MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Senin, 13 April 2015

PEMIKIRAN ILMIAH (sebuah pengantar)

    TRADISI PEMIKIRAN ILMIAH: YUNANI KUNO, ABAD PERTENGAHAN, MASA KEKHILAFAHAN, RENAISSANCE DAN AUFKLAERUNG, ZAMAN MODERN, DAN ZAMAN KONTEMPORER (sebuah pengantar)


    A. Zaman Yunani Kuno
    Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi. Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya.

    Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk “melahirkan” pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya. Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang bijaksana dan berapengetahuan”), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Karena itu dia didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.


    Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu . Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir (“panta rei” = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya. Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).

    B. Zaman Pertengahan
    Filsafat Barat Abad Pertengahan (476 – 1492) juga dapat dikatakan sebagai “abad gelap”. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah: cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja, berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles, dan berfilsafat dengan pertolongan Augustinus dan lain-lain.

     Masa abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik.
     Istilah Patristik berasal dari kata latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama kristen. Di dunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggukanakan falsafat Yunani dan memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat Tuhan. Yang terkenal Tertulianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430), yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei). Berdasarkan ajaran Neo-Plaonisi da Stoa, ajarannya meliputi pengetahuan, tata dalam alam. Bukti adanya Tuhan, tentang manusia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah. Periode ini ditandai oleh bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet dan para pengarang Gereja. Dunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, beserta etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkannya maka mereka menggunakan Filsafat Yunani dan mengembangkannya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat tentang Tuhan (Burhanuddin, 2003: 191).
    Akal pada Abad Pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan jelas pada Filsafat Plotinus, Agustinus, Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dan kerena itu filsafatnya mendapat kritikan. Sebagaimana telah dikatakan, Abad Pertengahan merupakan dominasi akal yang hampir seratus persen pada Zaman Yunani sebelumnya, terutama pada Zaman Sofis.

    Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan bukan untuk dipahami melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu tujuan dari filsafat adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting, mempelajarinya merupakan usaha mubadzir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena Simplicius salah seorang pemikir zaman Plotinus, telah menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak. Karena iman harus menang mutlak orang-orang yang masiih menghidupkan filsafat (akal) harus dimusuhi. Maka pada tahun 415 M, Hypatia seorang yang terpelajar ahli filsafat pada zaman Aristoteles dibunuh. Tahun 529 M Kaisar Justianus mengeluarkan Undang-Undang yang melarang Filsafat.

    Ciri khas Filsafat Abad pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu Credo Ut Intelligam, yang berarti iman terlebih dahulu setelah itu mengerti. Sedangkan kelemahan dalam Filsafat Kristen pada Abad Pertengahan itu adalah sifatnya yang terlalu yakin terhadap penafsiran teks kitab suci. Penafsiran sebanarnya tidak lebih berarti dari pada sekedar filsafat juga. Jadi penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya, tidak absolut. Karena filosof pada zaman itu rata-rata menjabat sebagai orang suci (Saint), maka filsafat mereka menempati pengertian agama yang absolut dalam dirinya. Tokoh-Tokoh Filsafat Pada Zaman Patristik adalah Augustinus, Anselmus, Thomas Aquinas,

    Pengertian umum tentang zaman pertengahan yang berkaitan dengan perkembangan pengetahuan ialah suatu periode panjang yang dimulai dari jatuhnya kekaisaran Romawi Barat tahun 476 M hingga timbulnya Renaisance di Italia. Zaman ini ditandai dengan pengaruh yang cukup besar dari agama Katolik terhadap kekaisaran dan perkembangan kebudayaan pada saat itu. Orang Romawi sibuk dengan masalah keagamaan tanpa memperhatikan masalah duniawi dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sejak jatuhnya kekaisaran Romawi Barat hingga kira-kira abad ke-10, di Eropa tidak ada kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan yang spektakuler yang dapat dikemukakan dan di sebut abad kegelapan. Menjelang berakhirnya abad tengah, ada kemajuan-kemajuan yang tampak dalam masyarakat berupa penemuan-penemuan.

    C.    Zaman Kekhilafahan
    Berbeda dengan keaadan di Eropa, di dunia Islam pada masa yang sama justru malah mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Montgomery Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europa (1994) sebagaimana dikutip Kusman Sadik (2011: 31) menyatakan “peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi motornya, kondisi barat tidak akan ada artinya”.

    Bukti perkembangan tradisi pemikiran ilmiah pada masa kekhilafahan Islam dapat dilihat dari sarana dan prasarana pendidikan yang telah maju pada zamannya. Terdapat Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Ada pula Madrasah An-Nuriah yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Muhammad Nuruddin Zanky. Pada abad ke-10, di Andalusia terdapat 20 perpustakaan umum, diantaranya yang terkenal adalah perpustakaan Cordova yang saat itu memiliki tidak kurang 400 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul buku, Perpustakaan Umum Tripoli di Syam, yang pernah dibakar pasukan Salib Eropa, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Bandingkan dengan perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encyclopedia, hanya memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku (Sadik, 2011: 31). Jonathan Bloom dan Sheila Blair dalam bukunya Islam: A Thousand Years of Faith and Power (2002) sebagaimana dikutip Kusman Sadik (2011: 32) menyatakan bahwa “rata-rata tingkat kemampuan literasi (membaca dan menulis) di dunia Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa”.

    Tokoh-tokoh yang terkenal memberi dasar pada kemajuan tradisi pemikiran ilmiah, sains dan teknologi pada masa kekhilafahan Islam, diantaranya Imam Syafi’I yang menurut Imam Al-Mawardi karyanya mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiki, adab, dan lain-lain. Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dengan kitabnya Al-Musnad. Selain itu, terdapat cendekiawan bidang sains yang disegani di dunia barat yaitu Ibnu Sina (dikalangan ilmuwan Barat dikenal dengan nama Avicenna). Karyanya yang sangat terkenal Al-Qanun fi ath-Thibb, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Canon of Medicine merupakan tujukan bidang kedokteran dunia selama berabad-abad. Di dalam kitabnya, ia menulis ensiklopedia jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Karya lainnya adalah Kitab Asy-Syifa yang terdiri dari 18 jilid dan dikenal di dunia kedokteran modern sebagai ensiklopedia filosofi kedokteran (Sadik, 2011: 32). Kemudian, Al-Biruni, yang oleh saintis Barat, George Sarton (Introduction to the History of Science, 1927), dikategorikan sebagai ilmuwan terhebat sepanjang zaman. John J O’Connor dan Edmund F Robertson dalam bukunya History of Mathematics, menyebutkan bahwa Al-Biruni telah berkontribusi penting dalam geodesi dan geografi karena dialah yang pertama kali memperkenalkan teknik mengukur jarak di bumi menggunakan metode triangulasi. Dalam kitabnya, Al-Jawahir atau Book of Precious Stones, al-Biruni menjelaskan beragam mineral dan mengklasifikasikannya berdasarkan warna, bau, kekerasan, kepadatan serta beratnya. Al-Biruni merupakan ilmuwan Muslim pertama yang mengemukakan bahwa kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara.

    Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Menurut catatan sejarah, 1000 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, seorang ilmuwan Muslim abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas tersebut, yaitu al-Kindi. Dalam kitabnya, Al-Falsafah al-Ula, al-Kindi mengemukakan bahwa fisik bumi dan seluruh fenomena fisik bumi (waktu, ruang, gerakan, dan benda) semuanya relatif dan tidak absolute. Ia berbeda dengan Galileo, dan Descartes yang menanggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolute. Teori Einstein tentang relativitas yang dipublikasikan dalam La Relativite banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Kindi.

    Ilmuwan Muslim lainnya yang memajukan tradisi pemikiran ilmiah pada masa keemasan Islam adalah al-Khawarizmi yang terkenal dengan kitab monumentalnya, al-Maqalah fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabilah, yang versi terjemahan bahasa Inggrisnya adalah The Compendious Book on Calcuation By Completion and Balancing. Melalui kitabnya ini, al-Khawarizmi telah meletakkan dasar cabang Matematika modern yakni Aljabar (Algebra). Carl B. Boyer dalam bukunya The Arabic Hegemony: A History of Mathematics, mengungkapkan bahwa kitab Al-Jabr karya al-Khawarizmi itu telah menguraikan perhitungan yang lengkap dalam memecahkan akar positif polynomial persamaan sampai dengan derajat kedua.

    Perkembangan dunia sains juga dipelopori oleh al-Haitham atau Alhazen. Penelitiannya mengenai cahaya telah memberikan dasar penting kepada saintis Barat yaitu Boger, Bacon, dan Kepler dalam penciptaan mikroskop serta teleskop. Adapun Jabir Ibnu Hayyan atau di Barat dikenal dengan nama Geber merupakan peletak dasar ilmu kimia modern.Sepuluh abad sebelum ahli kimia barat John Dalton mencetuskan teori molekul kimia, Jabir Ibnu Hayyan (721 M-815 M) telah menemukannya pada abad ke-8, kitabnya yang berjudul Al-Kimya atau versi terjemahannya The Book of Composition Aichemy, telah menjadi rujukan di berbagai universitas Eropa selama ratusan tahun. Berkat jasa Jabir, ilmu pengetahuan modern bisa mengenal asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam nitrat, asam asetat, teknik distilasi dan teknik kritalisasi.

    Perkembangan pemikiran filsafat di era kekhilafahan Islam dimulai dari seorang tokoh yang bernama Al-Kindi yang merupakan orang arab keturunan Qahtan. Kedudukan Al-Kindi diakui oleh ahli sehrah pemikiran Ibnu An-Nadlim, sebagai salah seorang tokoh agung pada zamannya bahkan dinobatkan sebagai filosuf arab pertama (Maghfur, 2002: 66). Mendalamnya pengetahuan Al-Kindi Nampak dari karya-karyanya yang telah dikumpulkan oleh An-Nadlim sebanyak 241 topik, dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 18 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik, dan sebagainya. Karya monumental Al-Kindi di bidang filsafat adalah Kitab Ila al-Mu;tashim Billah fi al-falsafah al-Ula 

    Sepeninggal Al-Kindi pada tahun 260 H/873 M, muncul nama besar lainnya dalam sejarah filsafat Islam yaitu Al-Farabi. Al-farabi merupakan filosuf muslim kedua setelah Al-Kindi. Al-Farabi anak seorang njenderal pada masa Abbasiyah yang lahir di Farab Transoxiana. Dari kampungnya Al-Farabi menuju Baghdad yang terkenal pada masa itu sebagai pusat studi sains. Karya-karya al-Farabi sebanyak 128 buah, dalam bidang logika sebanyak 36 buah. Karya monumental Al-Farabi diantaranya Kitab Al-Qiyas, Tawti’ah fi al-Mantiq. Seperti halnya Al-Kindi, al-Farabi juga telah melakukan kompromi antara agama dengan filsafat.

    Setelah Al-Farabi yang meninggal pada 339 H/951 M di damaskus, muncul filosuf lain yaitu Ibu Sina (370H/980 M). Ibnu Sina memiliki karya sebanyak 276 Kitab, namun menurut Al-Badawi yang tersisa saat ini hanya 17 buah antara lain yang terkenal al-Syifa’, yang terdiri dari empat bagian, yaitu logika, matematika, fisika, dan metafisika. Secara umum, kecenderungan filsafat Ibnu Sina tidak juah beda dengan al-Farabi. Keduanya berusaha untuk mengintegrasikan pandangan kefilsafatan dengan agama. Ibnu Sina meninggal dalam usia 58 tahun pada hari Jum’at pertama Ramadhan tahun 428 H/1049 M (Maghfur, 2002: 75).

    Sepeninggal Ibnu Sina, muncul filosuf muslim yang mengembangkan tradisi pemikiran filsafat Islam di Barat yakni Ibnu Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), oleh Ibnu an-Nadlim disebut sebagai tokoh sentral filsafat Islam di Barat. Ibnu Bajjah sezaman dengan al-Ghazali. Menurut Ibnu Tufayl dalam pengantar Risalah Hayyi bin Yaqzan, yang menyatakan bahwa di Andalusia (Spanyol) belum pernah ada orang yang berpengetahuan  lebih mendalam, sahih dan jujur dari segi periwayatannya dalam bidang filsafat selain Ibnu Bajjah. Saat ini karya Ibnu Bajjah yang telah didaftar oleh Oxford meliputi 29 judul, antara lain: Maqalat al-Sama’ awa al-Tabi’I. Filsafat Ibnu Bajjah banyak dipengaruhi unsur Platonisme dibanding Aristoteleanisme (Maghfur, 2002: 82).

    Filosuf muslim Barat kedua adalah Ibnu Tufayl. Beliau lahir di Granada sekitar 506 H/1123 M. Setelah itu muncul generasi setelahnya yakni Ibnu Rusyd pada tahun 520 H/1137 M atau 15 tahun setelah wafatnya al-Ghazali. Serta masih banyak lagi pemikir atau filosuf muslim lainnya yang pernah dilahirkan pada masa keemasan peradaban Islam (masa Kekhilafahan). Pengakuan jujur para peneliti telah menjadi bukti akan kemajuan tradisi berpikir ilmiah pada masa kekhilafahan Islam, sebagaimana John J.O’Connor dan Edmund F. Robertson (1999) menulis dalam MacTutor History of Mathematics Archive: Recent research paints a new picture of the debt that we owe to Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought to have been brilliant new conceptions due to Europen mathamatichians of the sixteenth,seventeenth and eighteenth centuries are now known to have been developed by Arabic/Islamic mathamatichians around four centuries earlier. (Penelitian terkini memberikan gambaran yang baru pada hutang yang telah diberikan matematika Islam pada kita. Dapat dipastikan bahwa banyak ide yang sebelumnya kita anggap merupakan konsep-konsep brilian matematikawan Eropa pada abad 15, 17 dan 18 ternyata telah dikembangakan oleh matematikawan Arab/Islam kira-kira empat abad lebih awal) (Amhar: 2011: 48)

    Will Durant juga menulis dalam The Story of Civilization IV: The Age of  Faith: Chemistry as a science was almost created by the moslems; for in this field. Where the Geeks (so far as we know) were confined to industrial experience and vague hypothesis, the sarancens. Introduced precise observation, controlled experiment, and careful records.They invented and named the alembic (al-anbiq). Chemicall analyzed innumerable substances, composed lapidaries distinguished alkalis and acids, investigated their affinities,studied and manufactured hundreds of drugs. alchemy ,which the moslems inherited from Egypt, contributed to Chemistry by a thousand,which was the most scientific of all medival operations. (Kimia adalah ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh kaum muslim. Saat dalam bidang ini orang-orang Yunani tidak memiliki pengalaman industri dan hanya memberikan hipotesis yang meragukan, para ilmuwan Muslim mengantarkan pada mengamatan teliti, eksperimen terkontrol dan catatan yang hati-hati. Mereka menemukan dan memberi nama alembic (al-anbic), menganalisis substansi yang tak terhitung banyaknya, membedakan alkali dan asam, menyelidiki kemiripannya, mempelajari dan memproduksi ratusan jenis obat. Alkimia yang diwarisi kaum muslim dari mesir menyumbangkan untuk kimia ribuan penemuan incidental, dari metodenya, yang paling ilmiah dari seluru kegiatan pada zaman pertangahan) (Amhar, 2011: 48).

    D. Zaman Renaissance
    Kata Renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaisance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman ketika orang merasa telah dilahirkan kembali dalam keadaban. Zaman ini merupakan era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Manusia pasa zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran bebas, seperti pada zaman Yunani Kuno.
    Gejala-gejala kebangkitan kembali pemikiran bebas telah mulai tampak pada abad ke-12M dan merupakan dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Kebangkitan ilmu pengetahuan ini dipelopori oleh beberapa orang biarawan yang menuntut ilmu di Spanyol, kemudian menyebarkan kebeberapa tempat di Eropa. Menurut Slamet Iman Santosa (1977:65) perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman Renaissance mempunyai tiga sumber, yaitu: (1) adanya hubungan dengan kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan negara-nagara Perancis. (2) Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali. (3) jatuhnya Istanbul ke tangan bangsa Turki (1453).
    Kabangkitan ilmu pengetahuan pada zaman Renaisance ditandai dengan timbulnya pemikiran dari tokoh-tokoh terkenal seperti: Nicolas Copernicus, Tycho Brahe, Johannes Kepler, Galileo Galilei, dan Francis Bacon.

    Disamping perkembangan di bidang ilmu pengetahuan alam, pada zaman Renaisance juga terdapat perkembangan di bidang ilmu negara, sekalipun puncaknya baru terdapat pada awal abad ke-17, yaitu dari Hugo de Groot (1583-1645) dengan gagasannya tentang hukum internasional. Orang yang merintis suatu perkembangan besar pada abad ke-17 adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia dapat dipandang sebagai orang yang meletakkan dasar-dasarr bagi metode induksi yang modern, dan menjadi pelopor dalam usaha mensistemalisasi secara logis prosedur ilmiah.

    E. Zaman Modern
    Pada masa ini muncul pemikir-pemikir yang mendorong cara pendekatann yang sama sekali baru terhadap masalah-masalah manusia, seperti rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sementara, aliran empirisme berpendapat bahwa empiri ata pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman batiniah maupun lahiriah.
    Mulai saat zaman modern, teknologi mendapat arti baru sebagai applied scince (Ilmu terapan). Ditemukannya mesin uap oleh James Watt mendorong tercetusnya Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18. Tokoh yangmemberikan sumbangan pada masa modern adalah Rene Descartes (1596-1650) merupakan tokoh yang amat mendewakan rasio dan terkenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Decrates, langkah-langkah berpikir terdiri dari empat hal, (1) tidak menerima apa pun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini sendiri bahwa itu memang benar, (2) memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaiannya, (3) berpikir runtut dengan mulai dari hal yang paling rumit, (4) perincian yang lengkap dan pemeriksaan yang menyeluruh diperlukan supaya tidak ada yang terlupakan dari permasalahan yang dikaji (Mustansyir, 2001: 81-82). Tokoh-tokoh yang lain adalah Isaac Newton (1643-1727) yakni dalam bidang ilmu fisika, dan matematika, J.J. Thompson sebagai penemu electron, Darwin menyumbangkan teori evolusi serta tokoh-tokoh lainnya.

    Muncul pemikiran positivisme pada abad ke-19 yang dikemukakan oleh Auguste Comte (1798-1857). Pemikiran ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang diluar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisis, ilmiah atau positif. Zaman teologis, orang mengarahkan rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan terakhir segala sesuatu. Zaman metafisis , kekuatan-kekuatan adikodrati hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian yang dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus. Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha untuk mencapaii pengetahuan yang mutlak. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kasamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akal. Menurut Comte ilmu pasti adalah dasar segala filsafat.

    G. Zaman Kontemporer
    Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman kontemporer berkembang dengan sangat cepat. Masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dan berbagai macam penemuan-penemuannya. Penemuan dan penciptaan terjadi silih berganti dan makin sering. Informasi ilmiah diproduksi dengan cepat, meliputi dua setiap tahun, bahkan disiplin-disiplin tertentu seperti genetika setiap dua tahun (Jacob, 1993:19).

    Dalam bidang kedokteran, Mahzhab Hippokrates melihat kedokteran secara historis , tetapi sekitar lima abad yang lalu terjadi perubahan besar dengan gagasan manusia harus menguasai alam; materi dan jiwa harus dipisahkan. Dalam dasawarsa-dasawarsa akhir datang pula arus kontra dengan gerakan ke holism lagi, karena pengaruh negative teknologi dan pengaruh positif ekologi (Jacob, 2993: 20-21).

    Dalam disiplin ilmu social, berbagai macam pendekatan dihasilkan guna semakin menajamkan daya analisa terhadap fenomena yang ditelitinya. Sementara itu dalam ilmu pengetahuan alam, terutama fisika sianggap memiliki perkembangan yang sangat spektakuler. Salah satu fisikawan yang termasyur pada masa itu adalah Albert Einstein.

    Dalam 20 tahun terakhir ini, percepatan pertumbuhan teknologi itu sedemikian rupa, sehingga kalau diukur dari jangka waktu yang pendek tersebut , pertumbuhan itu laksana sebuah ledakan. Di masa depan teknologi akan jauh lebih pesat lagi perkembangannya. Orang membayangkan masa depan yang penuh shock, yan gpenuh katidakpastian dan kecemasan, karena lingkungan yang terlalu cepat berubah. Perkembangan teknologi akan menambah kuatitas produk, tetapi menurunkan kualitas. Teknologi sengaja dibuat segera usang atau tidak tahan lama. Inilah yang disebut technostress.
    Dalam media komunikasi, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa yang sangat penting, yang dimanfaatkan dengan baik pertama kali di Eropa. Media elektronik kemudian merevolisi informasi dengan telavisa, Koran jarak jauh, dll. Sekarang microelektronik dan multi media memebawa kita ke masyarakat informasi yang sanggup menyajikan gambar, suara dan cetakan sekaligus dan dapat bersifat individual dan personal.

    Perkembangan teknologi juga ditrandai dengan makin meluasnya penggunaan teknologi modern itu dalam kehidupan sehari-hari, dan makin lama makin mencapai skala masal. Disisi lain pada zaman Kontemporer perkembangan ilmu juga ditandai dengan terjadinya spesialisasi-spesialisasi yang semakin tajam. Akibatnya, bidang pengkajian suatu bidang keilmuan makin sempit yang ditambah dengan berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti asumsi dan prinsip sehingga membuat lingkup penglihatan keilmuan bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation professionelle.

    Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lainnya dalam perkembangan ilmu pada zaman kontemporer ini adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan bidang ilmu yang lainnya. Perkembangan ilmu yang semakin cepat pada masa sekarang dimungkinkan karena adanya metode ilmiah dan komunikasi ilmiah antar ilmuan. Komunikasi ilmiah antar ilmuan juga sangat mendukung bagi percepatan perkembangna ilmu pengetahuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang ilmuan disuatu wilayah akan dapat dengan mudah diketahui oleh ilmuan lain di wilayah lain. Namun pada masa sekarang komunikasi antar ilmuan menjadi sangat mudah karena munculnya pendukung lain seperti internet. Inilah yang menjad kunci percepatan perkembangan ilmu sekarang ini.


    PENUTUP
    Ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia yang semakin lama semakin maju dan meluas. Dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak terpusat hanya pada suatu wilayah tertentu saja. Melainkan merata pada wilayah-wilayah yang dihuni manusia. Mulai dari Zaman Purba yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah Mesir dan Babylonia pada abad 3–1 SM, perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah India pada tahun 2000 SM, dan perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah Cina pada masa Dinasti Shang dan Dinasti Chon. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Yunani (abad 7 SM–6 M) yang dikenal sebagai masa kelahiran pemikiran kritis refleksi manusia. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Pertengahan (abad 6 SM–15M) yang dimulai dengan kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat hingga timbulnya Renaissance di Italia. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Kekhilafahan Islam yang merupakan dasar perkembangan tradisi pemikiran ilmiah, dan perkembangan IPTEK di barat. Zaman Renaissance (abad 14–17 M) yang merupakan zaman peralihan ketika kebudayaan abad tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Modern (abad 17-19 M) yang ditandai dengan percepatan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Hingga perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Kontemporer (abad 20 M – sekarang) yang ditandai dengan perkembangan disiplin ilmu dari masing-masing ilmu yang menghasilkan berbagai macam penemuan yang silih berganti dan makin sering. Perubahan perilaku/ kebiasaan masyarakat mulai dari berburu, berladang hingga penggunaan teknologi modern merupakan bentuk dari perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju seiring dengan perkembangan akal pikiran manusia. Yang terjadi tidak hanya pada benua Eropa tetapi dunia Timur juga memegang peran penting dalam perkembangan ilmu dan peradaban manusia.

    DAFTAR PUSTAKA
    Amhar, Fahmi. 2011. IPTEK Era Khilafah: Membangun Nalar Dunia dan Peradaban Dunia. Media Politik dan Dakwah Al-Wa’ie. No. 130 Tahun XI, 1-30 Juni 2011.
    Maghfur, Muhammad. 2002. Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil: Al-Izzah.
    Noor, Hadian. 1997. Pengantar Sejarah Filsafat. Malang: Citra Mentari Group.
    Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
    Rachman, Maman, dkk. 2008. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT UNNES Press.
    Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
    Sadik, Kusman. 2011. Pendidikan Islam: Bermutu dan Melahirkan Manusia Unggul. Media Politik dan Dakwah Al-Wa’ie. No. 130 Tahun XI, 1-30 Juni 2011.
    Salam, Burhanuddin. 2003. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar