MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Jumat, 03 Mei 2013

Mencerahkan Batin Lewat Membaca Al-Qur’an

Mencerahkan Batin Lewat Membaca Al-Qur’an
Muhammad alifuddin


Selanjutnya, tadabbur terambil dari kata “dabara” yang artinya belakang. Pengertiannya ialah bahwa dalam membaca Al-Qur’an itu diperlukan pendalaman dalam memahami ayatayat yang dibaca. Dengan demikian, seseorang pembaca Al-Qur’an akan menguasai benar apa yang menjadi pesan yang termuat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibaca.

Pendalaman pemahaman ini juga melibatkan hati (qalbun), bukan sekadar hanya dengan nalar (pikiran logis) saja. Jadi, antara hati dan nalar perlu disiapakan dalam proses pendalaman tersebut. Dalam dunia hati yang dicari adalah keharusan dan kelayakan sesuatu sehingga dianggap proporsional oleh kebanyakan orang. Sedangkan dalam nalar yang dicari adalah ketepatan dan keajegan keadaan yang dianggap proporsional pula oleh kebanyakan orang. Allah  SwT berfirman (Q.s. Muhammad [47]: 24):

afalaa yatadabbaruuna-’1-qur’aana am qu-luubun aqfaaluhaa = Maka apakah mereka mendalami Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? Dengan demikian, orang membaca Al-Qur’an itu tidak sekadar “membaca” dalam arti  biasa membaca huruf/aksara, melainkan perlu dibarengi dengan mendalami isi ayat Al-Qur’an dengan hati dan nalarnya.

Untuk selanjutnya, perlu juga tadzkir (pelafalan aslinya “tadzkiir”) yang berasal dari kata “dzakara” yang berarti mengingat. Yang dimaksud di sini adalah bahwa ketika seseorang membaca ayat-ayat Al-Qur’an,maka apa saja yang dipahami dan dikuasai secara mendalam perlu disimpan dalam alam memori (ingatan). Tidak begitu memahami dan menguasai lalu hilang tidak berbekas. Seharusnyalah apa saja yaug telah dipahami dan dikuasai dengan baik dan mendalam tersebut mampu memberi juru penerang dalam setiap langkah kehidupan seseorang atau mampu menjadi pengingat manakala terjadi kemelencengan hidup. Ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dibaca mampu memperkokoh keyakinan hati bahwa Allah SwT senantiasa mengawasi seluruh perilaku dalam kehidupan seharihari. Menurut Al-Qur’an, jika seseorang benar-benar ingin  menjadikan Al-Qur’an sebagai pihak pengingatnya, maka Allah SwT telah mempermudahnya terhadap hal yang demikian itu (Q.s. Al-Qomar [54]: 32): wa laqad yassarna-’l-qur’aana li-’dz-dzikri fa hal min muddakir = Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an sebagai pengingat (pelajaran), maka adakah yang mau mengambil pelajaran?

Unsur terakhir dalam bangunan istilah “qiraa’ah” adalah dirasat (pelafalan aslinya “diraasat”) berasal dari kata, “darasa” yang berarti mempelajari. Dirasat di sini dimaksudkan adalah mengulang-ngulangi dalam membaca sehingga menjadi hafal. Arti lainnya adalah membaca secara berulang untuk memperluas pandangan atau wawasan. Dua pengertian ini pada hakikatnya saling menguatkan. Dengan dirasat tersebut seseorang yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan gampang melupakan pesan-pesan mulia yang terkandung di dalamnya, bahkan akan terasa rindu untuk selalu kembali mempelajari pesan-pesan mulia tersebut. Di  samping itu, dengan dirasat tersebut seseorang menjadi merasa luas pandangan dan wawasan, tidak merasa tertelikung di ruang yang  sempit dan pengap yang menyesakkan dada, melainkan merasa lapang tempat, berudara segar, dan longgar menarik nafas. Dengan dirasat seseorang yang membaca Al-Qur’an merasa mendapat pemecahan kalau ada permasalahan, mendapat ketenangan kalau ada kebingungan atau ancaman, mendapat nur (cahaya) kalau ada kegelapan, dan mendapat keteduhan kalau ada kegundahan. Barangkali inilah maksud firman Allah SwT (Q.s. Al-An’am [6]: 156): an taquuluu innama unzila-’lkitaa- bu ’alaa thaaifataini min qablinaa wa in kunnaa ’an  diraasatihim laghaafiliin = (dengan diturunkan-Nya Al-Qur’an itu) agar kamu tidak mengatakannya: “Bahwasanya kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja (yaitu Yahudi dan Nasrani) sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka pelajari. Ayat Al-Qur’an ini menjelaskan bahwa kalangan pemuka Yahudi dan Nasrani pada masa Rasulullah saw dikenal sebagai orang-orang yang  tekun dalam mempelajari Kitab-Kitab Suci mereka. Bahwa dengan diturunkannya Al-Qur’an, maka umat Islam tidak pada tempatnya kalau kalah tekun dalam mempelajari Kitab Suci Al-Qur’an yang penuh mengandung pesan-pesan yang mulia pula.

Jadi, istilah “qiraa’ah” atau  membaca Al-Qur’an perlu dilengkapi dan diutuhkan dengan unsur tartil (membaca huruf/ aksaranya secara jelas), tadabbur (mendalami isi  ayat yang dibaca), tadzkir (mengingat selalu isi pelajaran dari ayat yang dibaca), dan dirasat (mempelajari isi ayat agar memperoleh keluasan pandangan dan wawasan). Kalau seseorang sungguh- sungguh telah membaca Al-Qur’an menurut prinsip-prinsip “qiraa’ah” di atas, maka berlakulah rahmat Allah SwT bagi para pendengar bacaannya (Q.s. Al-A’raf [7]: 204): wa idzaa quri’a-’l-qur’aanu fa-’s-tami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamuun  = Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkan bacaan itu (baikbaik), dan perhatikan dengan tenang (tidak berbicara) agar kamu mendapat rahmat. Janji mendapat rahmat ini diwujudkan dalam bentuk: (1) akan mendapat curahan hidayah  atau petunjuk yang tidak akan pernah salah (inna haadzaa-’l-qur’aana yahdii lillatii hiya aqwamu = Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk ke (jalan) yang lebih lurus; Q.s. Al-Isra’ [7]: 9); dan (2) akan mendapat obat atau penawar dan rahmat bagi orang yang beriman sungguh-sungguh. Qiraa’ah seperti inilah yang sesungguhnya dikehendaki Al-Qur’an. Sekalipun harus juga diakui, bahwa jika telah melakukan salah satu dari pilar qiraa’ah, yaitu tartil, tadabbur, tadzkir, dan dirasat, telah menghasilkan pahala di sisi Allah SwT.

Kedua, adalah istilah “tilaawah”. Setengah ahli tafsir mengartikan asal kata tilaawah adalah mengikuti. Artinya, kalau dalam konteks membaca huruf/aksara, maka arti tilaawah adalah mengikuti apa bunyi huruf/ aksara beserta tanda-tanda bacanya. Dalam arti yang lebih luas, tilaawah memiliki arti: bacaan yang menyebabkan pendengarnya menjadi mengikuti atau terhanyut di dalamnya. Tegasnya, tilaawah adalah bacaan yang sangat mempengaruhi alam jiwa (ruhani) seseorang. Tilaawah adalah “bacaan yang sangat begitu menyentuh hati”. Kata tilaawah hanya dipakai  untuk pengertian membaca sesuatu yang agung dan suci, dalam hal ini hanya terbatas pada ayat-ayat Kitab Suci atau wahyu. Sementara itu, kata qiraa’ah obyek atau sasarannya lebih luas dan lebih umum, yang meliputi ayat suci atau wahyu dan juga di luar itu (simbol apa saja dan kitab terbuka alam semesta).

Dalam kegiatan tilaawah lebih ditujukan untuk kepentingan, pertama, untuk memperkokoh keimanan yang sudah mapan tertanam dalam hati. Hal ini bisa untuk ditujukan kepada diri si pembaca Al-Qur’an sendiri, bisa juga bagi para pendengar bacaan Al-Qur’an sendiri. Inilah yang disitir Al-Qur’an (Q.s. Al-Anfal [8]: 2): innama-‘lmu’minuuna-‘ l-ladziina idza dzukira-‘llaahu wajilat quluubuhum wa idzaa tuliyat aayaatuhu zaadathum iimaanan wa‘alaa rabbihim yatawakkaluuna = Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah (maka serentak) gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan ayat-ayat firman- Nya (maka serentak) bertambah-tambahlah iman mereka serta, (hanya) kepada Tuhan merekalah mereka bertawakal. Dengan tilaawah Al-Qur’an, maka mudah tersentuhlah perasaan keimanan seseorang, baik karena mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacanya sendiri atau karena mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca orang lain. Kedua, untuk menarik pendengarnya dan merasa tersentuh untuk beriman dengan kesadaran penuh dari dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, berkat mendengar tilaawah ayatayat Al-Qur’an seseorang termotivasi kuat muncul rasa keimanannya. Ini barangkali yang dimaksud firman Allah SwT. (Q.s. An-Naml [27]: 92): wa an atluwaa-’l-qur’aana fa mani-‘h-tadaa fa innamaa yahtadii lii nafsihi = Dan supaya aku (Muhammad) membacakan Al-Qur’an (tertuju kepada seluruh manusia); maka barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya dia adalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya (sendiri). Tugas para Rasul antara lain adalah membacakan (tilaawah) ayatayat firman-Nya dan wahyu-Nya secara menarik untuk membersihkan keimanan mereka, mengajarkan isi kitab dan hikmah agar pendengarnya terentaskan dari kesesatan jalan dalam hidupnya (Q.s. Ali Imran [3]: 164).

Berdasar uraian di atas, maka dalam tilaawah perlu dicapai sifat bacaan yang bersifat menarik, menyentuh perasaan, memberikan motivasi yang  tumbuh dari dalam diri sendiri, dan memberikan motivasi orang untuk berubah, terutama dalam hal keimanannya. Sifat tilaawah yang demikian inilah yang dilakukan para Rasul.

Uraian di atas menunjukkan secara begitu jelas bahwa qiraa’ah dan tilaawah merupakan dua hal yang sungguh-sungguh pokok tatkala seorang Mukmin menghadapi Al-Qur’an. Dengan qiraa’ah dan tilawaah seperti terurai di atas diharapkan akan menimbulkan kecerahan batin umat Mukmin, apalagi bertepatan waktu dengan ibadah shiyaam di bulan suci Ramadlan. Orang Mukmin yang sedang membaca Al-Qur’an tidak sekadar membaca begitu saja, tetapi perlu mengikuti apa saja yang seharusnya terjadi dan dilakukan pada saat melakukan qiraa’ah dan tilaawah. Dengan demikian bobot dan kualitas pembacaan Al-Qur’an, minimal selama bulan suci Ramadlan, akan lebih meningkat tajam. Insya Allah, di situlah akan terjadi pencerahan batin dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Mari  kita niatkan dan kita mulai mencoba melakukannya. Wallaahu a’lam bishshawaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar