Drs. Makmun Pitoyo, M.Pd.
Kepala MA (Pondok Pesantren) Al-Mu’min Muhammadiyah Tembarak Temanggung
Persoalan
umat Islam tampaknya memang tidak pernah selesai. Jangankan persoalan
dengan orang-orang di luar Islam, persoalan internal saja masih sangat
banyak yang harus diselesaikan. Kita menyadari bahwa di satu sisi
mengurai persoalan ini dapat menjadi lahan kita untuk senantiasa
bergerak meraih jannah,
tetapi di sisi yang lain persoalan ini membuat kita bertanya-tanya ada
apa sebenarnya dengan kita, umat Islam. Adakah sesuatu yang salah yang
dilakukan umat Islam? Jika ya, pada aspek apa sehingga persoalan ini
tampak semakin ruwet untuk diurai?
Persoalan baru
yang kita hadapi, walaupun sebenarnya persoalan ini sudah ada sejak
lama, adalah munculnya istilah “Salafi Wahabi” yang dipicu oleh
terbitnya buku-buku karya Syekh Idahram yang menambah persoalan di
kalangan internal umat Islam. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas
masalah yang berkaitan dengan istilah itu karena sudah jelas salahnya,
tetapi hendak mencoba membahas salah satu aspek perjalanan dakwah Islam,
yaitu manhaj dakwah.
Penulis berusaha untuk menyampaikan manhaj dakwah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dan Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wa Sallam untuk
kita jadikan rujukan dalam berdakwah dengan harapan agar dapat mengurai
berbagai persoalan yang kita hadapi. Mengapa tema ini yang kita ambil ?
Karena kita menyaksikan banyak manhaj dakwah yang saat ini berjalan
tidak sejalan dengan metode yang dicontohkan oleh para nabi kita,
padahal Allah Tabaraka wa Ta’ala
telah memberitahukan bahwa,
“Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S.Yusuf : 111)
Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam adalah bapaknya para nabi dan pemimpin orang-orang bertauhid yang lurus. Allah Tabaraka Wa Ta’ala memerintahkan pemuka para rasul dan penutup para nabi yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta umatnya untuk mengikuti
ajaran beliau, meneladani dakwahnya serta mengambil petunjuk dan manhajnya. Ini diperintahkan dalam Al Qur’an,
“Kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang
hanif’ dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. An Nahl : 123)
“Katakanlah:
‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim
yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Ali Imran : 95)
Kedua ayat di atas, Wallahu a’lam, jelas memerintahkan kita untuk mengikuti millah (agama)
Nabi Ibrahim, termasuk manhaj beliau dalam berdakwah. Dakwah beliau
adalah dakwah yang membara, kuat dan terpancar kepada Tauhidullah (mengesakan Allah Swt) dan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya serta membuang dan menolak segala macam bentuk
kemusyrikan.
Dakwah beliau adalah dakwah yang dimulai dari diri sendiri, keluarga
dan baru kemudian menyebar kepada umat. Dakwah yang berjalan di atas
jalan yang lurus, kokoh menghunjam ke dalam, rimbun dan tinggi menjulang
ke atas. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al An’am : 74-79,
“Dan
(ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, ‘Pantaskah
kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku
melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ “Dan demikianlah
Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia
termasuk orang yang yakin.” “Ketika malam telah gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) dia berkata: ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang
tenggelam.’ “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata:
‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata:
‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang yang sesat.’ “Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar’. Maka
tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumku, Sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.’ “Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Dakwah Nabi
Ibrahim as adalah dakwah untuk memahamkan umat tentang Rububiyah Allah
Swt dan Uluhiyah-Nya agar mereka berjalan di atas kebenaran dengan
menyembah hanya kepada-Nya semata. Dakwah yang memberikan peringatan
keras kepada setiap orang yang sombong dan congkak lagi berbuat
lalim/aniaya baik dari kalangan rakyat maupun penguasa.
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya
(Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan
dan mematikan,’ orang itu berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan
mematikan.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari
dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat,’ lalu terdiamlah orang
kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
dzalim.” (Q.S. Al Baqarah : 258)
Dakwah Nabi
Ibrahim as adalah dakwah yang memberantas tuntas segala macam kebudayaan
dan faham-faham yang bertentangan dengan tauhid, meskipun kebudayaan
itu telah berurat berakar di tengah-tengah masyarakat dari sejak nenek
moyang mereka. Allah Swt menjelaskan dalam Q.S. Al Anbiya’ : 51-56,
“Dan
sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran
sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
‘Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?’ Mereka
menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak Kami menyembahnya.’ Ibrahim
berkata: ‘Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan
yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu datang kepada Kami dengan
sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?’
Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang
telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang-orang yang dapat
memberikan bukti atas yang demikian itu.”
Melihat manhaj
dakwah Nabi Ibrahim as yang demikian itu, maka kita dapat mengambil
pelajaran bahwa manhaj dakwah yang benar adalah dakwah tidak dimulai
dari hukum dan kekuasaan, dakwah juga tidak dimulai dari seni dan
kebudayaan, dakwah tidak dimulai dari memperbanyak amalan ibadah dan
akhlak, akan tetapi dakwah dimulai dari penanaman aqidah tauhid yang
kuat hingga merasuk ke dalam kalbu masing-masing individu, tertanam kuat
dalam jiwa mereka sehingga tidak tergerus oleh berbagai iming-iming
duniawi, godaan dan rayuan syetan berupa jin dan manusia.
Dakwah semacam
ini telah terbukti sukses dan mendapatkan ridlo Allah Swt. Dalam periode
sejarah berikutnya, yaitu terbentuknya masyarakat muslim yang
sebenar-benarnya di kota Yatsrib yang kemudian dikenal dengan nama
Madinah An-Nabawiyah. Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, juga tidak
memulai dakwahnya dari hukum dan kekuasaan tetapi dengan menanamkan
aqidah tauhid. Suatu saat, sebelum hijrah ke Madinah, beliau ditawari
oleh seorang Quraisy bernama Utbah bin Rabi’ah berbagai kemudahan
termasuk jabatan dan kekuasaan bahkan juga ditawari wanita mana saja
yang beliau kehendaki, tetapi beliau tidak menerimanya bahkan tetap
kokoh berjalan di atas ajaran Tauhid.
Di kota Madinah
An-Nabawiyah itu beliau membai’at (mengadakan janji setia) para
sahabatnya di atas tauhid, sebagaimana diberitakan Al Qur’an surat Al
Mumtahanah ayat 12, “Hai
Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang
baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada
Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dalam bukunya “Minhajul Anbiya’ Fi Dakwati Ilallah Fiihil Hikmah Wal Aql,” menyatakan
bahwa meskipun ayat ini menjelaskan tentang bai’at para wanita, namun
Rasulullah Saw juga membai’at kaum lelaki di atas kandungan ayat ini.
Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ubadah bin As-Shamit r.a. dia berkata, “Dahulu
Rasulullah Saw berada dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda:
‘Berbai’atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatupun, tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak membunuh anak-anak
kalian, dan berbai’atlah kepadaku atas ayat yang wanita diambil
perjanjian dengannya.’ (Q.S. Al Mumtahanah : 12). Barangsiapa yang
menepati janji di antara kalian, Allah akan memberikan pahala kepadanya.
Dan barangsiapa melakukan salah satu hal itu lalu dihukum (di dunia),
maka itu merupakan kaffarat baginya. Dan barangsiapa melakukan salah
satu hal itu lalu Allah menutupinya, maka urusannya kembali kepada
Allah, jika berkehendak Allah akan mengampuninya dan jika berkehendak
Allah akan mengadzabnya.”
Dakwah
yang beliau (Nabi Muhammad Saw) lakukan adalah dakwah yang menjadikan
seseorang benar-benar bertauhid kepada Allah Swt sehingga tidak ada
sesuatupun yang berhak disembah kecuali hanya Allah Swt. Orang yang
mendapat dakwahnya akan menjadi orang yang
berkeyakinan
kuat bahwa Allah Swt adalah Dzat yang menciptakan alam seisinya
termasuk manusia. Dialah Dzat yang memberi rizki, yang mengatur dan
memelihara kehidupan sehingga seluruh hak-hak hamba-Nya terpenuhi tanpa
ada sesuatupun yang terluput dari-Nya. Mereka
berkeyakinan kuat bahwa
hidup ini cukup dengan pemberian Allah swt yang halal dan baik tanpa
harus bersusah payah mencari yang haram apalagi mengupayakan dengan
cara-cara yang dzalim karena mereka berkeyakinan bahwa negeri akhirat
lebih utama dan kekal, mereka juga berkeyakinan kuat bahwa hanya Allah
Swt sajalah tempat mereka berlindung dan menggantungkan segala urusannya
tanpa harus merengek-rengek mencari perlindungan dan ketergantungan
kepada makhluk Allah Swt yang menentang dan memusuhi syariat-Nya. Mereka
berkeyakinan bahwa syari’at Allah Swt dan Rasul-Nya telah cukup
sempurna dan paripurna untuk mengatur kehidupan tanpa harus
mengada-adakan syariat baru.
Memahami
realitas sejarah yang dilakukan kedua Nabiyullah Ibrahim as dan Muhammad
Saw, maka patut kita menyampaikan nasehat Syekh Rabi’ sebagai berikut, “Bila
orang-orang yang berakal melihat seekor macan yang siap menerkam dan
sekelompok tikus yang menyerang mereka, mereka tentu akan serentak
menangkis serangan macan. Mereka akan melupakan tikus-tikus itu walaupun
bersamanya ada kelompok lain, misalnya katak. Bila perjalanan musafir
terhenti di suatu jalan bercabang dan tidak ada pilihan lain bagi
mereka; pertama, jalan yang di sana terdapat gunung berapi yang
memuntahkan panas dan apinya, serta meluluhlantakkan pepohonan dan
bebatuan, dan yang kedua, jalan yang disana terdapat duri, padang pasir
yang panas membakar dan panas matahari yang menyengat. Niscaya akal
mereka tidak akan memilih kecuali jalan yang kedua. Sekarang kita
mengambil contoh yang lebih rusak –yang saya maksud adalah
kerusakan-kerusakan politik, sosial dan ekonomi– dan yang paling parah
di antaranya adalah kerusakan hukum, untuk kita bandingkan dengan
kerusakan aqidah. Apakah keduanya sama dalam timbangan Allah Swt dan
timbangan para nabi? Ataukah salah satunya lebih berbahaya, lebih celaka
dan lebih pahit akibatnya? Dalam timbangan Allah dan timbangan para
NabiNya, yang lebih berbahaya dan lebih pantas untuk berkonsentrasi
terhadapnya sepanjang masa dan zaman serta dalam setiap risalah adalah
syirik berikut fenomenanya. Dimana tidak ada kerusakan yang sebanding
dengannya, sebesar apapun kerusakan itu. Berdasarkan hal ini, kita
kembali dan mengatakan: Sesungguhnya permulaan dakwah seluruh nabi
(adalah) dengan memperbaiki sisi aqidah dan memerangi syirik serta
fenomenanya, merupakan konsekuensi hikmah dan akal.”
Demikianlah
nasehat syeikh Rabi’, oleh karena itu marilah kita kembali mengkaji
secara sungguh-sungguh bagaimana Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad Saw
melakukan dakwahnya sehingga kita faham betul dan mencontohnya untuk
diri kita pribadi, keluarga kita dan masyarakat pada umumnya. Kita
hindarkan diri kita, keluarga dan masyarakat kita dari segala macam
bentuk kemusyrikan dan semua fenomena yang melingkupinya agar Allah Swt
segera menolong kita dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan
umat ini. Semoga Allah Swt senantiasa meridhai terhadap apa yang kita
lakukan.
Sumber : tabligh.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar