Tipologi dan Wacana Pemikiran
Arab
Kontemporer
Penulis: Muh. Alifuddin
Sejarah pemikiran
adalah sejarah para pemikir, sejarah kaum elit yang dengan kepandaiannya, mampu
mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual
dan ilmiah. Para pemikir atau kaum cendekia dianggap elit karena keterasingan
mereka dari dunia umum. Istilah "pemikir" itu sendiri agak kabur,
bisa diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa
diterapkan sebagai panggilan lain untuk "intelektual" dan scholar
(sarjana), atau pada konteks yang lebih keren kepada filsuf. Dalam bahasa
Inggris, kata-kata seperti philosopher, thinker, scholar dan intellectual
merujuk kepada figur terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan
yang jelas satu dengan yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher
--karena faktor sejarahnya-- adalah istilah yang paling signifikan untuk
mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang. Karenanya, filsuf adalah orang
yang paling elit di antara deretan kaum terpelajar tersebut. Untuk seorang
filsuf seperti Ibn Sina misalnya, derajat keelitan seorang filsuf dapat dillhat
pada cara mempersepsikan kebenaran. Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini,
kebenaran yang dicapai oleh para filsuf berbeda dengan kebenaran yang dicapai
oleh orang awam atau orang biasa, karena cara dan metode pemahaman yang dipakai
oleh kedua kelompok tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara
kelompok elit dengan massa.
"Filsuf"
adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok pemikir yang tidak mempunyai
massa, tidak terlibat dengan massa dan hanya berbicara dan mendiskusikan
masalah-masalah filosofis secara terbatas. Dalam bahasa modernnya, setelah
mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah scholar (sarjana) yang bergelut dalam
bidang pemikiran tertentu dengan tidak melibatkan massa didalamnya. Seorang
sarjana yang telah mencapai jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D.
(Doctor of Philosophy), tidak peduli apakah ia menekuni kajian filsafat,
sosiologi, politik, ekonomi, sains atau lainnya.
Pembedaan
seperti di atas juga dilakukan oleh 'Ali Syari'ati, pemikir asal Iran.
Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili dan memiliki massa adalah bukan pemikir,
bukan filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula saintis, tapi ia adalah pemikir
tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari'ati menyebutnya rushanfekr. Istilah
rushanfekr tidak mempunyai padanan yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin
bisa diterjemahkan secara sederhana sebagai "intelektual", karena
istilah tersebut biasa merujuk kepada para pemikir atau tokoh terpelajar yang
memiliki dan berafiliasi kepada massa. Karena itu tepat sekali jika Ikatan
Cendekia Muslim se-Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan para
cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu karena cendekia dalam bahasa
Inggris disebut intellectual. Seorang intelektual biasanya tidak hanya berpikir
untuk bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat dan berinteraksi dengan
mereka. Dalam kerangka ini, bisa kita katakan bahwa figur seperti 'Ali
Syari'ati adalah intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan al-Afghani.
Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri
lebih sarjana ketimbang intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu dianggap
sebagai "thinker", "philosopher" dan "reformer",
padahal ia adalah intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan
Heidegger lebih filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para
orientalis seperti Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana
(scholars) yang hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut
sebagai filsuf, tidak juga intelektual.