Jihad Konstitusi ala Muhammadiyah
Oleh : BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
DALAM
perspektif Islam, jihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
melaksanakan segala sesuatu. Jihad memiliki akar kata yang sama dengan
ijtihad, yakni jahd. Hanya, istilah ijtihad berasal dari hadis,
sedangkan jihad dari Alquran. Meski demikian, substansi jihad dan
ijtihad adalah mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran
(total endeavor) sehingga terwujud nilai-nilai yang diridai Allah SWT.
Dalam sejumlah
referensi dapat dipahami, jihad tidak harus dimaknai perjuangan fisik.
Contohnya, pandangan Buya A.R. Sutan Mansur, ulama besar Sumatera Barat
yang menjadi nakhoda Muhammadiyah periode 1952–1957. Beliau memaknai
jihad dengan pengertian bekerja sepenuh hati. Makna itu sangat menarik
karena jihad tidak dijelaskan dengan kata berperang, melainkan bekerja
keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas.
Perspektif Buya
Sutan Mansur ternyata begitu menginspirasi Muhammadiyah. Ajaran jihad
diejawantahkan dalam bentuk berkarya untuk memperbaiki kondisi bangsa.
Ibarat jarum jam, Muhammadiyah terus bergerak guna melahirkan amal-amal
sosial yang bermanfaat bagi umat. Dengan memahami ajaran agama sebagai
praksis sosial (a faith with action), Muhammadiyah terus berkarya dengan
mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, serta lembaga
perekonomian.
Menariknya,
saat memasuki abad kedua dari perjalanan sejarah organisasi ini, sangat
tampak keinginan kuat untuk mengembangkan bidang dakwah dalam konteks
kekinian. Salah satu yang patut dicatat adalah keberhasilan Muhammadiyah
melakukan jihad konstitusi. Melalui jihad konstitusi, Muhammadiyah
berjuang untuk meluruskan sejumlah perundang-undangan yang dianggap
kurang berpihak kepada rakyat.
Sejak November
2012 hingga akhir Februari 2015, Muhammadiyah telah empat kali melakukan
judicial review terhadap perundang-undangan yang terus memicu
kontroversi. Empat UU yang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi
(MK) adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Ormas, serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Hebatnya,
seluruh jihad konstitusi Muhammadiyah melalui judicial reviewtersebut
dikabulkan MK. Kini Muhammadiyah pun bersiap mengajukanjudicial review
terhadap UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Prestasi
Muhammadiyah saat melakukan judicial reviewterhadap sejumlah UU jelas
sangat membanggakan.
Melalui tim
pakar dan ahli hukumnya, Muhammadiyah telah mengkaji beberapa UU yang
dianggap tidak prorakyat. Usaha itu kemudian ditindaklanjuti dengan
mengajak beberapa tokoh nasional serta ormas untuk mengajukan judicial
review terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Meski kedudukan
hukum (legal standing) dan kompetensinya sebagai pemohon judicial review
UU Migas sempat dipertanyakan, Muhammadiyah ternyata sukses memenangi
gugatan di MK.
Harus diakui,
sejauh ini, hampir tidak ada ormas apalagi ormas keagamaan yang berani
mengambil peran dalam advokasi kebijakan. Biasanya, advokasi kebijakan
hanya diperankan lembaga bantuan hukum atau lembaga swadaya masyarakat
(LSM), baik dalam maupun luar negeri. Muhammadiyah memahami, pengajuan
judicial review terhadap UU yang kurang berpihak kepada kepentingan
rakyat merupakan bagian dari komitmen untuk meluruskan kiblat bangsa.
Bagi
Muhammadiyah, pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi pada
kesejahteraan rakyat. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din
Syamsuddin menegaskan, langkah menggugat beberapa UU yang kurang
berpihak kepada rakyat itu merupakan bagian dari dakwah politik amar
makruf nahi mungkar. Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan agar
putusan MK efektif? Inilah pekerjaan rumah Muhammadiyah. Bersama
pilarcivil society lainnya, Muhammadiyah harus mengawal putusan MK.
Publik tentu
masih ingat tatkala MK memerintah pemerintah membubarkan Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai konsekuensi
pembatalan UU Migas. Saat itu, pemerintah hanya mengganti nama BP Migas
dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK
Migas). Padahal, dalam amar putusannya, MK memutus bahwa BP Migas yang
diatur dalam UU Migas tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus
dibubarkan. UU Migas juga berpotensi memicu liberalisasi pengelolaan
migas karena intervensi perusahaan asing.
Perubahan
casing BP Migas menjadi SKK Migas oleh pemerintah jelas tidak
menyelesaikan masalah. Sebab, kenyataannya, SKK Migas tetap berpotensi
menjadi sarang koruptor. Karena itu, tidak mengherankan jika di kemudian
hari kepala SKK Migas ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam operasi tangkap tangan dengan tuduhan menerima suap dari
perusahaan asing.
Karena itu,
kemenangan Muhammadiyah dalam jihad konstitusi harus benar-benar
ditindaklanjuti. Jangan sampai amar putusan MK yang memenangkan gugatan
Muhammadiyah atas sejumlah UU tersebut tidak dijalankan pemerintah dan
DPR. Harus dipastikan bahwa pemerintah dan DPR benar-benar menaati
putusan MK sehingga UU yang dibuat tidak lagi bertentangan dengan
semangat nasionalisme.
Semoga jihad
konstitusi ala Muhammadiyah menjadi penyemangat bagi organisasi tersebut
untuk terus berkiprah. Itu berarti jihad konstitusi juga bisa menjadi
salah satu topik yang menarik dibicarakan dalam Muktamar Ke-47
Muhammadiyah di Makassar, 3–7 Agustus 2015.
sumber : JawaPos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar