindahkan pemilih muslim yang masing-masing dikatakan “pemilih mengambang” untuk mendukung Partai Islam dalam kontes politik, malahan pasang naik terjadi pada suara PKS, tetapi PAN, PKB,PBB, PPP mengalami pasang surut.

Pluralisme Politik

Persoalan Partai Islam saat ini, hadir bukan lagi sebagai ranah idelogis dalam memperjuangkan substansi nilai, dengan ikut mendirikan Partai Islam sebagai penampung “banjir” umat islam, sehingga saat ini aroma itu, lebih mengarah kepada iklim suara dan memanfaatkan pemilih muslim untuk mencapai “syahwat politik” elit Partai Islam yang masih belum paham sejarah berdirinya bangsa ini, sehingga “politik identitas” bukan menjadi lem pemersatu rakyat, tetapi menjadi perenggang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan saat ini, jika memang ada keinginan Partai-Partai Islam untuk mencapai gagasan ideologis nilai islam. Kenapa PKB, PPP, PKS, PAN, PBB tidak bergabung dalam proses “fusi Partai Politik”?, dari terjebak dalam perdebatan massa Partai Islam yang saling makan-memakan: jadi suara pemilih Partai Islam itu stagnan, perebutan suara malahan terjadi sesama Partai Islam.
Republik ini menyatakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tetapi 17 tahun sebelumnya, pemuda telah berkumpul pada 28 Oktober 1928 untuk menyatukan Nation-satu tanah air, bangsa dan bahasa-ada pertemuan berbagai agama, suku dan ras pemuda saat itu. Dan mungkin menjadi banyak pertanyaan bagi masyarakat eropa, bagaimana Indoensia bisa bersatu dengan “wajah multikultural” yang kompleks. Jawabanya hanya satu: kita membangun Nation dulu baru State. Jika ingin Partai Islam ingin berperan dalam politik masa depan Indonesia: Partai Islam harus konsisten dalam “memperkenalkan nilai-nilai”, tak campur sari “ideologis “dengan meminjam istilah Wiliam Liddle dan Syaiful Mujani:“bermain dua jalur”.



                                                 PEMIKIRAN ISLAM KUNTOWIJOYO
Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta pada 18 September 1943. Ia mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Setelah itu melanjutkan sekolah di Klaten (SMP) dan Solo (SMA), melanjutkan kulah di Universitas Gadjah Mada dan lulus menjadi sarjana sejarah pada tahun 1969. Gelar MA diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, yang disusul dengan gelar Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980, dengan disertasi tentang sejarah Madura yang berjudul Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Disertasinya sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940.
Sejak SMA Ia sudah banyak membaca karya sastra baik karya penulis Indonesia maupun luar negeri seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Pada 1964 ia menulis novel pertamanya yang berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966. Pada 1968, cerpennya yang berjudul Dilarang mencintai Bunga-bunga memperoleh hadiah pertama dari majalah Sastra.
Berbagai hadiah dan penghargaan atas karya-karyanya sudah Ia terima. Diantaranya, naskah dramanya yang berjudul Rumput-rumput Danau Bento memenangkan hadiah harapan dari BPTNI. Naskah drama lainnya, Topeng Kayu, pernah pula mendapatkan hadiah dari Dewan kesenian Jakarta pada 1973. Buku kumpulan cerita pendeknya yang juga diberi judul Dilarang Mencintai Bunga-bunga mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Cerpennya yang dimuat di Kompas juga mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas pada 1995, 1996, 1997.
Kuntowijoyo mengabdi pada almamaternya, Universitas Gadjah Mada sebagai pengajar di Fakultas Sastra dan menjadi Guru Besar. Sebagai seorang akademisi Ia juga aktif menjadi pembicara, menulis, dan meneliti. Kumpulan tulisan tentang pemikirannya baik mengenai baik sejarah, ilmu sejarah, sosial, maupun budaya yang sudah diterbitkan Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991), Budaya dan Masyarakat, Pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, Dinamika Sejarah Umat Islam, Muslim Tanpa Masjid, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas: Esai-esai Budaya dan Politik, Radikalisasi Petani: Esei-esei Sejarah, dan lain-lain.
Kuntowijoyo meninggal dunia pada 22 Februari 2005 di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta akibat komplikasi penyakit sesak nafas, diare, dan ginjal setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Latar belakang munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan karena kegagalan paradigma tunggal yang digunakan oleh sain Barat dan berujung pada kekacauan dunia. Kekacauan ini membahayakan kehidupan manusia, sehingga diperlukan paradigma utuh, yaitu Islam yang menjadi paradigma islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah internalisasi nilai-nilai Islam kedalam ilmu pengetahuan, sehingga semua ilmu harus mengandung nilai-nilai Islam. Internalisasi ini tentu saja bersifat ideologis karena “memaksakan” islam menjadi nilai tunggal dari semua jenis ilmu pengetahuan.
Karakterisitik islamisasi ilmu pengetahuan adalah adanya nilai tauhid yang terkandung dalam setiap ilmu pengetahuan. Nilai tauhid ini membedakan ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu pengetahuan non islam. Islamisasi ilmu pengetahuan ditujukan untuk melindungi umat islam dari paradigma ilmu yang menyesatkan dan mendorong mereka mengunakan paradigma Islam untuk meningkatkan keimanan kepada Allah S.W.T.
Rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan mengikuti rumusan dari Islamil Raji al-Faruqi. Rumusan ini bukan satu-satunya rumusan yang dianggap paling benar, namun salah satu tawaran dari al-Faruqi bagi yang belum mempunyai rumusan yang lebih baik. Islamisasi ilmu pengetahuan bisa dipahami sebagai internalisasi konsep-konsep Islam terhadap ilmu pengetahuan. Artinya, setiap ilmu pengetahuan yang berkembang harus mempunyai nilai-nilai islamnya. Dalam konsep ini, islam menjadi nilai (satu-satunya) bagi ilmu pengetahuan.
Karakterisitik islamisasi ilmu pengetahuan berangkat dari karakteristik ilmu pengetahuan islam. Di antara karakteristik tersebut:
(1) mempunyai pokok persoalan yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman,
(2) mempunyai asumsi-asumsi dasar yang sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman,
(3) menggunakan metode studi, metode penelitian, dan metode investigasi yang berbeda dan
(4) mempunyai tujuan yang jelas
Tujuan dan Manfaat Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah upaya umat Islam agar tidak begitu saja tanpa reserve mengadopsi metode-metode dari pengetahuan Barat yang telah mempengaruhi kebudayaan Islam; yaitu dengan cara mengembalikan konstruksi pengetahuan kepada poros tauhid. Karenanya gerakan islamisasi pengetahuan berarti membedakan antara ilmu Islam dan ilmu sekuler.
Tujuan islamisasi ilmu pengetahuan dari sisi impelementasinya adalah :
  1. Penguasaan disiplin ilmu modern
  2. Penguasaan khasanah Islam
  3. Penentuan relevansi islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
  4. Pencarian sintesa kreatif antara khasanah islam dengan ilmu modern
  5. Pengarahan aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah S.W.T.
Merespon permasalahan ini, Kuntowijoyo menwarkan methodological objectivism, seraya menolak methodological secularism dengan membawa alternatif ilmu sosial profetik. Tidak bermaksud membedakan antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial sekuler, akan tetapi bertujuan merumuskan ilmu sosial yang objektif Objektifikasi yang dimaksud adalah upaya konkretisasi nilai-nilai normatif yang dihayati secara internal dalam ketegori dan bahasa ilmu, bukan dalam kategori dan bahasa normatif. Atau disebut juga sebagai kongkretisasi keyakinan normatif yang dihayati secara internal, tapi tidak lagi dalam bentuknya yang normative.
Di sinilah letak perbedaan pengilmuan Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan “pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan
.
            Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi.  Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110
Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi, bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna.
Adapun mengenai “ketakbebasnilaian” suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah “trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas diantara komunitas keilmuan. 
Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan. Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal.
Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan.
Kuntowijoyo merupakan pengamat dan ahli dari diskursus ilmu-ilmu sosial dan humaniora (geisteiswissenschaften). Karenanya ia mengaca persoalan integrasi ilmu dan agama dalam kacamata seorang ilmuan sosial dan sejarawan. Sehingga konsep “pengilmuan Islam” adalah upaya rekonstruksi epistemologis, metodologi dan etika. Di mana pemikiran yang ditawarkan tidak mampu menembus aspek-aspek metafisisKuntowijoyo dalam “pengilmuan Islam” yang menawarkan konsep strukturalisme transendental, sangat terinspirasi oleh perspektif strukturalisme Jean Piaget yang menyebutkan tiga ciri struktur, yaitu (1) wholeness (keseluruhan), (2) transformation (perubahan), dan self regulation (mengatur diri sendiri). Kuntowijoyo juga terinspirasi oleh strukturalisme analitis Michael Lane yang mengemukakan keterkaitan (inter-connectedness) antar unsur kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity), dan dalam peringkat empiris, keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal). Kuntowijoyo juga mengadopsi perspektif makna transendensi dari Roger Garaudy, dan konsep etika profetiknya sangat dipengaruhi oleh pendekatan struktural Antonio Gramsc.
Demistifikasi Islam
Orang sering mencampuradukkan antara kebenaran dan kemajuan, sehingga pandangannya tentang kebenaran terpengaruh oleh kemajuan-kemajuan yang disaksikannya. Kebenaran itu terppisah dari kemajuan. Kebenaran itu non-comulative ( tidak bertambah ) dan kemajuan itu comulative (bertambah). Artinya kebenaran itu tidak makin berkembang dari waktu ke waktu, sedangkan kemajuan itu berkembang.
ð  Teori tentang kebenaran
yaitu pragmatisme, kepercayaan itu benar kalo dan hanya kalau berguna. Ukuran dari kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuan. Pragmatisme menolak pandangan tentang kebenaran rasionais dan idealis karena pandangan mereka tidak berguna dalam kehidupan yang praktis.
Islam memandang kebenaran ialah apa saja yang datang dari tuhan, baik berguna atau tidak sekarang ini dalam kehidupan praktis. Kemajuan jangan sampai memperdayakan.
ð  Dekodifikasi
Supaya islam tetap pada asanya maka islam perlu dijaga. Kriteria tertentu bagi penafsir al=qur’an dimaksudkan supaya ilmu agama tetap konsisten, tidak berubah dari aslinya. Al-quran dan assunnah kemudian didodofikasi kedalam ilmu-ilmu agama. Bagian terpenting dari agmaa yaitu karena substansi agama terletak disini, yakni dari teks dijabarkan ke teks.
ð  Islamisasi pengetahuan
Sebagai gerakan intelektual internasional islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Ada tiga kesatuan yaitu
·         Kesatuan pengetahuan yaitu pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang Satu
·         Kesatuan hidup yaitu hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai
·         Kesatuan sejarah yaitu pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia.
Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid , atau konteks ke teks, supaya ada koherensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar