Sistem Pendidikan Islam
Diposting: Kamis, 2 Mei 2013 (Kampus STAIM Bima)
Oleh: M. Alifuddin
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Telah
terbukti bahwa sistem pendidikan yang materialistik telah gagal
melahirkan manusia yang shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Misalnya
di Indonesia, secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini
telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua
departamen yang berbeda, yakni Depag dan Depkidbud. Terdapat kesan yang
sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu
hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tidak
tersentuh oleh standar nilai agama.
Pendidikan
materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba
terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat
non-materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan
investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu
dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang
setara dengan nilai materi.
Sistem Pendidikan Islam
Dalam
konteks individu, pendidikan termasuk salah satu kebutuhan asasi
manusia. Sebab, ia menjadi jalan yang lazim untuk memperoleh pengetahuan
atau ilmu. Sedangkan ilmu akan menjadi unsur utama penopang
kehidupannya. Oleh karena itu, Islam tidak saja mewajibkan manusia untuk
menuntut ilmu, bahkan memberi dorongan serta arahan agar dengan ilmu
itu manusia dapat menemukan kebenaran hakiki dan mendayagunakan ilmunya
di atas jalan kebenaran itu. Rasulullah Saw bersabda, “Tuntutlah
oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah
pendekatan diri kepada Allah azza wa jalla, dan mengajarkannya kepada
orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu
akan menempatkan pemiliknya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Ilmu
adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat.” [HR. ar-Rabî’].
Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah SWT: “Allah
niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang
berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Dan Allah Maha mengetahui
terhadap apa yang kamu lakukan.” (Qs. al-Mujadalah: 11).
Asas Pendidikan Islam
Asas
pendidikan adalah aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata
ajaran dan metode pengajaran) yang diberlakukan oleh negara. Aqidah
Islam berkonsekuensi ketaatan pada syari’at Islam. Ini berarti tujuan,
pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan
ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila
tidak menghasilkan keterikatan pada syari’at Islam pada peserta didik,
walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pengetahuan.
Aqidah
Islam menjadi asas dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti semua ilmu
pengetahuan yang dikembangkan harus bersumber pada akidah Islam, karena
memang tidak semua ilmu pengetahuan lahir dari akidah Islam. Yang
dimaksud adalah, aqidah Islam harus dijadikan standar penilaian. Ilmu
pengetahuan yang bertentangan dengan aqidah Islam tidak boleh
dikembangkan dan diajarkan, kecuali untuk dijelaskan kesalahannya.
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis
yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian
Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim.
Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu
pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam.
Untuk
mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang
harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, yaitu:
- Menanamkan aqidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; aqidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
- Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki aqidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi aqidah yang diyakininya.
- Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam.
Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan
takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua
kategori, yaitu:
- Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an, tahfizh al-Qur’an, ulumul hadis, ushul fiqh, dll.
- Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai
ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam
mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya
sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan
penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut
sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri
penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki
keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis
serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu
tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana
penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai
fardhu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan
umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
Sistem Pendidikan Islam Yang Terpadu
Agar
keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat
sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya
terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus
memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi
antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral
harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas
menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur
tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur
tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya
pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan
menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti
terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada
saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai
yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan
sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang
diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari
tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum
yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan
Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan
bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain
muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara
terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam
dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara
bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik
berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada
tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan SD), penyusunan
struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan
merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah
itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan
ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya
anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya.
Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama,
saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Qur’an,
kemudian hapalkan kepadanya al-Quran…”
Di
tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan
secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme,
misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka
memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan
konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk
dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya
serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam,
kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal
di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya,
ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan
pendidikan.
Pendidikan Bagi Warga Negara Ahlu Dzimmi (Non-Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar