MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Senin, 23 Maret 2015

Optimisme Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia

Optimisme Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia

"Ulil tampak bersemangat menguraikan perubahan politik Islam yang merayakan euforia demokrasi di negara-negara Muslim, “Saya mulai dari Erdogan (Perdana Menteri Turki) yang partainya juga berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Saat Erdogan berkunjung ke Mesir di bulan September, ia mengatakan kepada bangsa Mesir, “Wahai bangsa Mesir, kalian harus mengadopsi sekularisme di dalam tubuh Mesir”.” Ulil pun meyakinkan kepada hadirin bahwa perubahan-perubahan tersebut adalah fenomena yang menarik. Betapa tidak, partai yang bisa dibilang PKS-nya Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), memberi anjuran kepada bangsa Mesir untuk mengadopsi sekularisme. Kemudian Ulil juga mengutip pernyataan Rashid Ghannoushi ketika ia memenangkan pemilu di Tunisia. Pemimpin Partai An-Nahdhah tersebut mengatakan, “Wahai bangsa Tunisia, jangan takut kepada partai Islam, karena setelah menangnya Partai An-Nahdhah ini, kami tidak akan melarang perempuan-perempuan yang berbikini di pantai. Pantai-pantai yang di dalamnya banyak perempuan berbikini, tidak akan kami tutup. Dan orang-orang atheis, orang-orang yang tidak beragama, tidak akan diusir dari Tunisia.” Ulil juga memperlihatkan contoh lain, “Ketika PKS Mesir (Partai Kebebasan dan Keadilan) menang Pemilu, mereka juga menyatakan bahwa partainya menjunjung nilai-nilai kebebasan, demokrasi, masyarakat sipil dan sebagainya.”


Gerakan pembaruan pemikiran Islam Indonesia terlahir karena keyakinan atas spirit of progress di dalam Islam. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Islam menghargai rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Dalam hal inilah Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) lahir sebagai wadah bagi pemikir-pemikir Islam Indonesia yang memiliki roh semangat kemajuan dan pembaruan.” Demikian Neng Dara Afifah selaku Dewan Pengarah KEMI memberikan kata sambutan untuk diskusi dan peluncuran buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia di UIN Jakarta, Rabu 13 Desember 2011.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi pelabuhan terakhir dalam rangka roadshow diskusi dan peluncuran buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia yang sebelumnya telah dilakukan di tiga kota di Indonesia yaitu Padang, Malang, dan Makassar. Acara ini diinisiasi oleh Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) yang embrionya berkembang sejak pertengahan 2010 dan makin tersistematisasi mulai awal Januari 2011 lalu. Dalam acara yang menjadi puncak dari serangkaian kegiatan KEMI tersebut, tampil dua narasumber, Ali Munhanif, Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Jakarta, dan Ioanes Rakhmat, Kritikus agama dari Kristen. Dalam acara ini turut hadir pula para cendekiawan dan akademisi Muslim yang tergabung dalam KEMI dari generasi yang senior sampai yang lebih muda. Mereka di antaranya, M. Dawam Rahardjo, Zainun Kamal, Kautsar Azhari-Noer, Budhy Munawar-Rachman, Neng Dara Affiah, Ulil Abshar-Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, Novriantoni Kahar, dan sebagainya.

Jika menilik daftar hadir, acara ini mendapat sambutan yang sangat antusias bukan saja dari civitas akademik UIN Jakarta melainkan beberapa kampus dan masyarakat lainnya. Peserta membludak mencapai empat ratusan, sehingga lebih dari separuhnya tidak mendapat tempat duduk. Mereka terdiri dari mahasiswa, dosen, aktivis serta pemuka Ormas membanjiri Aula Student Center UIN Jakarta, bahkan sebelum acara tersebut dimulai.

Sebelum narasumber menyampaikan presentasinya, Luthfi Assyaukanie, salah satu Peneliti pada Freedom Institute yang dalam kesempatan itu bertindak sebagai pimpinan diskusi, memberikan beberapa catatan penting mengenai pembaruan pemikiran Islam di Indonesia sepanjang sejarahnya. “Gerakan pembaruan pemikiran Islam Indonesia relatif berhasil dan memiliki karakter yang berbeda dari gerakan pembaruan Islam di negara lain” papar Luthfi.

“Karakter umumnya, gerakan tersebut dilakukan secara berjamaah di negeri ini. Di samping itu, tokoh-tokohnya melakukan misi pembaruan melalui organisasi-organisasi besar tempat mereka bereksistensi. Misalnya Abdurrahman Wahid melalui NU, Syafii Ma’arif dengan Muhammadiyah kemudian Nurcholis Madjid dalam HMI dan Paramadina. Melalui gerbong besar yang dimilikinya, para pembaru tersebut kemudian menuai banyak dukungan dari jemaahnya. Karakter seperti inilah yang tidak dimiliki oleh gerakan pembaruan Islam di luar Indonesia,” demikan Luthfi menegaskan kebanggaannya akan strategi yang digunakan para pembaharu Muslim di Indonesia.
“Semangat pembaruan pemikiran Islam Indonesia akarnya bisa kita rujuk jauh ke belakang, sampai kini di usianya yang telah memasuki empat puluh tahun,” ungkap Ali Munhanif yang saat itu menjadi pembicara pertama. Lantas Ali Munhanif yang merupakan ketua jurusan Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah tersebut menilik kembali gerakan pembaruan Islam Indonesia selama dekade 1970-an, ketika generasi Islam pada masa itu memiliki ghirah intelektual bernaskan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan rasionalitas. “Mereka mengedepankan Islam sebagai landasan moral kehidupan tanpa jatuh pada penguakan Islam sebagai ideologi dan identitas politik,” tandas Ali Munhanif.

Selanjutnya Ali Munhanif kembali mengingatkan peserta akan sosok Nurcholis Madjid, yang pernah mendapat julukan sebagai Natsir muda, ketika Cak Nur melontarkan gagasan mengenai kebutuhan mendesak umat Islam akan pembaruan dan liberalisasi pemikiran Islam. Gagasan pembaruannya merentang dari aspek teologis hingga politik. Ali Munhanif menegaskan bahwa diktum “Islam Yes, Partai Islam No” yang diwacanakan oleh Cak Nur adalah dimensi politis pembaruan Islam di Indonesia. Menurutnya, pembaruan yang diusung oleh Nurcholis Madjid merupakan gerak pembaruan dalam rangka delegitimasi Islam politik. Ali Munhanif juga menambahkan bahwa usaha pembaruan Cak Nur bisa kita tempatkan sebagai redefinisi hubungan Islam dan politik dalam kerangka negara modern.

Gerakan pembaruan yang diusung oleh Nurcholis Madjid dan para intelektual muda Islam lainnya menyumbangkan diskursus intelektual pemikiran Islam. Bahkan gaungnya masih bisa dirasakan hingga sekarang. Selaku Direktur PPIM, Ali Munhanif menilai bahwa dewasa ini ada usaha untuk memilihara dan mengaplikasikan gagasan-gagasan yang telah diwacanakan generasi pembaruan tahun 1970-an. Pada level akademis, misalnya, kita bisa merujuk aras pemikiran Bachtiar Effendi, Saiful Mujani, Lutfie Assyaukanie, Abdul Moqsith Ghazali dan sebagainya. Sedangkan pada level advokasi dan pergerakan, kita bisa mencontohkan semangat yang diusung The Wahid Institute, Jaringan Islam Liberal (JIL), Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), bahkan forum-forum diskusi.

“Tetapi,” masih menurut Ali Munhanif, “satu hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan pembaruan pemikiran Islam Indonesia adalah sejauh mana gerakan-gerakan pembaruan sesudah masa Nurcholis Madjid mampu merespon tantangan yang diberikan oleh para demagog berwajah konservatisme, revivalisme dan radikalisme agama.” Ali Munhanif pun menyebut tantangan yang datang dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang memberikan label haram terhadap konsep sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Atau, kelompok-kelompok Islam pecinta kekerasan, semisal Front Pembela Islam (FPI) dan sejenisnya.

Sebagai salah satu dosen Ilmu Politik di UIN Jakarta, Ali Munhanif mengingatkan pentingnya keterlibatan politik bagi agen-agen pembaru pemikiran Islam pada level kebijakan pemerintah manakala trend negara yang mulai bersikap tidak netral terhadap hak dan kebebasan individu seperti sekarang ini. Memang, ini adalah hal mendesak yang harus kita perhatikan, mengingat banyaknya undang-undang bermuatan pasal karet yang bisa dimanipulasi kalangan radikal untuk menjustifikasi tindakan anarki yang kerap mereka lakukan terhadap kalangan minoritas. Sebut saja kasus kekerasan yang menimpa Ahmadiyah. Dengan sendirinya kita bisa melihat betapa kekerasan yang dialami jemaat Ahmadiyah pada beberapa kasus, semisal kasus Cikeusik, merupakan pelanggaran HAM yang justru seharusnya oleh pemerintah diberikan perlakuan serius agar tanpa terkecuali hak dan kebebasan setiap warga terjamin dan terlindungi. Namun, alih-alih mendapat perlindungan hukum dari negara, Ahmadiyah justru harus menanggung beberapa ketidak-adilan karena dikenai pasal yang menganggap mereka sebagai kalangan yang menodai agama.

Kasus Ahmadiyah hanya sedikit bukti yang memperlihatkan gejala ketak-beresan kebijakan pemerintah dalam menindak-lanjuti persoalan kekerasan atas nama agama. Jauh di belahan bumi Indonesia lainnya, kasus-kasus serupa kerap dialami kaum minoritas di daerah-daerah yang tak terjangkau oleh perhatian pemerintah. Oleh sebab itu, penegasan Ali Munhanif mengenai pentingnya keterlibatan dalam dunia politik agar dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, memang memerlukan perhatian yang cukup besar dari para pembaharu Muslim mulai detik ini.

Diskusi menjadi semakin hangat manakala Ioanes Rakhmat mendapat kesempatan menuangkan kegelisahannya sebagai pembicara kedua. Pada awal pembicaraannya, Ioanes Rakhmat yang selama ini dikenal sebagai mantan pendeta yang sangat kritis terhadap doktrin-doktrin Kristiani, menyampaikan pengalaman cukup menarik ketika ia menceritakan kepada temannya bahwa dirinya dipercaya sebagai narasumber pada acara launching buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia. Ada semacam tanggapan dan harapan positif dari kawannya itu mengenai kelahiran kembali gerakan pembaruan pemikiran Islam Indonesia melalui buku ini. Harapan tersebut mengemuka lewat sebuah pertanyaan, Apakah umat Kristen bisa menuai kehidupan yang lebih baik di Indonesia melalui kehadiran sebuah gerakan Islam yang lebih ramah terhadap perbedaan? Bagi Ioanes Rakhmat, pertanyaan tersebut mengemuka oleh sebab merebaknya gerakan-gerakan konservatif Islam yang memiliki pretensi negatif terhadap berlangsungnya kerukunan antar-umat beragama di Indonesia, terutama antara Islam dan Kristen. Oleh karenanya, masih menurut Ioanes, kebebasan berpikir, sikap terbuka, dan orientasi pada kemajuan ditambah pengakuan terhadap hak dan kebebasan individu, mesti menjadi visi sekaligus misi pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Karena melalui visi dan misi tersebut eksistensi gerakan pembaruan bisa ditunjukkan.

Meskipun, pada kesempatan itu Ioanes Rakhmat juga mengakui bahwa gagasan tersebut bukanlah gagasan yang benar-benar baru. Menurutnya, the idea of progress yang jika kita tarik dari sudut pandang sejarah, sudah tertuang dalam traktat-traktat filsafat sejak masa pencerahan pada abad 18 Masehi.

Yang unik adalah, sambung Ioanes Rakhmat, the idea of progress masa pencerahan diadopsi oleh pemikir-pemikir Muslim sedari mencari landasan teologisnya. Sementara bagi para pemikir pencerahan, ide tersebut justru dipakai sebagai bentuk perlawanan terhadap doktrin agama. Jika para pembaharu Muslim mencoba membawa gagasan-gagasan sekular, misalnya demokrasi, untuk menemukan bentuk ide yang lebih bernafaskan Islam, lain halnya dengan para pemikir Abad Pencerahan yang menyeret ide mereka keluar dari gagasan teologis.
Bagi Ioanes Rakhmat, menjadi sebuah kehormatan tersendiri ketika ia dilibatkan sebagai pembicara dalam diskusi dan peluncuran buku ini. Sebagai satu-satunya pembicara yang berasal dari kalangan Kristen dalam rangkaian diskusi dan peluncuran buku yang diselenggarakan KEMI, Ioanes Rakhmat mengapresiasi gagasan-gagasan pembaruan pemikiran Islam Indonesia yang tertuang dalam buku tersebut. Menurutnya, nilai-nilai yang termaktub dalam buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia perlu diaplikasikan dan disebarluaskan dalam rangka menumbuhkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mantan pendeta Kristen dan dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta itu juga mengatakan bahwa ide-ide dari para pembaharu pemikiran Islam Indonesia berkorelasi positif dengan kondisi kemajemukan Indonesia.

Lebih lanjut Ioanes Rakhmat mengatakan bahwa buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia yang memuat sembilan belas tulisan dari para pemikir Islam Indonesia kontemporer menawarkan pelbagai model pembaruan dari berbagai perspektif. Di samping itu, dalam buku tersebut kita bisa menemukan aspek historis pembaruan pemikiran Islam hingga aspek pilihan metodologi penafsiran al-Quran. Gagasan pemihakan terhadap kaum perempuan juga mendapat perhatian dalam buku itu.

Ioanes Rakhmat di akhir pemaparannya memberikan catatan yang serupa dengan pembicara pertama, Ali Munhanif. Kritikus Kisten itu melemparkan sebuah pertanyaan,
“Apakah pembaruan Islam bisa berhasil?” Sebab, jika kita merujuk pada kasus penerapan Perda-perda Syariah yang mulai menjamur, disertai oleh tindak kekerasan atas nama agama belakangan ini, mengemuka banyak keheranan, mengapa wajah Islam Indonesia semakin didominasi kalangan konservatif. Padahal, gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia terus mengalir demikian deras.

Bagi Iones Rahmat, masalahnya ada pada metodologi yang digunakan oleh para pembaharu Muslim. Selama ini, sambung Ioanes Rakhmat, para pembaharu Muslim belum memiliki metode yang rigid dalam menegaskan kontribusinya untuk kehidupan masyarakat Muslim. Yang dapat dijumpai orang sementara ini hanyalah metodologi untuk menafsirkan teks al-Quran semata. Sementara, gerakan konsevatif telah merangsek lebih jauh sampai pada wilayah politik. Karena itu, Ioanes Rakhmat berharap gerakan pembaruan yang digerakkan dalam forum ini pun bisa terjun ke dalam dunia politik untuk mengimbangi agresivitas politik Islam garis keras.

Seusai narasumber memberikan presentasinya, disediakan sesi khusus bagi beberapa intelektual Muslim yang hadir dalam diskusi tersebut, di antaranya M. Dawam Rahardjo, untuk menanggapi tema yang tengah diperbincangkan. Menguatnya radikalisme dan penerapan Perda-perda Syariah menjadi tantangan tersendiri bagi para pembaharu Muslim di Indonesia. “Di satu sisi, gagasan pembaruan pemikiran Islam ditentang, dicegah bahkan diharamkan. Di sisi lain, kita kaya dengan produksi buku dan kajian, tapi miskin pemikiran,” ungkap Dawam Rahardjo. Dawam Rahardjo mengingatkan pentingnya pemikiran Islam yang komprehensif untuk menguatkan wacana keislaman yang sudah kaya. Bagi Ketua Dewan Pengarah KEMI ini, pemikiran berbeda dengan wacana Islam. Jika wacana sekadar merespon dan mengkritisi bahkan mendekonstruksi Islam, lain halnya pemikiran Islam yang justru membangun secara kukuh argumentasi keislaman tentang isu-isu kontemporer dari sumber-sumber utama (al-Quran dan hadits).

Menurutnya, gerakan fundamentalisme relatif berhasil karena mereka memiliki dasar pemikiran yang kuat dan sistematis, sedangkan kebanyakan dari para pembaharu hanya melakukan wacana kritis tanpa doktrin pemikiran Islam yang mendalam. Seharusnya, menurut Dawam Rahardjo, saat inilah para pembaharu Islam mengembangkan pemikiran yang lebih sistematis dan komprehensif. Kemudian, dari sanalah dapat dikembangkan wacana melalui pembuatan berbagai tesis dan disertasi atasnya, setelah itu diteruskan ke dalam proses perundang-undangan atau pelembagaan yang pada akhirnya bisa berdampak pada pengelolaan sumber daya dan perubahan sosial.

Sementara Zainun Kamal yang juga diberi kesempatan untuk menanggapi diskusi menyampaikan kekecewaannya terhadap kedua pembicara yang mendukung agar pembaruan digiring ke arah politik. “Misi Islam sejatinya adalah meraih tradisi intelektual dan moral, bukan politik,” tukas Zainun. Analisa atasnya dipaparkan Dekan Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah ini, “Islam justru akan hancur manakala terkontaminasi oleh unsur politik.” Ia menggambarkan kekalutan situasi Islam pasca Muhammad tiada. Pada masa itu Islam pecah menjadi beberapa aliran karena persoalan siapa yang pantas memimpin kekhalifahan pasca wafatnya Muhammad.

Begitu pula di Indonesia, Islam dikotak-kotakkan ke dalam partai-partai politik Islam, sehingga kerap kehilangan jati dirinya. Oleh sebab itu, menanggapi Ioanes Rakhmat, Zainun Kamal menyatakan bahwa kita tidak membutuhkan partai Islam baru yang bisa mengembangkan gagasan pembaruan. Sebab, kita bisa berkaca dari partai-partai Islam yang sudah ada yang kesemuanya bisa dikatakan gagal dan mengecewakan dalam mengartikulasikan kebutuhan masyarakat pada umumnya.

Ketika diberi kesempatan untuk memberi tanggapan atas diskusi, Budhy Munawar-Rachman yang juga merupakan salah satu Dewan Pengarah KEMI, masuk pada persoalan yang lebih mendasar. Ia berangkat dari sebuah pertanyaan, “Mungkinkah memikirkan atau mendekati agama, dalam hal ini Islam, hanya sebatas menggunakan nalar?” Karena, menurutnya, selama ini para pembaharu atau pemikir-pemikir Islam selalu dibayang-bayangi oleh persoalan otentisitas, yakni bagaimana pemikiran mereka bisa diangap otentik menurut ajaran Islam.

Namun dalam kesempatan ini, berbeda dengan Dawam Rahardjo yang cenderung muram sehingga selalu menyuguhkan problematika dan tantangan pembaruan pemikiran Islam, Budhy cukup optimis terhadap gerakan pembaruan yang dilakukan generasi sesudah Cak Nur, yang menurutnya cukup berhasil dengan mengembangkan pemikiran Islam melalui kajian atau studi Islam. Untuk mempertegas optimismenya, Budhy menyertakan pidato Amin Abdullah dalam Konferensi Studi Islam International ACIS XI yang berlangsung di Pangkal Pinang (12/10/2011) yang menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran dalam dunia pemikiran Islam, salah satunya bisa dilihat dari perkembangan studi Islam yang dilakukan di perguruan tinggi semisal STAIN, IAIN, dan UIN, yang mulai melampaui apa yang sebelumnya disebut sebagai ulumuddin (ilmu-ilmu agama), yang berakar dari pemikiran tradisional, menjadi fikrul Islam (pemikiran Islam) atau studi Islam sebagaimana yang dikembangkan Harun Nasution dalam “Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya.” Dalam buku ini Harun Nasution memulai dengan memanfaatkan beragam metode kontemporer. Hal seperti inilah yang kemudian berkembang sehingga pemikiran Islam di lingkungan perguruan tinggi Islam tidak gagap memanfaatkan pisau analisis hermeneutika, studi gender, dsb.

Tanggapan terakhir dalam diskusi disampaikan Ulil Abshar-Abdalla. Ulil mengkategorikan dua model pembaruan, yakni pembaruan dalam jalur pemikiran dan pembaruan melalui aksi. Menurutnya, kedua jenis pembaruan tersebut memiliki kepentingan dan urgensi tersendiri. Model pertama bisa dilihat melalui pembaruan yang dilakukan oleh Cak Nur. Sebab itulah, menurut Ulil, yang paling menonjol dari Cak Nur adalah pembaruan dalam segi tafakur fi al-diin, pemikiran tentang agama.

Namun, masih menurut Ulil, pembaruan dari sektor politik penting pula dipertimbangkan. Karena melalui sektor ini, pembaruan dapat dilakukan secara lebih efektif. Untuk konteks Indonesia, Ulil memberikan apresiasinya terhadap kalangan-kalangan yang bekerja melalui lembaga-lembaga politik seperti PKS. Menurutnya, kontribusi orang-orang yang terlibat melalui jalur ini pun cukup besar dalam membawa beberapa perubahan. Pada kesempatan tersebut, Ulil merujukkan optimismenya terhadap fenomena kemenangan salah satu partai Islamis di Mesir, yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin, yang menggunakan kata kebebasan sebagai nama partainya (Partai Kebebasan dan Keadilan/Freedom and Justice Party). Menurut Ulil, “Ini merupakan sebuah pencerahan, manakala kelompok yang kerap dikategorikan sebagai kelompok radikal mulai menyadari pentingnya dimensi kebebasan yang sebelumnya selalu diatributkan pada kalangan yang bergelut dalam liberalisasi pemikiran. Atau, pernyataan-pernyataan politik yang disampaikan tokoh-tokoh yang bergerak dalam bidang ini dari berbagai negara Muslim yang sudah melewati proses yang sama dengan Mesir.”

Ulil tampak bersemangat menguraikan perubahan politik Islam yang merayakan euforia demokrasi di negara-negara Muslim, “Saya mulai dari Erdogan (Perdana Menteri Turki) yang partainya juga berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Saat Erdogan berkunjung ke Mesir di bulan September, ia mengatakan kepada bangsa Mesir, “Wahai bangsa Mesir, kalian harus mengadopsi sekularisme di dalam tubuh Mesir”.” Ulil pun meyakinkan kepada hadirin bahwa perubahan-perubahan tersebut adalah fenomena yang menarik. Betapa tidak, partai yang bisa dibilang PKS-nya Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), memberi anjuran kepada bangsa Mesir untuk mengadopsi sekularisme. Kemudian Ulil juga mengutip pernyataan Rashid Ghannoushi ketika ia memenangkan pemilu di Tunisia. Pemimpin Partai An-Nahdhah tersebut mengatakan, “Wahai bangsa Tunisia, jangan takut kepada partai Islam, karena setelah menangnya Partai An-Nahdhah ini, kami tidak akan melarang perempuan-perempuan yang berbikini di pantai. Pantai-pantai yang di dalamnya banyak perempuan berbikini, tidak akan kami tutup. Dan orang-orang atheis, orang-orang yang tidak beragama, tidak akan diusir dari Tunisia.” Ulil juga memperlihatkan contoh lain, “Ketika PKS Mesir (Partai Kebebasan dan Keadilan) menang Pemilu, mereka juga menyatakan bahwa partainya menjunjung nilai-nilai kebebasan, demokrasi, masyarakat sipil dan sebagainya.”

Jadi, menurut Ulil, fenomena-fenomena yang mengemuka di berbagai negara Muslim ini tidak bisa dilepaskan dari kontribusi orang-orang yang terlibat dalam sektor politik. “Karena itu,” sambung Ulil, “orang-orang yang terlibat dalam sektor ini juga perlu dimasukkan sebagai bagian dari tradisi pembaruan.”

Di samping itu, Ulil juga menyatakan setuju terhadap pandangan Zainun Kamal yang menyatakan bahwa Islam akan hancur karena politik. Tetapi menurut Ulil, politik yang bisa menghancurkan itu adalah politik yang bernuansa sektarian. Adapun politik yang non-sektarian, Ulil meyakini, justru memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mengembangkan kehidupan umat Islam dewasa ini. (Alif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar