MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Senin, 13 April 2015

0inShare Abad Homo Homini Lupus Telah Kembali



1328168475671895684 Dr Sam Ratulangie (1890 – 1949)  memperkenalkan motto-nya yang hebat dalam Bahasa Tombulu di Minahasa “Si Tou Timou Tumou Tou” yang artinya: manusia hidup untuk menghidupi manusia. Manusia lain adalah sesama, bukan sesuatu. Bukan ‘I-It’. Driyarkara pernah mengatakan “manusia adalah kawan bagi sesama”. Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia sosialitas ini (homo homini socius, manusia sahabat bagi manusia). Bila kita gabungkan kedua filsafat tersebut, maka kita mendapatkan “Aku ada untuk Engkau!” Kita juga bisa  merujuk pemikiran Martin Buber (1878 – 1965) tentang relasi “I – Thou”. Bagi  orang Jawa, relasi antarsesama itu menjadi bermakna karena merasa diri diuwongke, yang berarti: dimanusiakan, dihargai, dianggap ada bahkan dianggap penting. 
 Relasi manusia yang saling menghidupkan, bukan saling menghapus atau memusnahkan. 



Ide dasar homo homini socius ini  mengkritik dengan amat tegas, mengoreksi, dan memperbaiki secara normatif maupun periferal apa yang ditelaah sebagai sosialitas premanis, yaitu sosialitas yang saling  memangsa dan saling membenci bahkan saling ‘menerkam’ antar manusia. Manusia lain adalah mangsa yang harus ditiadakan. Bukan sekadar saingan, bukan pula asal sebagai lawan tanding. Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesama. Plautus Asinaria (495 M) dengan penekanan khas menyebut tendensi liar ke-maha-binatang-an dalam relas sosial itu dengan kata-kata yang sama tapi dengan penekanan pada kata ’serigala’, sahutnya: “lupus est homo homini” yang artinya ‘manusia adalah serigala (nya) manusia’. Manusia bukan hanya serigala (yang buas) BAGI manusia lain, tetapi juga jatidiri serigala menjadi milik manusia satu terhadap lainnya. Walau secara lebih halus Seneca dengan alim hanya menyebut ‘manusia itu penuh rahasia (bukan misteri) bagi manusia lain’.

Di abad modern filsuf  Thomas Hobbes dari  Inggris (1588 - 1679) menilai bahwa negara dibutuhkan perannya yang besar dan amat penting agar mampu mencegah adanya “homo homini lupus”. Hobbes memunculkan teori ini karena di masanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga perlu adanya peran negara untuk mencegah ini. Rupa-rupanya kita harus tidak usah malu lagi mengakui bahwa kini kekuatiran Hobbes tentang era bengis tanpa ‘ber-peri-kemanusia-an’ namun penuh peri ke-binatang-an itu rupa-rupanya telah kembali di dunia, khususnya di Indonesia.

Tanpa mengecilkan era homo homini lupus di abad ultra modern ini yang terus melanda mulai dari semenanjung Irak, Libia beberapa waktu lalu dan kini berhembus di Suriah sampai ke gurun-gurun Afganistan-Pakistan, mari kita tenggok apa yang baru saja terjadi di ‘coloseum’ pertandingan Liga Primer Mesir.  Rabu, 1 Februari 2011 waktu setempat, 11 orang pemain pilihan oleh masing-masing pelatih masuk lapangan hijau. Sorak-sorai pendukung kedua klub yaitu Al-Masry dan Al-Ahly bergemuruh. Pluit sepakan bola dimulai. Aman, seru dan tercipta skor akhir 3-1 untuk tuan rumah, Al-Masry. Yang terjadi bukan jabat-tangan atau peluk cium sportif antar pemain, pun bagusnya antar supporter jika perlu. Suporter Al-Masry, yang tragisnya adalah tuan rumah dan pemenang pertandingan itu justru berubah menjadi seperti lupus-lupus harus darah dan binal. Lebih liar dari singa di Coloseum Romanum sebab mereka di stadion bebas makan-minum seenak perut. Mereka berlaku layaknya seperti singa lapar mangsa yaitu  saingan olahraga bola kaki itu dan harus yang menerkam pemain, supporter pun pengurus tim tamu itu. Mangsa memangsa manusia sesama pemain, suporter dan pengurus klub terkapar dan tumbang tak bernyawa (untuk sementara?) 74 jiwa seperti singa petarung yang kalah dan 140-an lainnya layaknya seperti serigala terluka parah kena tembakan pemburu amatir: luka-luka parah diserang oleh suporter tuan rumah.! Pun tuan rumah itu sudah menang dan puas biasanya. Namun ternyata kepuasana hasil pertandingan olahragawi itu tidak cukup, sebab kepuasan naluri ke-binatang-an rupanya belum tersalurkan. Adegan ngeri yang tidak patut ditonton bukan hanya oleh anak-anak, pun setiap manusia. Sungguh tidak ubahnya era latih-tanding bunuh atau dibunuh lawan dalam Coloseum Romanum di abad pertarungan menyelamatkan nyawa hewan atau manusia di abad primitif namun disangka amat klasik. Classic berarti ber-kelas atau punya kelas-nya tersendiri. Seperti musik klasik yang berbeda taste mahalnya daripada musik asal-asalan bunyi dan nyaringnya. Jangan pikir classic itu sama dengan kuno, sebab kuno bisa mahal dan manusiawi. Tapi nafsu ala lupus betul-betul arti manusia kuno sebenar-benarnya. Ini kuno yang maha murah. Manusia berburu binatang buas, Singa, atau binatang berburu daging manusia. Nyawa bukan urusan singa di Coloseum. Pun di liga itu nyawa bukan yang penting. Jiwa ke-serigala-an yang utama. Jiwa serigala tanpa rasa dosa dan perikemanusiaan. Liga resmi sepak bola Mesir menasbihkan era naluri serigala pada manusia bukan cuma pelengkap kemanusiaan, melainkan seperti klaim Plautus ‘manusia adalah serigalanya manusia (lain)’. Manusia modern dan postmodern sekalipun tidak ubah manusia era Coloseum. Presiden FIFA, Sepp Blater hanya bisa omong bahwa inilah salah satu awan paling kelam per bola-sepak-an dunia.

Cerita kelam termuhtahir yang terjadi di ‘coloseum’ lapangan bola Mesir sehari lalu itu bagi bangsa Indonesia mungkin saat ini bisa dinilai tidak lagi fantastis dan mengagetkan bagi sebagian masyarakat kita. Mungkin bisa dianggap ‘biasa’ atau tidak peristiwa buas lagi. Tivi dan media massa tidak pernah kehabisan cerita buas, lebih buas dan mahabuas sejenis dari seantero penjuru negari. Pun banyak media mainstream amat bangga dengan liputan kriminalis dan tayangan sub-human saling bunuh dan menyiksa. Di Bima, Lampung, Palu dan puluhan tempat dari pelosok negeri makmur ini terus terjadi manusia mengejar manusia, seperti serigala lapar memangsa bayi serigala yang mungil dan lugu.

Negara menurut Thomas Hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Kegagalan negara menyebabkan antara warga negara bukan lagi merasa dan berlaku antar sahabat, tetangga, kolega atau sosialita akrab se-manusiawi lagi. Manusia memangsa manusia. Polisi memangsa pengunjuk rasa dengan pentongan atau ujung senjata, pun tak jarang dengan peluru panas dari senjata. Tanah diserobot paksa. Tanah atau nyawa. Nyawa lebih sering lebih murah dan gratis daripada tanah. Tidak ada jika atau prasyarat lain bagi si lemah. Jika mengharapkan syarat maka taruhannya adalah jiwa melayang. Toch seperti serigala memangsa kijang tidak pernah pikir kijangnya marah atau tidak.  Ini terjadi di era milenium termodern. Tapi jiwanya seperti masa coloseum romanum. Jiwa penuh serakah, irasional dan memalukan di zaman begitu nampak serba mulia mengagungkan kemanusiaan. Pun era penuh LSM-LSM kemanusiaan bertabur seperti banyaknya pasir di pantai.


Negeri ini lucu, mengaku modern tapi yang terjadi adalah jiwa negeri yang ganas dan binal seperti serigala per serigala. Siapa kuat dia menang, siapa lemah mati dan berkubang sampai tertinggal tulang kering sebagai warisan nama untuk anak cucu.Namun kita mungkin tidak akan heran dan sedih jika ada anak-anak negeri di pelosok nusantara saling mematikan ala perseturuan antar serigala. Toch, di tingkat petinggi negeri terus saja menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang dan pengaruh. Hanya demi kekuasaan antar partai saling memangsa, lebih ganas dari singa lain kali. Hanya demi uang semua keroyokan dan kerusuhan penuh dendam mematikan. Demi pengaruh dan kepentingan partai satu ingin mematikan partai lain dengan cara-cara sub-human: memaki seperti tidak pernah didik orang tua maupun guru, menghardik seperti anak TK dan saling fitnah, lebih pedas rasanya daripada tusukan sebilah pisau. Semua menjadi berisik seperti seriga-serigala lapar, mengaum-gaum terus karena lapar uang. Menjerit karena saling menggigit. Gigitan penuh bisa. Bisa para lupus, serigala.

Namun serigala-serigala modern dalam saling memburu mangsa masing-masing lebih sering tampil manis seperti angsa hitam yang gemulai bersahabat dan menarik atau laksana tingkah simpatik si merpati penuh setia. Lihai dan cerdik seperti serigala. Selalu tahu cara jitu menghindar dari terkaman lawan, pun harus menginjak-injak martabat jelata-jelata negeri ini. Serigala berantem, anak-anak negeri mati atau tercerai piatu yang tidak lama mati sendirian. Dengan cara apapun akhirnya toch nampak sama dan sepikiran saja: aling buru-memburu. Cegat-mencegat. Tidak sekadar bertetangga yang saling hobi berisiki satu terhadap lainnya. Semua ingin bilang kuburu kau sampai akhir hayat. Semua diliputi naluri binatang: dendam dan harus mengalahkan lawan. Memenangi adalah dengan cara mematikan. Tidak perlu cara lain, pun sebenarnya lulusan diplomasi doktoral atau profesor. Tidak ada cara dan pilihan lebih waras sebab aku bukan orang waras. Itu karena aku serigala bagimu. Almarhum Driyarkara dan Dr. Sam Ratulangi-pun mati bersama filsafat mereka. Rupa-rupanya bangsa ini memang lebih enak disebut bangsa serigala saja..!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar