Teologi Al Ma’uun : Refleksi Pembebasan Kaum Tertindas
Kondisi
sosial-keagamaan di Indonesia pada saat itu sangat memperhatinkan.
Selain di sebabkan oleh belenggu penjajahan juga merupakan dampak dari
pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran yang semestinya,
yang kemudian termanifestasikan kedalam realitas sosial yang cenderung
mengarah pada kejumudan, kebodohan dan kemiskinan. Apalagi sebelum
masuknya Islam ke Indonesia, daerah ini merupakan lahan subur dari agama
Hindu dan Budha yang kental menganut paham animisme dan dinamisme.
Muhammad
Darwis, yang kemudian berganti nama dengan Ahmad Dahlan, yang lahir
pada tahun 1869 di Yogyakarta adalah anak dari KH. Abu Bakar yang pergi
belajar ke mekah dan berguru kepada seorang ulama Indonesia yang
terkenal yang bernama Ahmad Khatib al-Minangkabawi pada tahun 1980.
Sekembalinya ke tanah air, nampaknya ia sangat menghayati arti dan makna
serta cita-cita pembaharuan.Yang pasti, ia mulai mengintrodusir
cita-citanya dan mengorganisisr teman-temannya di daerah Kauman untuk
melakukan pekerjaan sukarela dalam memperbaiki daerahnya dengan
membersihkan jalan-jalan dan parit-parit. Di samping itu, iajuga menjadi
guru dan mengajarkan ilmu agama bagi teman-temannya di Budi Utomo.
Dengan latar belakang kondisi sosial seperti inilah Muhammadiyah
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (lebih akrab disapa dengan Kyai Dahlan)
pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912 M di
Kauman Yogyakarta.
Secara
singkat, dapat di jelaskan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi
lahirnya Muhammadiyah, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal diantaranya adalah; kebijakan politik pemerintah
kolonial Belanda yang terus berusaha untuk memperkokoh hegemoninya di
Nusantara, serta masuknya ide-ide pembaharuan dari Timur Tengah.
Sedangkan faktor internal diantaranya adalah; sikap beragama kaum
Muslimin yang bercampur dengan kepercayaan animistik, pendidikan Islam
yang membentuk pola taqlid buta (bukan hanya terhadap imam mazhab) namun
juga sampai kepada guru atau syaikh-syaikh mereka.
Cita-cita
awal yang ingin diwujudkan oleh Kiyai Dahlan melalui Muhammadiyah
meliputi aspek-aspek tauhid, ibadah, mu’amalah dan pemahaman ajaran
Islam yang bersumber langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bidang
tauhid, Kyai Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam
kemusyrikan atau perbuatan syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan
cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mu’amalah, membersihkan
kepercayaan dari khurafat, dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam,
ia merombak perbuatan taqlid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam
ber-ijtihad.
CITA-CITA SOSIAL MUHAMMADIYAH
Fenomena
gerakan Muhammadiyah pada awal abad ke-20 banyak menarik minat studi
ketimuran. Kemunculan gerakan pembaharuan di tengah kolonialisaasi
menyiratkan dua arti/makna, yaitu menandai titik balik kesadaran
(turning point of consciousness) kalangan pribumi/Islam ketika
berhadapan dengan tembok kolonialisasi yang berdiri kokoh hampir di
semua dunia Islam, sekaligus merintis gerakan perlawanan melalui jalur
kultural. Konsistensi kiprah organisasi yang lahir di Kauman Yogyakarta
ini dalam komitmen gerakan kulturalnya menorehkan kontribusi pemikiran
dan peran aktif dalam proses mencerahkan kehidupan beragama,
mencerdaskan dan menyadarkan harga diri umat, serta meningkatkan harkat
dan martabat bangsa.
Kejumudan
dan kemiskinan yang dialami oleh rakyat Indonesia pada saat itu bukan
hanya di sebabkan oleh penjajahan semata. Namun juga oleh sikap
pemahaman yang salah terhadap ajaran Islam. Melalui persyarikatan
Muhammadiyah, Kyai Dahlan mempunyai cita-cita sosial yang ingin
diwujudkannya. Terutama pembelaan dan pemberdayaan terhadap kaum
mustadh’afin. Dalam melaksanakan cita-cita sosialnya ini, Kyai Dahlan
tidak hanya berteori dan menganjurkan, akan tetapijuga bersedia
berkorban untuk mempraktekkan cita-cita sosialnya, yakni (terutama)
tercapainya suatu masyarakat egaliter yang menyantuni anak-anak yatim
dan orang-orang miskin.
Di suatu
pagi buta Kyai Dahlan memukul kentongan untuk mengumpulkan tetangganya
untuk mau membeli peralatan rumah tangganya seperti kursi, meja, jam
dinding dan sebagainya dalam sebuah lelangan spontan. Kyai Dahlan
menjelaskan bahwa perolehandari lelangan tersebut akan digunakan untuk
“modal” perjuangan, termasuk menyantuni fuqara (kaum fakir), masakin
(kaum miskin), dan aitam (anak-anak yatim). Tak salah kiranya (menurut
Amin Abdullah) jika Kyai Dahlan bisa disebut sebagai “a man of action”
dan bukan “a man of thought” semata. Inilahyang menjadikan persyarikatan
Muhammadiyah bisa eksis sampai saat sekarang ini. Yaitu “sedikit bicara
banyak bekerja” atau ”satu kata dengan perbuatan”.
Jika
ditelisik lebih lanjut, ciri-ciri perjuangan Muhammadiyah yang
mencakup: Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid, maka dapat kita tarik bahwa semuanya itu mempunyai
implikasi terhadap realita sosial. Dengan kata lain, kesemuanya itu
tidak bisa dipisahkandari aspek sosial. Dalam Anggaran Dasar
Muhammadiyah disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah
“Mewujudkan dan menjunjung tinggiagama Islam sehingga terwujudnya
masyarakat utama, adil dan makmur yang di ridhai Allah SWT”.
Ini
berarti maksud dan tujuan dari persyarikatan Muhammadiyah tak lain dan
tak bukan adalah ingin mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin
(rahmat bagi sekalian alam). Rahmatan lil ‘alamin bukan hanya bagi umat
Islam semata, namun juga bagi umat yang lainnya, lintas agama, suku,
ras, bangsa, malah juga bagi makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
GERAKAN DAN PERAN MUHAMMADIYAH UNTUK MASA DEPAN
Mengingat
cita-cita dan peran yang telah dimainkan oleh persyarikatan
Muhammadiyah semenjak berdirinya hingga sekarang, maka tak dapat
dipungkiri lagi bahwa persyarikatan Muhammadiyah mempunyai peranyang
cukup menentukan dalam perjalanan bangsa ini. Amal usaha Muhammadiyah
yang telah tersebar di negeri ini adalah buktinya. Mulai dari lembaga
pendidikan (mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi), rumah
sakit, poliklinik, panti asuhan, dll.
Namun,
apa yang telah dicapai oleh persyarikatan Muhammadiyah sampai sekarang
ini hendaknya tidak membuat pengurus dan warga Muhammadiyah merasa
berbangga hati dan berhenti berkarya. Realita sosialyang terjadi saat
ini masih membutuhkan kerja keras dan sumbangsih dari kita semua,
termasuk didalamnya persyarikatan Muhammadiyah. Susahnya lapangan kerja
ditambah dengan membengkaknya angka pengangguran, mahalnya harga
sembako, konflik sosialyang terjadi di masyarakat, adalah realita sosial
yang terjadi pada bangsa ini dan tak dapat dipungkiri.
Untuk
itu, diperlukan sumbangsih dan karya nyata dari persyarikatan dan warga
muhammdiyah sebagaimana maksud dan tujuan Muhammadiyah yang ingin
mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang di ridhai Allah SWT.
Masyarakat utama, adil dan makmur tidak akan pernah tercapai jika
kemiskinan dan kebodohan masih bercokol di tengah-tengah masyarakat.
Sebelum
kita menguraikan lebih jauh tentang arah dan peran Muhammadiyah ke
depan, maka perlu kita urai beberapa hal yang menjadi ganjalan bagi
Muhammadiyah untuk melangkah kedepannya. Diantaranya adalah:
a.
Menurunnya progresifitas gerakan dakwah akibat lemahnya penafsiran
terhadap purifikasi (pemurnian) yang menjadi doktrin inti Muhammadiyah.
b.
Muhammdiyah selalu terlambat dalam membangun mitos baru terhadap
realitas sosial yang ada, terlalu lama berkutat dengan mitos
sinkritisme, animisme dan TBC. Sehingga perlawanan terhadap KKN, kurang
mendapat perhatian.
c. Menurunnya
gerakan pemikiran (intelektualisme) di Muhammadiyah yang berakibat
serius pada perkembangan amal usahanya. Sehingga melemahkan daya
antisipasi terhadap perubahan.
d.
Terlambatnya Muhammadiyah dalam merespon wacana pemikiran yang sedang
berkembang. Semisal Islam liberal, pluralisme, demokrasi, gender, dll.
e.
Eforia politik pasca-reformasi yang membawa Muhammadiyah semakin dekat
ke garis demarkasi politik praktis. Hampir sebagian warga Muhammadiyah
terhanyut dalam eforia politik dan menjadi pengurus di partai-partai
politik.
Untuk mengatasi
ganjalan-ganjalan di atas, maka diperlukan beberapa hal yang harus
dilakukan demi eksistensi Muhammadiyah kedepannya. Diantaranya adalah:
a.
Memacu kembali progresifitas dan mempertajam kembali arah gerakan
dengan lebih respon terhadap realitas sosial yang ada. Muhammadiyah
harus lebih memiliki kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, petani,
buruh dan persoalan sosial lainnya.
b.
Perlunya dilakukan tafsir ulang terhadap konsep TBC yang selama ini
menjadi doktrin Muhammadiyah. Hal ini diperlukan agar Muhammadiyah tidak
tercerabut dari akar budaya bangsa, masyarakat dan mamiliki titik
sentuh dengan lapisan keberagaman umat. Konsep Dakwah kultural bukan
diartikan dengan menghalalkan TBC, namun tradisi lokal di akomodasi
untuk dituntun pada aqidah yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah.
c. Membangkitkan kembali etos intelektualisme di Muhammadiyah agar lebih tanggap terhadap perubahan dan wacana yang berkembang.
d. Muhammadiyah harus tetap konsisten dengan khittah perjuangannnya untuk tidak ikut terlibat dalam aktivitas politik praktis.
e.
Muhammadiyah harus lebih pro-aktif dalam menyikapi berbagai persoalan
dan agenda bangsa. Mulai dari persoalan pendidikan, ekonomi, politik,
hukum, sosial dan budaya.
f.
Muhammadiayah harus mampu menata diri dan tumbuh mejadi organisasi
dengan manajerial gerakan yang terkelola secara rapi dan solid.
TEOLOGI AL-MA’UN SEBAGAI KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH
Setiap
warga persyarikatan Muhammadiyah pasti ingat bagaimana kisah Kyai
Dahlan mengajarkan surat al-Ma’un kepada muridnya sampai-sampai para
muridnya sendiri merasa bosan mendengarnya. Pengajaran surat al-Ma’un
ini oleh Kyai Dahlan tidak hanya semata-mata karena pesan keadilan
sosial yang terkandung didalamnya belum banyak dilaksanakan oleh para
muridnya. Namun juga karena Kyai Dahlan ingin menanamkan suatu
pengertian bahwa keadilan sosial adalah realisasi dari tauhid sosial di
tengah-tengah masyarakat. Konsekwensi dari tauhid adalah menuntut di
tegakkannya keadilan sosial. Karena setiap gejala eksploitasi manusia
atas manusia lainnya adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai tauhid
yang menjunjung persamaan derajat manusia dihadapan Allah SWT.
Kata
tauhid dalam Islam dipahami sebagai peng-esa-an Allah swt. Dalam Islam,
tauhid terbagi dua; tauhid rububiyah dan tauhid ilahiyah. Tauhid
rububiyah adalah pengesaan Allah disertai bahwa Allah lah satu-satunya
pencipta dan pengatur alam ini. Sedang tauhid ilahiyah adalah tauhid
yang menyadarkan kepada kita bahwa hanya Allah lah eksistensi tunggal.
Tauhid sosial merupakan implementasi dari tauhidullah dalam dimensi
sosial.
Sebagai persyarikatan,
Muhammadiyah memegang teguh tauhid sebagai doktrin sentral. Hal ini
dapat kita lihat dengan jelas dari bendera Muhammadiyah yang menunjukkan
bahwa seluruh aktifitas dan kehidupan warga Muhammadiyah harus
berdasarkan pada tauhid. Dalam wawasan keagamaan Muhammadiyah, tauhid
adalah hal yang paling kunci. Tauhid yang bersih dan jernih akan
menghasilkan kehidupan yang seimbang, adil, sejahtera. Begitu juga
sebaliknya, tauhid yang telah tercemari oleh “polusi” syirik akan
mengakibatkan umat Islam mengalami degradasi dan kemunduran di segala
bidang kehidupan.
Dalam konteks
ke-Indonesia-an, Muhammadiyah harus mempertajam tauhid sosialnya
(disamping harus memegang teguh tauhid aqidah). Realitas sosial yang
ada, disertai paham ekonomi kapitalis telah melahirkan penumpukan
kekayaan dan kemakmuran pada pribadi-pribadi tertentu dan penindasan
terhadap pribadi lain. Hal ini merupakan penyebab utama dari kekerasan
sosial yang terjadi di masyarakat. Dan jika dibiarkan berlarut-larut,
maka akan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Untuk
mengatasi ketidakadilan sosial yang terjadi saat ini, maka Muhammadiyah
sebagai persyarikatan perlu untuk menghidupkan lagi spirit al-Ma’un,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kyai Dahlan di awal-awal pendirian
Muhammadiyah. Setidaknya ada beberapa pesan yang dapat di tangkap dari
surat al-Ma’un, diantaranya adalah; pertama, orang yang menelantarkan
kaum dhu’afa (mustadh’afiin) tergolong kedalam orang yang mendustakan
agama. Kedua, ibadah shalat memiliki dimensi sosial, dalam arti tidak
ada faedah shalat seseorang jika tidak dikerjakan dimensi sosialnya.
Ketiga, mengerjakan amal saleh tidak boleh dibarengi dengan sikap riya.
Keempat, orang yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain,
bersikap egois dan egosentris termasuk kedalam orang yang mendustakan
agama.
Bila ingin dipadatkan
lagi, empat buah pesan yang terkandung dalam surat al-Ma’un inilah yang
menjadi cita-cita sosial Muhammadiyah, yaitu ukhuwah (persaudaraan),
hurriyah (kemerdekaan), musawah (persamaan), dan ‘adaalah (keadilan).
Spirit
inilah yang ditangkap oleh Kyai Dahlan dan diimplementasikannya dalam
kehidupan sosial melalui persyarikatan Muhammadiyah. Nilai-nilai ini
sejalan dengan misi Islam di muka bumi ini sebagai agama yang rahmatan
lil’alamiin.
Dalam perjalanannya,
untuk mengimplementasikan tauhid sosial ini memerlukan empat faktor
pendukung yang harus hidup dan berkembang pada warga persyarikatan
Muhammadiyah. Keempat faktor tersebut adalah:
Pertama; pencerahan umat
Sejak
awal berdirinya, para tokoh Muhammadiyah tidak pernah bosan
mengingatkan masyarakat Islam bahwa ilmu pengetahuan adalah “mutiara”
kaum muslimin yang hilang dan harus di rebut kembali dari tangan barat
yang telah mencapai puncak kejayaannya setelah merebut ilmu tersebut
dari kaum muslim. Proses pencerahan yang terjadi pada persyarikatan
Muhammadiyah adalah melalui proses pendidikan dengan mendirikan
sekolah-sekolah dan sarana pendidikan sebanyak mungkin. Melaui proses
ini maka akan terjadi reduksi terhadap makna santri. Santri yang
dahulunya diartikan sebagai umat yang ketinggalan zaman, kolot, sekarang
menjadi sebaliknya. Santri dianggap sebagai orang yang mampu menguasai
ilmu-ilmu keagamaan dan keduniaan.
Islam
juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap orang-orang yang
berilmu. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Mujaadilah ayat 11 yang
artinya: “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Mujaadilah
ayat 11)
Kedua; menggembirakan amal shaleh
Iman
tanpa amal adalah ibarat “pohon tanpa buah”. Betapa banyak ayat-ayat
Al-Qur’an ketika berbicara tentang iman, maka akan dibarengi dengan
ungkapan “amal shaleh”. Hal ini menunjukkan bahwa iman haruslah disertai
oleh amal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar