Kenapa jadwal MUHAMMADIYAH beda dengan PEMERINTAH??
Tibanya Ramadhan dan Idul Fitri, dua momen yang menempatkan
Muhammadiyah menjadi sorotan media massa. Apa pasalnya? Muhammadiyah
yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang menggunakan metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah.
Perbedaan metode itulah yang menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan
1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Akibatnya
seringkali Muhammadiyah menjadi sasaran kritik, mulai dari tidak patuh
pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah hingga tidak mengikuti
Rasulullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab.
Menurut publikasi Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam situs www.muhammadiyah.or.id
mengatakan umumnya mereka yang tidak dapat menerima hisab karena
berpegang pada salah satu hadits yaitu: “Berpuasalah kamu karena melihat
hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan
terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban
tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut dan juga contoh Rasulullah Saw, sangat jelas
memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya
pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya
referensi pada Rasulullah Saw.
Lalu mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof.Dr.Syamsul Anwar,MA dalam tulisannya yang dipublikasikan oleh www.muhammadiyah.or.id memaparkan beberapa alasannya sbb:
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al-hilal,
yakni metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan
Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah
terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari
terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.
Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, ini dia alasannya:
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab.
Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan”
(QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan
bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau
diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak
kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya
untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa
Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa
AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan).
Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat
yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan
hisab.
Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan
Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis
dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian.
Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh
hari”.
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya
ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat
melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak
ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.
Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya,
melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang
oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa
menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam
semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui
hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat
kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena
tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu
ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem
penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan
bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur
dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan
Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda
memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena
rukyat pada visibilitas pertama tidak meng-cover seluruh muka bumi.
Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka
bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang
selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat
melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat
melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran
artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24
jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa
diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak
mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih
dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan
Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di
suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun,
jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman
sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas
pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa
Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan
sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan
sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu
hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah.
Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak
dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan
dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu
menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah
terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi
kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan
suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak
dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di
seluruh dunia.
"Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu
Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita
menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat," ujarnya.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al
Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko
dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at
Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah
menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi
kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan
penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti
halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar