MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Senin, 23 Maret 2015

Gerakan Pemuda Indonesia Menuju Perubahan


 Bangkit unutk tetap Merdeka, Merdeka Pikiran, Merdeka Hati Nurani
(Islam Korban Persaan)


Bila kita amati dengan seksama setiap saat saat berita-berita di televisi, radio, atau media cetak dan on line, akan kondisi negara dan bangsa Indonesia sekarang, membuat panas dan gerah kehidupan masyarakat, yang semakin hari semakin menyesakkan dada oleh orang-orang yang hanya menuruti hawa nafsunya.

Para penegak hukum tak berdaya menghadapi sepak terjang para koruptor, para penegak hukum malah terlibat menyandera aparat negara dengan uang haram, pelecehan terhadap aparat dan alat-alat negara, jual-beli pasal di lembaga legislatif, gaya hidup hedonisme anggota  legislatif,...sangat menggeramkan. Kita dapat menyimpulkan bangsa Indonesia sedang diguncang berbagai kebobrokan moral yang semakin merajalela.    


Bila kebatilan sudah meluas, penindasan manusia terhadap manusia lain semakin menjadi-jadi, manusia semakin jauh dari kebenaran, dan bahkan terus berkembang dalam tipu daya duniawi, maka tunggulah kehancurannya. Fenomena ini hanya sebagian kecil dari kebobrokan yang terjadi sekarang ini.Membuat mata kita terbelalak karena sangat terkejut menyadari berlangsungnya segala kejadian yang dapat merobohkan bangunan kebangsaan kita. Semuanya berbau nista dan dusta. Akan sangat celaka jika kejadian-kejadian itu terus berlangsung. Allah Yang Mahakuasa tidak berkenan dengan hal-hal seperti itu. Semesta tentu berharap Allah Yang Maha Esa akan mengazab dan  menghancurkan durjana. Dalam kondisi seperti ini sangat diharapkan muncul generasi perubahan, membawa ummat pada cahaya Rabbnya. Besar harapan setiap kaum, Allah pun akan mengutus generasi perubahan yang berakal jernih,  berbudi pekerti luhur, dan berakhlak mulia. Generasi masa depan yang akan membawa ummat ke jalan terang.Mereka generasi yang dikehendaki Ilahi,yang senantiasa tegas, keras terhadap kemaksiatan, ketidakadilan, dan kedzaliman. Mereka pun selalu berkasih sayang terhadap orang tua yang tak berdaya, orang-orang tertindas, dan sesamanya, taat pada tuntunan Ilahi, dan tidak pernah takut kepada diktator, penguasa tirani. Berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, menghancurkan kebatilan, hingga hanya aturan Tuhan saja yang yang ditegakkan. Generasi yang diridhai Allah.     

Generasi ini pernah ada dan pernah mengukir sejarah dengan tinta emas di Indonesia. Kiprahnya sangat hebat dan menggemparkan dunia, begitu kata Bung Karno. Menjadi teladan yang patut dicontoh oleh generasi-generasi berikutnya.    

Generasi-generasi di setiap zamanpun selalu berganti seiring bergilirnya waktu, masa, zaman yang terus berlalu. Sekarang generasi-generasi pendahulu telah berlalu, generasi tangguh, unggul, dan mampu berkarya dengan idealisme yang kokoh dan tak pernah lekang oleh waktu tengah dinantikan. Sejarah bangsa yang semakin goyah ini membutuhkan tindakan brilian generasi muda perubahan, heroisme, gairah yang meledak-ledak, dan kreativitas tak terhingga ngejawantah dari jiwa mereka. Bung Karno pernah berkata bahwa dengan seratus pemuda di sekelilingnya ia bisa melakukan apapun bahkan menggeser gunung.Bung Karno menyadari bahwa "proposal" perubahan untuk masa depan selalu berada di tengah angkatan muda. Kita simak apa yang telah mereka lakukan bagi bangsa Indonesia di masa silam.Catatan sejarah membuktikan bahwa hampir segenap perubahan yang terjadi selalu berawal dari tangan kaum muda. Mulai dari sejarah kebangkitan intelektual di awal abad ke-20, Revolusi Kemerdekaan 1945, Amanat Penderitaan Rakyat 1966, hingga Reformasi 1998 yang berhasil memutus lintas estafet rezim otoriter yang sudah terlalu tambun dan membusuk di bawah tongkat komando Soeharto.

Perintis
    
Dimotori Rd. Tirto Adhi Soerjo, aktivis dan jurnalis muda, angkatan muda pada masanya memulai peranannya sebagai perintis pergerakan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada tahun 1904. Peran yang dilanjutkan dengan lahirnya Sjarikat Prijaji. Merupakan awal kebangkitan kesadaran nasional. Tirto adalah figur yang pertama kali berada di garis terdepan dalam menyuluh dan memimpin bangsanya.      Di sinilah revolusi kebudayaan pertama berawal yang menitkberatkan pada isu-isu pendidikan dan kesadaran kemanusiaan di kalangan para priyayi, para agamawan dan intelektual. Hingga tunas-tunas gagasan kemerdekaan tumbuh pada masa ini.    

Pramoedya Ananta Toer menyebut Rd. Tirto Adhi Soerjo sebagai Sang Pemula, ia orang pertama yang mendirikan organisasi modern di bumi Hindia-Belanda, yaitu Sjarikat Prijaji pada tahun 1906.Ia pun menjadi pelopor pers pribumi berbahasa Melayu, Medan Prijaji, pada tahun 1907. Melalui koran ini ia menyebarkan gagasan-gagasannya tentang kemanusiaan, tak ada perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa lain. Meskipun di Hindia kenyataannya lain. Bangsa pribumi dan bangsa asing non-Eropa berada dalam penindasan bangsa Belanda. Bukan terhadap Eropa saja ia bersikap keras. Terhadap kebudayaan Jawa yang feodal pun ia bersikap kritis. Karena mungkin feodalisme hanya akan membuat penjajahan tetap subur. Dengan itu ruang untuk kebebasan pun tergusur.

Boedi Oetomo

Tokoh-tokoh pemuda pada zamannya, Soetomo, Soeradji, Goenawan, dan kawan-kawan pernah menjadi pionir pergerakan pemuda di negri ini melalui organisasi pemuda Boedi Oetomo yang mereka dirikan. Mereka dalam menggerakkan kebangkitan nasional berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat saat itu tentang pentingnya kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda terhadap inlander di bumi pertiwi.

Tidak berlebihan kiranya jika momentum kebangkitan nasional yang terjadi 103 tahun lalu itu terus kita kenang setiap tahun pada tanggal 20 Mei sesuai dengan hari kelahiran Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Awal tumbuhnya kesadaran berbangsa; hari nasionalisme. Untuk menjaga nilai-nilai perjuangan di masa silam.    

Meskipun menurut Pramoedya Ananta Toer "Kebangkitan Nasional" yang disenapaskan dengan kelahiran Boedi Oetomo merupakan gerakan priyayi baru, karena kedudukan mereka yang didapat berkat pendidikan barat. Status sosial diperoleh berdasarkan kedudukan.Para priyayi selalu mencari ketertiban dan ketentraman dengan mengabdi pada pusat. Tetapi pusat mereka adalah pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang memberi nafkah. Sejak berdiri Boedi Oetomo menjauhkan diri dari kehidupan politik. Para priyayi seperti dikatakan Miert, beranggapan bahwa kehidupan politik yang bergelora disamakan dengan kekacauan, pemberontakan, kemelut. Sikap itu tidak sejalan dengan watak orang Jawa. Itulah yang membuat ruang sosial dan budaya dipilih sebagai wilayah gerak untuk menjaga ketertiban dan keserasian di Hindia-Belanda.Keadaan seperti itulah yang diinginkan kaum Ethis di awal abad ke-20. Harapan mereka sebagian terwujud dengan pendirian Boedi Oetomo, organisasi yang dianggap sebagai hasil karya pribumi yang telah mendapat pendidikan barat. Keadaan mereka pun tidak akan mengganggu kekuasaan pemerintah kolonial, karena Eropa adalah pusat yang telah berjasa. Budaya feodalpun dijaga. Tak ada perubahan sikap yang tegas dari Boedi Oetomo.

Gagasan Indonesia Merdeka
    
Pada saat Indische Partij didirikan nama Indonesia belum digunakan, namun telah menggagas nama dan masalah nasionlisme Hindia yang kelak berganti nama menjadi Indonesia. Nasionalisme yang digagasnya adalah "Hindia voor India", gagasan kemerdekaan paling awal. Sebuah kesadaran akan tanah air dan cita-cita membebaskan diri dari cengkraman penjajah. Karena gagasannya itu organisasi ini dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Para pemimpinnya, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat, yang sejak awal menolak tunduk, dan keras menentang pemerintah kolonial Hindia-Belanda, dibuang ke negri Belanda. Mungkin sikap menolak tunduk, tidak kompromis terhadap penjajah membuat Pramoedya Ananta Toer berpikir kalau organisasi ini benar-benar merefleksikan jiwa nasionalisme sesungguhnya : kemerdekaan.     

Rd. Tirto Adhi Soerjo dan Indische Partij mencerminkan kemerdekaan individu dan kelompok. Bebas dari cengkraman pihak lain. Tak ada artefak ketertundukan, kepatuhan, dan kebergantungan. Ingatan terhadap keduanya menyulut perlawanan dan pemberontakan. Tak pernah takut. Meskipun sadar tidak akan pernah menang.

Pemersatu Bangsa
Peristiwa penting berikutnya terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada titimangsa ini para pemuda bertekad untuk mempersatukan segenap penduduk pribumi di kepulauan Nusantara sebagai satu bangsa (Bangsa Indonesia), yang bertanah air satu (Kepulauan Indonesia), dan yang berbahasa satu (Bahasa Indonesia).     

Para pemudalah yang berinisiatif meletakkan dasar-dasar persatuan Indonesia, bukan angkatan tua. Kala peristiwa sejarah itu berlangsung di Jakarta, banyak orang tua, terutama yang bekerja sebagai pejabat di bawah asuhan pemerintah kolonial Hindia Belanda menganggap gerakan mereka sebagai gerakan anak-anak yang tak berarti.    

Sejarah kelak justru memperlihatkan bahwa gerakan mereka sangat berarti dan sangat mempengaruhi perkembangan masyarakat Indonesia. Sebab dengan menyatunya kesadaran berbangsa di kalangan angkatan muda, berbagai kekuatan kebudayaan yang sebelumnya masih terserak di tiap-tiap daerah dan etnik dapat disatukan. Keterpaduan kekuatan itulah yang berfungsi sebagai amunisi dalam mengikis rezim kolonial.

Pergerakan Kemerdekaan Indonesia
Meskipun sejarah lebih banyak memberi ruang bagi nama-nama angkatan tua, atmosfer panas di sekitar revolusi 1945, sejatinya turut diciptakan oleh aktivis-aktivis muda. Dalam Revoloesi Pemoeda (1988), Ben Anderson menegaskan aktivitas angkatan muda, menjadi faktor paling menentukan dalam perjuangan merebut kemerdekaan.     
Dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, pemimpin muncul dari kancah pergerakan yang menyulut semangat anak-anak muda terpelajar sejak di bangku kuliah, dipimpin oleh Soekarno, Hatta, Sjahrir, Soekirman, dan lain-lain. Konon Bung Karno Setiap sore dan pagi berdiskusi dengan kaum muda di pinggir atau di belakang Istana Negara. Akrab bercengkrama dan bersama dengan kaum muda berembuk tentang masa depan bangsa. Bung Karno tidak mau berdiskusi di dalam Istana Negara. Beliau senang di luar Istana karena akan lebih mudah akrab dan "bebas" membicarakan persoalan bangsa dengan kaum muda. Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia pasca kemerdekaan, tak luput dari riuh rendah pergerakan angkatan muda. Di sekitar pertengahan dekade 1960-an, kita membaca peran penting mahasiswa. Peran para mahasiswa tersebut bertujuan untuk menegakkan demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Pada tahun 1965 mahasiswa bergandeng tangan dengan tentara menggulingkan Soekarno, meskipun peran gerakan mereka itu akhirnya membantu berdirinya rezim yang berkuasa selama 32 tahun dan berlaku represif terhadap rakyatnya. Meninggalkan kesan pahit.     

Tetapi saat itu ada seorang mahasiswa, satu angkatan dengan Arief Rahman Hakim dan Akbar Tandjung, yang namanya mungkin tidak pernah tercatat dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Tidak seperti Arief Rahman Hakim, tidak pula mencuat menjadi sosok politisi sekaliber Akbar Tandjung. Pemikiran-pemikirannya tentang hak azasi manusia, penolakannya terhadap tirani, kegigihannya menegakkan kebenaran, dan berani mengatakan tidak pada banyak hal yang semestinya dikatakan tidak, menjadi "ruh" bagi pergerakan mahasiswa dekade berikutnya.    

Ia tidak memilih berdiri di atas mimbar atau memimpin aksi-aksi di jalan-jalan selayaknya seorang demonstran, ia lebih memilih menuangkan semua kegelisahannya melalui tulisan-tulisan. Tulisan-tulisan inilah yang kemudian menjadi "obor" bagi para mahasiswa. Beberapa pemikirannya bertebaran di berbagai media massa pada zamannya. Tulisan-tulisan tersebut sudah dibukukan dan diberi judul "Zaman Peralihan". Begitu juga tesis yang pernah ditulisnya, isinya menyuarakan tentang pergolakan pemikiran mahasiswa pada waktu itu, kini sudah dibukukan dengan judul "Di Bawah Lentera Merah". Sedangkan beberapa pemikiran dan idealismenya yang lain ditulis dalam "Orang-Orang Di Persimpangan". Lelaki ini bukan tokoh heroisme, melainkan sosok yang memberi banyak ruang kesadaran bahwa untuk sebuah kebenaran apapun harus diperjuangkan. Sebab menurutnya, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."     

Itulah sosok Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia angkatan 66 yang pemikiran-pemikirannya tertuang dalam buku "Catatan Seorang Demonstran". Buku yang diterbitkan ulang oleh LP3ES ini, telah diangkat menjadi film layar lebar "GIE" yang diproduksi Miles Film  Presents dengan sutradara Riri Reza dan bintang utama Nicholas Saputra.

Menurut Askur Rivai buku Catatan Seorang Demonstran merupakan buku inspirasi yang sangat kontekstual kehadirannya menjadi mistifikasi bukan saja bagi pergerakan mahasiswa. Tetapi juga bagi semua kalangan muda, kalangan akademisi, dan siapapun mereka yang membacanya. Para mahasiswa selalu merindukan sosok seperti Soe Hok Gie dan buku-bukunya yang sempat lenyap 10 tahun pada masa Orde Baru. Meski gerakan mahasiswa saat ini sudah beberbeda, sosok Soe Hok Gie tetap menjadi "jiwa" bagi setiap aktivis pergerakan mahasiswa. Sebab selain lebih dikenal kuat dengan pemikirannya, Soe Hok Gie, juga "arsitek" long march pergerakan mahasiswa angkatan 66.

Semangat perubahan yang meletup-letup hanya mengalir pada jiwa angkatan muda, yang kreatif, bangga diri, dengan semangat untuk bekerja dan berkarya, serta memiliki keberanian hidup. Bukan pada angkatan tua yang masih sibuk berbangga dengan mentalitas egoistik, mapan, dan korup.

Soe Hok Gie sempat menuliskan hal tersebut dalam catatan hariannya. Bagi satu dari sedikit aktivis muda yang terkenal jujur dan berani ini, angkatan tua dianggap telah mengkhianati amanat kemerdekaan. "Generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua...Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia." (Soe  Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1983). (Dewi : 2005).

Seperti Soe Hok Gie, Pramoedya Ananta Toer juga menyatakan bahwa angkatan tua tak ubahnya sebagai biang kerok kehancuran zaman. Kesimpulan tersebut ia cetuskan dengan lugas dalam novel  Larasati (2003). "Seluruh kehidupan yang enak  diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi." Karena itu, tak heran jika angkatan tua terutama para pejabat yang memegang tampuk kekuasaan, merasa tak nyaman dengan gerak-gerik para pemuda. Melalui segala cara, baik dengan tindakan represif maupun cara-cara yang jauh lebih keji,  mereka berupaya menghambat laju angkatan muda. Bagi mereka kaum muda yang tengah berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan adalah kaum yang hanya sibuk mengurusi hal-hal  tak berarti.

Kontrol Sosial
Benih kepemimpinan pada masa Orde Baru muncul dari dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, juga dari partai yang berkuasa, yaitu Golongan Karya, terutama kesempatan yang diberikan kepada para teknokrat.     

Pada era 1970-an gerakan mahasiswa bangkit kembali sebagai kelompok yang mengkritik kebijakan rezim Soeharto. Meskipun mereka hanya mengkritik kebijakan, tanpa menganalisa sistem kekuasaannya secara komprehensif. Gerakan moral mahasiswa tersebut memuncak pada tanggal 15 Januari 1974 yang dikenal dengan peristiwa "Malapetaka Lima Belas Januari " (Malari).    

Gerakan mahasiswa ini pun bergandengan mesra dengan tentara, gerakan mereka menjadi pion dalam pertarungan antar berbagai faksi di elite militer. Akhirnya gerakan tersebut dihabisi dengan penangkapan dan pemenjaraan terhadap para pemimpinnya. Pada tahun 1978, mahasiswa kembali bergerak. Kali ini dengan tuntutan yang lebih maju, menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Mereka pun belum berbicara mengenai sistem yang sebaiknya dibangun. Setelah kejadian itu Soeharto mengambil langkah untuk mensterilkan kampus dari semua kegiatan politik. Dewan mahasiswa dibubarkan, tidak boleh ada politik praktis di dalam kampus. Militer semakin kuat mencengkram kampus, kemudian terjadi pembredelan pers mahasiswa, pencekalan tokoh-tokoh kritis, dan pelarangan buku-buku.

Pemuda Revolusioner Peranan pemuda sangat penting di setiap perjuangan memajukan bangsa ini, tanpa mengabaikan peran dan perjuangan kelompok senior. Kontribusi pemuda sangat signifikan bahkan spektakuler. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Banyak gerakan di dunia ini dikomandoi kaum muda. Adalah Ernesto Rafael Guevara de la Serna (Che Guevara) yang hingga sekarang sosoknya masih menjadi ikon di kalangan pemuda di banyak negara.

Che lebih memilih hidup sebagai gerilyawan yang jauh dari nyaman; meskipun sebenarnya dia dapat memilih hidup dalam zona nyaman dengan gelar sarjana medis yang diraihnya. Dia berjuang di sejumlah negara Amerika Latin, seperti di Guatemala dan Cuba, memerangi rezim despotis di negara-negara tersebut. Sosok Che yang revolusioner tersebut menjadi inspirasi bagi banyak gerakan pemuda di dunia ini, termasuk di Indonesia.     

Kaum muda selalu digambarkan sebagai sosok yang revolusioner, seperti Che, berani mendobrak kemapanan, reformis, kritis idealis, independen, dan dinamis. Mereka tidak takut beraksi demi idealisme. Begitu juga dengan para pemuda Indonesia.  Bukan hanya kemerdekaan yang kita peroleh dari perjuangan para pemuda, tetapi juga sejumlah momentum, seperti peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), dan Gerakan Reformasi 1998 yang menjungkalkan rezim Soeharto setelah berkuasa penuh selama 32 tahun.    

Etos berpikir kaum muda sangat berharga bagi Indonesia di masa depan. Kemampuan kaum muda untuk memimpin Indonesia di masa depan menjadi harapan penting saat ini, melihat jalan masa depan Indonesia di tengah konstelasi global membutuhkan peran kaum muda yang progresif dan segar. Sangat diharapkan kaum muda membawa perubahan di masa depan. Kepemimpinan para pemuda Indonesia harus lahir secara otentik dan sejarah selalu membuktikan peran mereka. Sepak terjang para pemuda Indonesia dalam menegakkan idealisme dan cita-cita yang mereka miliki banyak diwakili golongan muda terpelajar. Namun dalam perjalanannya, kiprah kaum muda ini sering mengutub pada suatu masa dalam garis perjalanan sejarah. Sebagai contoh, di era Soeharto idealisme sebagian pemuda tergadaikan oleh rezim tersebut. Mereka lebih memilih melacurkan idealisme demi jabatan , kekuasaan, dan kepentingan kelompok atau pribadinya. Hal ini digambarkan sebagai momen di mana idealisme pemuda berhadapan dengan kebijakan golongan tua sebagai rezim berkuasa. Pemuda yang setelah berhasil mencapai tujuannya terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang dulu dikritiknya.Akibatnya status quo suatu rezim koruptif tidak tergoyahkan karena pemuda yang diharapkan menjadi revolusioner malah berada dalam pengaruh penguasa. Bahkan selanjutnya mereka menjadi pengganti dari penguasa sebelumnya yang ikut melestarikan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun para pemuda menjadi kaum reformis yang kembali berjuang mengenyahkan rezim tersebut, seperti kita lihat hasilnya Indonesia sekarang ini.

Kepemimpinan Reformis
    
Keberadaan kaum muda dalam politik sangat positif karena diharapkan mereka dapat merealisasikan idealisme yang dimiliki untuk kemajuan bangsa. Secara teori untuk kapabel dalam memimpin, ada tiga faktor penting yang harus dipenuhi, yaitu,intelektual, pengalaman, dan pengaruh. (Warlan : 2010).     

Pemimpin usia muda bukan halangan untuk menjalankan jabatan strategis meskipun secara pengalaman pemimpin dari angkatan tua lebih unggul. Tetapi bukan berarti kaum muda tidak bisa memimpin seperti kaum tua. Intelektual dan pengaruh kaum muda sama penting dalam memimpin dan menjalankan tugas demi negara dan bangsa.     Sebenarnya tradisi kepemimpinan politik anak muda di Indonesia telah tertoreh sejak masa pra-revolusi kemerdekaan. Sejumlah pemuda pelopor kemerdekaan seperti Soekarno yang memulai perjuangan politiknya sejak usia belasan tahun, Semaoen memimpin Syarikat Islam di usianya yang ke tujuh belas, dan lain-lain. Pada umumnya mereka adalah nama-nama besar dijagat politik Indonesia yang mampu memimpin organisasi perjuangan mengusir penjajah di masanya. Kokohnya budaya feodal masih menempatkan kekuasaan untuk dilayani ketika Indonesia merdeka. Tetapi beberapa pemimpin pergerakan seperti Hatta berhasil bertahan dalam faham serta praksis kekuasaan untuk melayani. Beberapa pemimpin lain larut kembali dalam budaya kekuasaan feodal. Sikap dan budaya kekuasaan demokrasi diperkuat oleh posisi pemimpin dan wakil rakyat. Mereka dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Pantas jika berorientasi dan bersetia kawan kepada rakyat banyak yang diwakili (misalnya dalam persoalan-persoalan kehidupan di bidang sosial ekonomi).Di samping mendambakan pemimpin Indonesia yang merakyat, kaum muda juga memimpikan pemimpin yang kuat, tegar, dan tak mudah menyerah kepada fakta permasalahan.Anton Lunardi (2008) mencoba melihat pemimpin Indonesia jangan hanya bisa berkampanye dan mengobral janji manis kepada masyarakat. Pemimpin Indonesia jangan hanya bisa memajang foto manis di koran-koran, iklan-iklan televisi bersama kaum miskin, atau dengan jargon simbolik yang terkadang menipu.

Dalam konteks ini, menarik yang diungkapkan Sutan Sjahrir, bahwa hidup yang tak dipertaruhkan, hidup yang tak dimenangkan. Karena pemuda dengan pencitraannya sebagai sosok reformis, kritis berani, dan idealis menjadi daya tarik untuk menjalankan kaderisasi calon pemimpin masa depan. Tetapi pada kenyataannya, kaum muda yang diberi posisi strategis sering berbenturan kepentingan dengan kebijakan kaum tua.    

Namun, kehadiran golongan muda di kancah politik nasional seakan terinterupsi pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Generasi tua yang enggan beranjak dari kekuasaan membuat regenerasi politik mandek untuk sekian lama. Meskipun beberapa orang dari angkatan muda menjadi mentri beberapa kali. Anak-anak muda periode 1970-1980-an yang melek politik habis dibabat aparat represif Orde Baru, mereka banyak yang terpental, dan akhirnya mencari sarana aktualisasi diri di wadah organisasi non-pemerintah atau hengkang ke luar negri meniti karier di profesinya masing-masing.  Dua belas tahun setelah reformasi digelar, bangsa ini menyaksikan begitu banyak partai politik didirikan , masih banyak orang lama yang bercokol di dalamnya. Dan semua seolah mendadak sadar posisi politik. Seseorang yang tak mungkin menjadi pejabat politik atau pejabat publik di era Soeharto, tiba-tiba di era reformasi menjadi serba mungkin.

Hitung-hitungan politik sangat liar. Akan cukupkah selama masa transisi ini mengubah budaya politik yang semula hanya didominasi kepemimpinan golongan tua menjadi mengakomodasi juga golongan muda?Krisis multidimensi yang dianggap muara dari kebijakan Orde Baru dalam menjalankan ideologi pembangunannya sudah terlalu lama menyeret negara kita ke jurang penderitaan. Situasi semakin parah ketika telah terjadi krisis moralitas dan kepercayaan. Kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat telah mengalami disorientasi.     
Pemimpin muda yang tampil dalam masa reformasi dan sepuluh tahun terakhir sebelumnya, suasana, dinamika, dan tak menentunya transisi reformasi mencari format yang stabil dan solid, ikut mempengaruhi masalah terciptanya suasana kondusif atau kurang kondusif bagi lahirnya kader-kader kepemimpinan. Padahal di Indonesia banyak anak muda pintar dan baik yang antre untuk berperan membangun dan memuliakan bangsanya, tetapi tidak diberi ruang. Akhirnya mereka berpikir dan mengaktualkan diri di sektor bisnis dan perusahaan-perusahaan asing karena mereka punya idealisme tetapi tidak tersalurkan. Momentum ini seharusnya menjadi pemicu untuk memberikan ruang bagi golongan muda.    

Sementara pegangan hidup berubah. Berlaku ekonomi pasar, bahkan ekonomi pasar liberal. Salah satu implikasinya yang negatif dan rumit, di tengah kemiskinan dan kekurangan rakyat banyak, berkembang subur pola hidup konsumerisme dan bergaya. Eksklusivisme dan primordialisme menyeruak, sedangkan kesadaran kolektif dinistakan, yang mengemuka di kalangan elite politik hanya kekuasaan dan kekayaan.

Para elite politik, pemimpin politik, dan pemegang kekuasaan dalam berbagai tingkatannya dihadapkan pada pilihan dilematis, memihak dan mengacu kepada kehidupan rakyat banyak atau kepada pola hidup bergaya dan berkonsumsi tinggi? Muncul sekaligus dalam keadaan ini kekuasaan sebagai kesempatan yang menggoda. Anarkisme telah memporak-porandakan kehidupan. Hukum, keadilan, dan kedaulatan rakyat telah runtuh. Cengkraman neokolonialisme dan imperialisme (nekolim) semakin membelenggu kedaulatan nasional dan jati diri bangsa, sehingga keterpurukan negara kita tidak terelakkan. Harapan terhadap hari depan semakin suram. Menghadapi situasi yang telah mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat, dan demi tercapainya cita-cita proklamasi kemerdekaan, dipandang perlu untuk segera dilaksanakan revolusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Permasalahan Kaderisasi Pemimpin Muda Kader pemimpin tak mungkin muncul dan tumbuh jika tidak subur pula hadir, berkembang, serta dihayatinya kualifikasi, kriteria, kemampuan, dan pilihan yang disengaja terhadap kepemimpinan politik itu.      Kaderisasi sering berujung gagal,melenceng, tidak berhasil melahirkan sosok pemimpin muda idealis yang memegang visi dan misi kebangsaan.

Akibatnya sejumlah pemimpin muda yang punya jabatan strategis tersangkut dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini karena organisasi yang tidak merencanakan sumber daya manusia yang baik. Konsekuensinya, proses demokrasi yang berlangsung akan bersifat semu, tidak sepenuh hati. Sehingga kaderisasi yang melibatkan kaum muda pun sifatnya menjadi coba-coba.    

Regenerasi diharapkan bukan sebatas  anak usia muda  yang muncul, tetapi muda dan cerdas, berpikiran maju sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Kaum muda menjadi inisiator, pemimpin, sekaligus nakhoda tangguh...

Sekarang ini dikhawatirkan  kaum muda semakin apatis dengan dunia politik, tampak dari krisis regenerasi kepemimpinan politik dari kalangan generasi muda. Di samping itu menilai sense kaum muda untuk membicarakan gejolak politik semakin menjauh. Kaum muda diklaim banyak terlibat dalam gejolak budaya pop, terasing dari hiruk-pikuk politik praktis.Kekhawatiran itu memang layak karena dalam gerak sejarah Indonesia, kaum muda selalu memainkan peran kunci dalam gerak transisi kebangsaan. Sejak era kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, kaum muda menjadi kunci terhapusnya imperialisme dan otoritarianisme kekuasaan. Kaum muda dengan jiwa idealismenya selalu berada di garda depan dalam membela nasionalisme dan tanah tumpah darah Indonesia. Tak salah kalau Pramoedya Ananta Toer pernah berujar, "...Ya, yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda..."     

Tantangan yang dihadapi pemuda sekarang sangat berbeda dengan pemuda terdahulu. Dulu tantangannya banyak yang bersifat fisik dan konkrit, mudah tampak dan mudah dihadapi. Solusi untuk menghadapi tantangan sekarang, adalah dengan memperkuat jati diri pemuda, membentengi diri dengan meningkatkan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.     
Masalah yang juga serius dihadapi para pemuda adalah terkontaminasinya pribadi mereka oleh budaya yang tak jelas asal-usulnya. Sebagian pemuda ingin hidup hedonis, ingin hidup senang-senang, dengan cara instant. Korupsi yang membudaya, sebenarnya tidak berakar dalam budaya kita. Di masa silam, di Jawa Timur pernah ada ratu yang adil dan jujur, menghukum anaknya sendiri, akibat anak itu berani mengambil harta orang lain. Kisah keteladanan seperti ini,saat sekarang jarang didengar para pemuda Indonesia. Para pemuda Indonesia sekarang ini, berada di tengah-tengah tarik menarik antar berbagai kekuatan. Di satu pihak, mereka ditarik kekuatan yang mengajak untuk berpikir dan bersikap liberal, dan menjadi lebih liberal dari negara yang mengintrodusir faham liberal itu sendiri. Di lain pihak, mereka ditarik dengan cara berpikir dan bersikap secara radikal,dan menjadi lebih radikal dari negara-negara yang diklaim sebagai pengekspor faham radikalisme.Di sinilah kesulitan yang dihadapi para pemuda Indonesia, seharusnya kita bisa tumbuh dari budaya sendiri, dengan budaya itulah kita bisa membangun bangsa ke depan. Yang sekarang dibangun adalah demokrasi, karena belum ada ideologi alternatif yang lebih baik daripada membangun demokrasi. Tetapi hal ini bukan merupakan satu-satunya jalan ke luar, atau satu-satunya solusi yang bagus bagi para pemuda Indonesia.     

Generasi muda harus rela bekerja keras tampil ke depan dengan semangat kebangsaan, semangat kebersamaan, dan semangat perjuangan seperti diperlihatkan generasi muda pada zaman dahulu. Tidak hidup bermewah-mewah dan mencari jalan pintas untuk memperoleh sesuatu.    

Di masa depan, kesempatan bagi para pemuda untuk berperan  membangun dan memajukan bangsa sesungguhnya sangat banyak dan terbuka luas. Dengan keahlian masing-masing para pemuda dapat berkiprah melalui organisasi kemasyarakatan pemuda, lembaga pendidikan, melakukan riset, aktif di cabang-cabang olah raga, kesenian, semuanya dapat mengalihkan perhatian para pemuda dari rayuan pop kultural. Semua harus dilakukan dengan keahlian tinggi, sehingga kita dapat bermain di gelanggang global, tidak hanya menjadi jago kandang. Untuk itu kesempatan bagi para pemuda Indonesia yang ingin berkreasi dan berinovasi harus dibuka selebar mungkin. Pemberian mediasi dan motivasi, agar pemuda berprestasi perlu digalakan di mana-mana. Melihat potensi kecerdasan, kemampuan, dan bila memiliki arena, para pemuda berpeluang untuk merekonstruksi. Organisasi kemasyarakatan pemuda merupakan salah satu arena yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk mengembangkan, mengaktualisasikan diri yang kemudian merekonstruksi pemikiran-pemikiran yang lebih relevan untuk melakukan perubahan di Indonesia.Banyak tugas yang harus diemban para pemuda Indonesia saat ini, yaitu melakukan revolusi kebudayaan, pemikiran, cara pandang, dan sikap mental dalam  membangun kembali Indonesia yang berdaulat dan bermartabat.

Peran Mahasiswa
    
Peran kaum intelektual, termasuk mahasiswa, dalam perubahan sosial adalah kompleks dan penting, tetapi tidak selalu menentukan. Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, sebagian besar kaum intelektual berdampingan dengan gerakan demokrasi dan nasionalis melawan kolonialisme, kediktatoran, atau rezim fasis. Dukungan mereka terhadap gerakan revolusi sosial bersifat tidak kekal, bertentangan, dan terbatas.     
Bagaimana seharusnya gerakan mahasiswa kini, di tengah buasnya perang neoimperialisme dan neoliberalisme yang semakin menyerang rakyat. Belajar dari sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, menyusun agenda perjuangan ke depan merupakan hal yang paling penting. Artinya gerakan mahasiswa membutuhkan konsepsi ideologis sebagai panduan gerak dan persatuan dengan rakyat tertindas. Ketika rakyat tertindas berteriak, hancurkan belenggu penindasan! Sang penindas akan berbicara tentang menjaga ketertiban umum. Di situlah mahasiswa bergerak, berjuang membebaskan rakyat dari rantai penindasan.     Dalam sejarah demokrasi kita, mahasiswa selalu mengambil prakarsa dan menjadi motor penggerak demokrasi terlebih di alam reformasi ini, mahasiswa lebih memiliki ruang gerak sangat luas dan bebas untuk dapat mengekspresikan semua pendapatnya. Mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual selalu berpikir dan bertindak kritis dalam menyikapi setiap persoalan bangsa. Terlepas ada tidaknya pihak-pihak yang selalu mengambil keuntungan dari setiap gerakan mahasiswa yang dipicu oleh jeritan rakyat yang sudah sangat menderita, dan pantas mendapat dukungan.Mahasiswa diharapkan selalu waspada, tidak kebablasan dan tidak terpeleset ke dalam "nafsu mudanya". Selalu dinamis, idealis, kritis, dan selalu ingin melangkah lebih maju, diharapkan dapat berpikir lebih jernih dan melangkah lebih bijak, sehingga dapat selalu mengendalikan diri dalam setiap gerakannya.     

Kaum muda perlu merumuskan strategi arah masa depan Indonesia. Mereka yang sedang bergelora dan bergejolak nalar politiknya harus mampu merangkai bunga rampai pemikiran dengan bebas dan memihak. Mereka terkesan "bebas" memberontak terhadap fakta pemimpin Indonesia yang kadang elitis, kebal hukum, dan jauh dari kesusahan rakyat. Mereka yang tampak "memihak" karena mereka tidak rela kalau kaum kecil marginal tidak dibela hak dan martabatnya oleh para pemimpin.    

Indonesia sedang membutuhkan sosok sejuk yang bisa menjaga roh kebangsaan di tengah balutan krisi yang tak kunjung usai. Hadirnya sosok-sosok muda progresif, yang oleh banyak kalangan dinilai bersifat akan menjernihkan kembali spirit perjuangan kaum muda untuk membangun Indonesia. Pemimpin Indonesia harus mereka yang berjiwa muda, bersemangat kaum muda, bersemangat untuk terus melakukan perubahan. Angkatan muda yang berprestasi gemilang dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, jangan sekali-kali mengendurkan semangat dan keberanian untuk memperjuangkan perubahan. Tak sedikit anak muda yang makin terjerembab dalam kubangan kedangkalan pola pikir dan tingkah laku, semangat dan keberaniannya membeku, bermental kerdil, tak berorientasi, tak bersikap mandiri, berotak tumpul, dan impoten untuk soal-soal kreativitas, sehingga dikhawatirkan akan mundurnya peradaban... (*)



hari ini, Barangkali Joko Widodo presiden Indonesia yang didorong PDI Perjuangan dan sejumlah purnawiran jenderal sudah dapat dikategorikan ke dalam golongan yang dengan sengaja mempermainkan perasaan umat Muslim.

Jokowi entah mengapa terlihat jelas sangat takut menghadapi stigma bahwa dirinya bukan muslim yang baik. Untuk membuktikan dirinya adalah seorang muslim, Jokowi dan para pendukungnya ramai-ramai menyebarkan bukti-bukti yang memperlihatkan kealiman dan kesungguhan Jokowi dalam memeluk agama Islam.

Foto-foto yang memperlihatkan ia dan keluarganya berfoto di halaman Masjid Al Haram, Makkah Al Mukarramah, dengan latar belakang Rumah Allah Kabah, beredar luas di tengah masyarakat. Juga foto-foto yang memperlihatkan ia memimpin shalat jemaah.

Bahkan pernah ada cerita yang dibesar-besarkan tentang kekaguman salah seorang pemimpin ormas muslim terhadap keislaman Jokowi. Ketua ormas muslim ini bahkan disebutkan terkagum-kagum dengan bacaan shalat Jokowi yang panjang dan fasih.

Awalnya, hanya segelitir orang yang mengira Jokowi terlalu khawatir dianggap bukan muslim yang baik. Sampai, pada saat dekalrasi kampanye pilpres damai beberapa waktu lalu dia dengan terang-terangan memperlihatkan kekhawatirannya itu.

Di sisi lain, secara terpisah, Dutabesar Palestina untuk Indonesia, Fariz N Mehdawi, mengakui bahwa Indonesia memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap isu kemerdekaan Palestina sejak dahulu. Komitmen yang sangat kuat ini dimiliki baik pemerintah maupun masyarakat sipil.

Di mata Dubes Fariz, dukungan dan komitmen Indonesia pada Palestina yang merdeka dan berdaulat itu tidak pernah berubah dan senantiasa kuat sejak era Pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Dubes Fariz juga menyampaikan harapan agar isu Palestina tidak dipolitisir dan menjadi kontroversi. Dia ingin isu Palestina menjadi pemersatu masyarakat Indonesia.

Dia juga menyebutkan salah satu pihak di luar pemerintah yang mendukung kemerdekaan Palestina adalah Partai Gerindra. Partai yang didirikan Prabowo Subianto ini pernah memberikan donasi senilai Rp 500 juta ketika Palestina diinvasi Israel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar