MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Minggu, 12 Oktober 2014

Immawati untuk Bangsa

Immawati untuk Bangsa, Sebuah Visi Gerakan

Untitled-1Perempuan, Realita dan Gerakan
Sejarah telah mencatat bahwa perempuan merupakan salah satu satu kaum marginal. Faktanya dalam beberapa hal perempuan masih rentan dengan tindakan deskriminasi dan kekerasan. Perempuan masih rentan mengalami deskriminasi dalam tataran sosial, dan budaya di tambah dengan tafsiran agama yang cenderung bias. Selain itu akses perempuan khususnya perempuan desa dan daerah pedalaman, terhadap pendidikan dan kesehatan masih jauh dari harapan padahal kedua bidang ini merupakan kebutuhan asasi bagi perempuan tetapi ternyata justru pendidikan dan kesehatan ini menjadi barang langka bagi sebagian kaum perempuan rendahnya pendidikan perempuan tentunya akan membawa dampak besar dalam kehidupanya kelak. Perempuan yang hidup mandiri tanpa ada pendidikan akan rentan untuk menjadi buruh migrant, pabrik dan industri yang rentan mengalami kekerasan atau tidak jarang beberapa perempuan terjebak dalam kasus trafficking menjadi pekerja seks dan dieksploitasi.


Realitas perempuan sebagai kaum marginal juga di pengaruhi oleh mindset agama atau ideologi tertentu. Agama harusnya di tafsirkan lebih adil tetapi justru melanggengkan ketidakadilan bagi kaum perempuan padahaL rasulullah sendiri adalah pejuang perempuan pertama di muka bumi yang memperjuangkan perempuan di masanya dari belenggu arab jahiliyah di masanya. Spirit rasulullah yang memperjuangangkan perempuan inilah yang harus menjadi spirit bagi gerakan perempuan khususnya dalam konteks ini adalah immawati.

Ideologi Gerakan Perempuan
Jika kita berbicara tentang ideologi maka tentu akan berbicara tentang paradigma gerakan perempuan. Dalam konteks gerakan perempuan secara global, nasional atau local masing-masing memiliki ideologi tersendiri dan inilah terkadang yang menjadi kendala dalam bersatunya gerakan perempuan (sisterhood). Dalam konteks global ada beberapa aliran feminis dunia antara lain feminis marxis sosialis yang lebih cenderung menganggap bahwa ketertindasan perempuan disebabkan karena budaya patriarki dan kapitalisme yang menjerat perempuan sehingga para feminis marxis-sosialis ini banyak melakukan advokasi para perempuan buruh dan isu pertanian dengan mengembalikan perempuan desa sebagai pengolah lahanya sendiri dan menolak teknologi pertanian karena dianggap meminggirkan peran perempuan. Ada lagi feminisme liberal yang memiliki kedekatan dengan ideologi liberalisme. Para feminis ini menganggap bahwa ketertindasan perempuan karena mereka sendiri yang tidak ingin meningkatkan kapasitas dirinya sehingga mereka mengajukan beberapa regulasi untuk meningkatkan kapasitas perempuan. Dalam konteks global para feminis liberal mengajak perempuan untuk keluar rumah belerja pada sektor industri dan bersaing dengan laki-laki dan dalam konteks Indonesia memunculkan kebijakan kuota 30% untuk perempuan dalam politik sebagai langkah affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sehingga akan mempengaruhi kebijakan politik supaya lebih sensitif gender. Selain itu dalam ada pula ideologi feminisme radikal yang lebih cenderung mengadvokasi isu-isu seksualitas seperti isu – isu LGBT.

Dalam konteks gerakan immawati tentu saja immawati merupakan salah satu bagian dari gerakan perempuan. Immawati bukan hanya pelembagaan secara struktur perempuan Ikatan mahasiswa muhammadiyah tetapi juga melembagakan isu perempuan sebagai tujuan gerakanya. Tetapi sampai saat ini saya melihat bahwa immawati masih bingung menentukan kemana arah gerakanya karena jika dalam konteks gerakan perempuan Indonesia, gerakan perempuan pun terbagi menjadi beberapa fraksi gerakan antara yang berideologi nasionalis, sosialis, radikal hingga gerakan feminis nasionalis – religius. Bahkan dalam beberapa hal terjadi benturan gerakan perempuan sebut saja misalnya setelah pengesahan rancangan undang-undang pornografi dan pornoaksi terjadi benturan antara gerakan perempuan yang pro dan kontra, yang pro berasal dari jaringan gerakan perempuan yang berbasis agama dengan penafsiran tertentu dan yang kontra adalah gerakan perempuan yang tergabung dalam beberapa NGO nasional. Benturan gerakan perempuan juga terjadi ketika ada beberapa daerah yang menegakkan syariat islam. Hal ini menunjukkan bahwa kutub gerakan perempuan indoensia masih terbagi. Belum lagi dalam beberapa konteks tertentu dimana terjadi benturan ideologi gerakan.

Aisyiyah sebagai ibu dari gerakan immawati tentu juga perlu menuai kritik karena hingga saat ini penulis belum melihat bahwa ada batasan yang jelas dimana letak gerakan perempuan muhammadiyah sebenarnya padahal usia aisyiyah saat ini sudah cukup matang karena merupakan organisasi perempuan pertama di Indonesia sehingga harusnya sudah mampu memetakan dengan jelas ideologi gerakan perempuan dan perempuan muhammadiyah memposisikan dirinya. Hal ini kemudian berefek terhadap turunan gerakan perempuan muhammadiyah seperti NA, IPMawati dan IMMawati yang sepertinya kehilangan arah. Padahal secara struktural gerakan perempuan ini menempati posisi strategis karena di dukung oleh organisasi besar seperti muhammadiyah. Penulis lebih memahami bahwa immawati sebagai gerakan putri mehammadiyah berbasis ideologi gerakan dari agama tetapi bagaimana menafsirkan agama itu sendiri menjadi peka terhadap isu perempuan tentunya menjadi tantangan tersendiri agar gerakan immawati tidak terjebak pada kutub fundamental atau kutub liberal dalam menafsirkan agama itu sendiri.

Tantangan Gerakan
Tantang terbesar dari gerakan immawati saat ini salah satunya karena kondisi internal immawati sendiri sebagai perempuan dan ketidakmampuan immawati memposisikan dirinya sebagai gerakan perempuan sehingga tidak ada gerakan immawati yang massif. Secara internal immawati terkadang masih minim dalam memahami isu-isu gender sehingga berefek terhadap ada atau tidak adanya gerakan. Immawati masih di selubungi dengan isu gender yang menanggap bahwa perempuan harus di domestifikasi sehingga tidak ada gerakan secara eksternal padahal jutaan perempuan yang ada di luar sana membutuhkan uluran tangan immawati untuk melakukan kegiatan pemberdayaan. Otokritik juga untuk gerakan perempuan bahwa terkadang yang menjadi inti dari gerakanya adalah gerakan kesetaraan padahal isu perempuan itu bukan hanya pada ranah itu tetapi yang terpenting saat ini adalah bagaimana melakukan pemberdayaan pada ranah basis untuk menjauhkan perempuan dari kemiskinan, kekerasan dan tindakan diskriminatif lainya. Disinilah terkadangan kita salah menafsirkan gender itu sendiri karena menganggap bahwa gender itu adalah gerakan kesetaraan padahal isu gender menyentuh pada semua aspek kehidupan perempuan.

Tidak adanya kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan pada level immawati menjadi tantangan terbesar gerakan immawati. Visi immawati yang tidak jelas akan menyebabkan gerakan immawati juga tidak jelas arahnya yang di perparah lagi dengan krisisnya kaderisasi. Jika kita ingin melihat pada kacamata ideal maka visi gerakan yang di imbangi dengan kaderisasi menjadi dukungan yang kokoh bagi masifnya gerakan immawati.

Visi Gerakan
Dalam konteks visi gerakan penulis mencoba menawarkan sebuah visi gerakan untuk immawati yakni immawati untuk bangsa. Visi ini merupakan sebuah perenuangan pasca mengikuti kegiatan bersama gerakan perempuan mahasiswa islam di cibubur jakara pada bulan September 2010. Kegiatan ini di hadiri selain oleh IMMawati DPP IMM juga di hadiri beberapa organisasi perempuan mahasiswa lainya pada ranah pusat. Cuma yang mengecawakan dari forum tersebut karena tidak adanya satu kata dalam rekomendasi yang di hasilkan sehingga penulis mencoba menyimpulkan sendiri kegiatan tersebut setelah mengikuti lokakarya MBI yang di adakan oleh JASS SEA sebuah komunitas international untuk isu-isu perempuan. Dari berbagai forum tersebut penulis mencoba memetakan isu-isu gerakan perempuan secara global, nasional dan lokal. Maka isu gerakan immawati harus berada pada tataran nasional dengan memasukkan isu tentang keadilan gender, non deskrimintatif dan anti kekerasan terhadap perempuan dan kepemimpinan perempuan tetapi sebagai bagian dari gerakan immawati saya tidak berniat untuk memasukkan isu LGBT (lesbian, gay, biseksual dab transgender) sebagai isu gerakan seperti para feminis radikal karena isu itu memerlukan kajian yang cukup panjang dan mendalam.

Visi gerakan perempuan untuk mengawal isu perempuan tentunya harus di dukung oleh kegiatan kaderisasi yang di breakdown hingga level komisariat. Sayang sekali pengkaderan formal seperti pendidikan khusus immawati yang pernah di gagas sebagai pengkaderan non formal diluar pengkaderan formal seperti DAD itupun kini jarang di adakan bahkan hanya beberapa DPD saja yang mengadakan. Mungkin DPD atau cabang yang lain juga mengadakan kegiatan yang sama dengan nama berbeda yang penting bahwa kegiatan yang seperti ini harus di lakukan minimal untuk mengubah mindset immawati tentang perempuan dan mem breakdown visi kepemimpinan immawati sehingga terwujud kemandirian immawati karena sesungguhnya kepemimpinan bukan hanya identik dengan politik dan kekuasaan tetapi kepemimpinan adalah pengambilan keputusan atas dirinya sendiri dan kehidupanya.

Visi gerakan immawati untuk bangsa sebagai refleksi bahwa immawati juga harus berperan dalam persoalan kebangsaan dan kenegaraan ditengah kuatnya arus putaran globalisasi dan ideologi neoliberalisme yang terus mencengkram perekonomian dan aspek-aspek kehidupan bangsa. Dalam menggapai visi ini immawati tidak boleh larut dalam dalam sistem yang membelenggu ini. Immawati menjadi pasif dan justru menjadi penikmat dan mengikuti budaya konsumerisme terhadap berbagai produk-produk kapitalisme sehingga semakin melanggengkan sistem ini. Kembalilah ke khittah perjuangan muhammadiyah yakni memperjuangkan hak-hak kaum mustadafin dan perempuan yang tidak berdaya juga merupakan bagian dari kaum itu. Jaya terus gerakan immawati.

Fastabiqul khaerat…
Penulis : Immawati IMM STAIM Bima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar