MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Rabu, 24 Februari 2016

Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer



Tipologi dan Wacana Pemikiran
Arab Kontemporer

Penulis: Muh. Alifuddin

Sejarah pemikiran adalah sejarah para pemikir, sejarah kaum elit yang dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah. Para pemikir atau kaum cendekia dianggap elit karena keterasingan mereka dari dunia umum. Istilah "pemikir" itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan lain untuk "intelektual" dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih keren kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti philosopher, thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas satu dengan yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher --karena faktor sejarahnya-- adalah istilah yang paling signifikan untuk mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang. Karenanya, filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina misalnya, derajat keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada cara mempersepsikan kebenaran. Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini, kebenaran yang dicapai oleh para filsuf berbeda dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau orang biasa, karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh kedua kelompok tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara kelompok elit dengan massa.

"Filsuf" adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok pemikir yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat dengan massa dan hanya berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah filosofis secara terbatas. Dalam bahasa modernnya, setelah mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah scholar (sarjana) yang bergelut dalam bidang pemikiran tertentu dengan tidak melibatkan massa didalamnya. Seorang sarjana yang telah mencapai jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D. (Doctor of Philosophy), tidak peduli apakah ia menekuni kajian filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, sains atau lainnya.

Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh 'Ali Syari'ati, pemikir asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili dan memiliki massa adalah bukan pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula saintis, tapi ia adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari'ati menyebutnya rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai padanan yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin bisa diterjemahkan secara sederhana sebagai "intelektual", karena istilah tersebut biasa merujuk kepada para pemikir atau tokoh terpelajar yang memiliki dan berafiliasi kepada massa. Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia Muslim se-Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan para cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu karena cendekia dalam bahasa Inggris disebut intellectual. Seorang intelektual biasanya tidak hanya berpikir untuk bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat dan berinteraksi dengan mereka. Dalam kerangka ini, bisa kita katakan bahwa figur seperti 'Ali Syari'ati adalah intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan al-Afghani. Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri lebih sarjana ketimbang intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu dianggap sebagai "thinker", "philosopher" dan "reformer", padahal ia adalah intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan Heidegger lebih filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars) yang hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai filsuf, tidak juga intelektual.