Tinjauan Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah
Argumen
normatif yang sering dikemukakan adalah bahwa dalam Anggaran Dasar
pertama disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah
”menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad kepada penduduk Bumiputra,
di dalam residensi Yogyakarta. Memajukan hal agama Islam kepada
anggota-anggotanya.” Rumusan ini menegaskan tentang identitas diri
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Penegasan identitas diri inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan
gerakan Islam semasanya yang umumnya mengikatkan diri pada orientasi
ideologi keagamaan tertentu sebagai gerakan reformis (Al-Irsyad),
memberantas bid’ah, khurafat, dan takhayul secara radikal (Persis), dan
ahlus sunnah wal jamaah (NU) (Federspiel, 2004).
Pandangan
yang kedua mengatakan, Muhammadiyah lahir berhadapan dengan kondisi
sosial yang sangat timpang, antara lain ketimpangan praktik dualisme
pendidikan, yakni pendidikan Belanda yang sekular untuk kaum priyayi dan
anak-anak Belanda, di satu sisi, dan pendidikan pesantren yang sangat
tradisional untuk penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain.
Tafsir sosial dilakukan KH Ahamd Dahlan pada masanya dengan cara
melakukan penerjemahan teks-teks al-Qur'an ke dalam praksis sosial.
Barangkali, karena KH Ahmad Dahlan tampaknya tidak banyak berteori, maka
sementara pengamat menggolongkannya sebagai man of action, bukan man of thought.
Iman yang tampil mengemuka dalam bentuk perbuatan bukan dalam
konseptual teoritik. Namun demikian, secara lebih mendasar, apa yang
dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan itu bukan berarti tanpa refleksi kritis
dan mendalam serta pijakan pemikiran yang kokoh. Asumsinya, suatu
tindakan yang sangat kuat berpengaruh dalam masyarakat hampir pasti
didahului oleh refleksi dan pembaruan pemikiran.
Menolak
salah satu atau kedua pandangan tersebut sambil mencari-cari dan
menunjukkan fakta baru agaknya bukanlah pilihan tepat. Lebih-lebih bila
melihat perkembangan Muhammadiyah selama satu abad ini, dua pandangan
tersebut sama-sama menemukan korelasi, relevansi, dan dukungan fakta
baru. Oleh karena itu, meskipun tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh
pandangan yang kedua, tulisan ini akan menunjukkan keabsahan
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Islam di
Indonesia. Bahkan Muhammadiyah secara internal mengalami dinamika yang
sangat kompleks paralel dengan koteks zaman yang menyertai.
Akar Tradisi Pembaruan Pemikiran
Pemikiran
keagamaan dalam Muhammadiyah mencakup dimensi-dimensi yang luas dan
meliputi tema-tema yang beragam. Dalam realitasnya, pemikiran keagamaan
merupakan produk pemahaman yang dihasilkan oleh kaum ulama atau
pemikir Islam tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan
(aqidah) sebagai dimensi yang fundamental, atau masalah-masalah ‘ibadah dan
sosial kemasyarakatan (mu‘amalah), termasuk politik. Lebih dari itu,
pemikiran keagamaan juga mencakup prinsip-prinsip metodologis yang
digunakan untuk memahami dan menafsirkan ajaran Islam dalam konteks
historis dan sosial tertentu.
Pada
periode awal setelah gerakan ini berdiri para elite Muhammadiyah telah
meletakkan dasar pemikiran keagamaan yang kreatif liberatif, menurut
konteks saat itu. Wawasan dasar keagamaan ini menjadi unsur penting
formulasi ideologi gerakan, yang memberikan landasan untuk mengkritisi
tatanan kehidupan yang ingin dirubah, merumuskan tujuan yang ingin
dicapai, membenarkan kebijakan dan langkah praktis guna mencapai tujuan.
Dasar pandangan ini telah mendorong munculnya semangat pembaruan ke
dalam berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern seperti:
perubahan, rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang, rajin,
kerja keras, tepat waktu, hemat, dan lain sebagainya (Jainuri, 2002).
Pada
tingkat individu, ideologi ini tidak hanya membentuk watak prilaku
warga Muhammadiyah yang terbuka, menerima perubahan, rasional, adaptif,
dan sebagainya, yang menjadi ciri utama kemodernan seseorang, tetapi
juga telah melahirkan berbagai ragam institusi sosial yang membantu
mencerahkan dan menyadarkan umat bahwa kemajuan dan kebahagiaan hidup
merupakan tujuan yang bisa dicapai melalui kecerdasan dan bekerja keras.
Sebagaimana yang dapat ditemukan dalam jejak KH Ahmad Dahlan
mendirikan Muhammadiyah untuk merevitalisasi kehidupan keagamaan.
Semangat yang diusung adalah Islam harus dikemas lebih baik, agar kesan
“medieval rubbish” dapat dihilangkan. itu Islam hanya dianggap sebagai
agama kalangan bawah, cerminan dari ketertinggalan dan
keterbelakangan.
Secara
internal, upaya revitalisasi itu diwujudkan dengan mengaktualisasikan
ajaran Islam dalam realitas kongkrit kehidupan sosial-ekonomi. Salah
satu landasan teologis yang dia gunakan adalah Surat al-Ma’un. Pembaruan
Islam yang cukup orisinal dari KH Ahmad Dahlan dapat dirujuk pada
pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang
Surat Al-Maun, merupakan contoh yang paling monumental dari pembaruan
yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian
melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Langkah
momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi
transformatif”, karena Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran
ritual-ibadah semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan
masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia.
Langkah
pembaruan lainnya ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang
memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan
pendidikan yang dipelopori KH Ahmad Dahlan, merupakan pembaruan karena
mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan
sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern
tanpa terpecah kepribadiannya. Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan
menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang
membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam
“modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga
pendidikan umat Islam secara umum (Kuntowijoyo,1998).
Adapun
langkah pembaruan dalam bidang doktriner adalah KH Ahmad Dahlan ingin
membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang
ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang
muamalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang
pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian
memberikan kebebasan dalam berijtihad. Langkah ini pada masa lalu
merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi
tercerahkan dan terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan
umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
Secara
institusional, pada perempat pertama abad ke-20 Muhammadiyah dikenal
sebagai simbol perubahan, kemajuan, dan karenanya dikenal sebagai
gerakan modern. Stereotyping
keagamaan yang menempel pada diri seorang Muslim sebagai eksklusif,
tertutup, dan kolot terpatahkan oleh seorang anggota Muhammadiyah yang
memiliki watak rasional dan terbuka. Pandangan dunia yang menjauhkan
diri dari kehidupan dunia diganti dengan pandangan yang menyebutkan
bahwa Islam membolehkan umatnya untuk memperoleh kebahagiaan duniawi.
Sikap keagamaan yang intolerant diganti dengan toleran; sikap
budaya yang uniformitas diganti dengan pluralis; pandangan keilmuan yang
membatasi pada ilmu agama diganti dengan wawasan bahwa ilmu tidak
hanya terbatas pada ilmu agama. Stigma sosial yang menggambarkan orang
Muslim itu malas, miskin, bodoh terbantahkan oleh semangat yang
dikembangkan oleh warga Muhammadiyah yang kerja keras, memiliki
penghasilan, dan memiliki pengetahuan untuk menekuni profesinya.
Dua Wajah Pembaruan
Dari
penelusuran warisan tradisi pembaruan pada masa formatif sebagaimana
yang dilakukan Ahmad Dahlan dan satu periode sesudahnya menunjukkan
adanya varian atau wajah pembaruan yang bersifat pemurnian dan
dinamisasi atau berkemajuan. Menariknya dua wajah pembaruan ini di
kemudian hari terjadi tarik menarik dan saling mengabsahkan diri
sebagai pewaris tunggal tradisi pemikiran Muhammadiyah, tentang hal ini
akan dijelaskan pada bagian terakhir tulisan nanti. Watak pembaharu
itu tercermin dalam berbagai macam pernyataan resmi organisasi dan
dalam kiprahnya memajukan umat secara kolektif dan berkelanjutan. Jika
pembaruan masa lalu lebih bersifat individual dan berhenti dengan
kematian tokohnya, sekalipun mungkin ide-idenya dilanjutkan oleh tokoh
lain, pemaharuan Muhammadiyah telah berlangsung seabad, dilakukan
secara kolektif dan bersifat komperhensif, meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.
Mempertimbangkan dinamika pada masa awal perkembangannya, maka Muhammadiyah telah melakukan tajdid dalam soal aqidah, ibadah dan muamalah dunyawiyah yang mengilhami dua wajah pembaruan, yaitu purfikasi dan dinamisasi. Secara
harfiyah purifikasi berarti pemurnian. Pemurnian itu dikenakan pada
bidang aqidah dan ibadah. Muhammadiyah sepanjang sejarahnya telah
melaksanakan pemurnian itu.
Upaya
purifikasi dalam bidang akidah lebih dipertegas oleh KH Mas Mansur
(1896-1946). Menurut dia, kemunduran umat Islam karena lemahnya iman,
kebodohan dan kecenderungan mementingkan diri sendiri. Semua bentuk
kelemahan ini telah menghambat upaya
umat Islam dalam perbaiki nasib mereka, dan sebagai dampak dari
kesalahan mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Karena
itu, Mas Mansur minta agar umat Islam mau kembali pada al-Qur’an dan
Sunnah untuk menemukan semangat
Islam yang sebenarnya dan menjalin kerjasama antara ulama’ dan kaum
intelektual demi kepentingan agama, masyarakat dan bangsa (Mulkhan,
2000).
Kalau dilihat dalam realitasnya ada dua macam pemurnian. Yang
pertama adalah pemurnian radikal dan yang kedua adalah pemurnian
moderat. Dalam hal aqidah, pemurnian radikal menyatakan bahwa aqidah
seorang Muslim harus bersih sama sekali dari unsur-unsur asing atau
luar. Pemahaman aqidah, terikat oleh teks dan tidak memerlukan pemahaman
rasional. Kelompok puritan radikal itu selanjutnya mendapatkan
pengikutnya sekarang ini, bahkan lebih radikal. Mereka mengecam,
misalnya, pemasangan foto K. H. Ahmad Dahlan di sekolah-sekolah
Muhammadiyah karena berbau syirik. Mereka juga mengharamkan lagu
kebangsaan Indonesia Raya dan Padamu Negeri karena rawan syirik.;
apalagi penghormatan bendera merah putih di berbagai macam upacara
(Mughni, 2001).
Sedangkan
puritan moderat melakkan purifikasi terhadap hal-hal yang memang
dilarang oleh agama karena berkaitan langsung dengan syirik, misalnya
pemujaan terhadap kuburan dan orang yang ada di dalamnya. Meminta
berkah dari orang yang sudah meninggal dan menjadikannya sebagai
wasilah dalam berdoa kepada Allah adalah perbuatan syirik.
Dalam
pandangan Muhammadiyah, purifikasi juga diberlakukan pada persoalan
ibadah. Dalam banyak hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW
mewanti-wanti agar umat Islam tidak melakukan perbuatan bid’ah karena
bid’ah itu adalah kesesatan dan kesesatan itu tempatnya di neraka.
Persoalan bid’ah dalam ibadah telah menjadi perbincangan yang lama
sekali dalam sejarah Islam. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam bid’ah, yakni dlalalah
dan hasanah. Bid’ah dlalalah dikenakan pada persoalan ibadah (agama),
sedangkan bid’ah hasanah dikenakan pada persoalan non-ibadah
(dunyawiyah).
Muhammadiyah
termasuk kelompok yang berada di tengah-tengah dua ekstrem itu.
Muhammadiyah membedakan mana yang ibadah dan mana yang merupakan
instrumen untuk kesempurnaan ibadah. Maka, menurut Muhammadiyah,
arsitektur dan mebelair dalam masjid adalah persoalan duniawi; bahasa
khutbah adalah duniawi; pengumuman pra-khutbah adalah dunia. Dalam
konteks ini mungkin Muhammadiyah telah memiliki keputusan-keputusan
formal, misalnya Putusan Tarjih dan keputusan-keputusan musyawarah
lainnya, yang menurut penulis sudah sangat tepat. Tetapi dalam diskursus
lesan dan sikap keagamaan warga Muhammadiyah, tampaknya ada beberapa
hal yang perlu dipikirkan ulang.
Di luar aqidah dan ibadah, lapangan kehidupan manusia jauh lebih luas. Islam
memberikan peluang yang sangat terbuka bagi ijtihad agar kehidupan
manusia menjadi dinamis. Dengan inspirasi al-Qur’an umat Islam harus
mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk selalu berinovasi dalam
rangka mencapai kesempurnaan hidup. Proses inilah yang disebut sebagai
dinamika peradaban. Dinamisasi harus juga diarahkan untuk mewujudkan
realitas bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Al-Qur’an
mendorong dapat agar terus mendinamisasi kehidupan ini. Bagi umat
Islam itu tidak mungkin dicapai tanpa mendinamisasi ajaran Islam.
Artinya, ajaran Islam jangan menjadikan terpasung dan terbelakang;
jangan malah menghambat kemajuan. Di sinilah perlunya reinterpretasi
yang terus-menerus agar pemamahan bermakna bagi kemanusiaan universal,
dan prilaku keagamaan mampu memberikan warna bagi bangunan peradaban.
Melalui pemahaman seperti ini, akan terjadi pencepatan dinamisasi
pemahaman agama yang menjadi penopang peradaban utama (Mughni: 2001)
Dalam bahasa yang lebih sederhana, dinamisasi merupakan kerja wilayah
muamalah yang luas, seperti pendidikan dan lain sebagainya. Pembaruan
Muhammadiyah dalam sisi dinamisasi berdiri diatas paradigma pembaruan
Muhammadiyah lebih
berorientasi pada substansi dan penerapan nilai-nilai daripada
formalisasi dan struktur, kendati tidak mengabaikan format dan
struktur. Dalam tradisi pembaruan Muhammadiyah dalam dirinya tersirat
dan tersurat watak tengahan dibanding gerakan-gerakan Islam lainnya.
Dengan demikian paradigma modernis-reformis dalam tubuh Muhammadiyah
cenderung eklektik atau berada di tengah, sehingga dapat dikatakan
sebagai berdiri dalam posisi paradigma wasithiyyah. Posisi dan
peran tengahan itu bukan berarti kehilangan ketegasan dan jatidiri
karena dalam hal-hal prinsip yang fundamental tetap kokoh.
Karakter
gerakan ”tengahan” yang menjadi kepribadian dan orientasi gerakan
Muhammadiyah ditunjukkan antara lain, pertama dalam jatidirinya selaku
gerakan Islam yang sejak awal menampilkan tajdid yang bersifat
pemurnian (tajrid, tandhif) sekaligus pembaruan (tajdid, ishlah)
secara seimbang. Kedua, dalam strategi dan orientasi gerakannya yang
istiqamah sejak kelahirannya memilih jalur dakwah pembinaan masyarakat
untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan tidak
memilih jalan perjuangan politik-praktis di ranah kekuasaan negara
sebagaimana halnya partai politik. Ketiga, orientasi pada praksis yakni
menghadirkan Islam selain dalam dakwah bi-lisan tetapi lebih penting lagi dalam dakwah bil-hal
dengan mendirikan berbagai amal usaha pendidikan, kesehatan, pelayanan
sosial, pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya. Keempat, menempatkan
dan memerankan diri sebagai gerakan pembaruan atau reformisme atau
modernisme Islam sepanjang kemauan atau prinsip ajaran Islam. Kelima,
kepribadian Muhammadiyah yang diwujudkan dalam sifat-sifat yang
menunjukkan sosok tengahan (Haedar Nashir, 2009).
Karena
posisinya yang tengahan atau moderat, maka paradigma modernis-reformis
cenderung eklektik atau berada di antara banyak kutub ekstrem. Dalam
tajdid atau pembaruan, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, M. Din
Syamsuddin, ketika membuka Koluqium Pemikiran Islam di UM Malang tahun
2008, pembaruan Muhammadiyah itu bersifat baina tajrid wa tajdid
(antara pemurnian dan pembaruan). Majelis Tarjih bahkan telah melakukan
kodifikasi paradigma tajdid dalam dua orientasi yakni pemurnian
(purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi). Paradigma pembaruan yang
berperspektif purifikasi dan dinamisasi itu dalam konteks sosiologi
pemikiran Islam sebenarnya termasuk jalan tengah dari kutub ekstrem yang
cenderung radikal-tekstual di satu pihak dan radikal-kontekstual di
pihak lain, yang menemukan titik temu dalam purifikasi dan dinamisasi.
Agenda Pembaruan
Agenda Pembaruan
Sebagaimana
disebutkan bahwa watak dasar pembaruan pemikiran keagamaan
Muhammadiyah awal yang bercorak reformis dan rasionalistik mengalami
transformasi menuju purifikatif dan dinamis. Dinamisasi pembaruan
Muhammadiyah memerlukan basis keilmuan yang kokoh dan reorientasi
terhadap tradisi pembaruannya. Namun pada ranah ini sempat terjadi
tarik menarik antara apakah Muhammadiyah kembali sebagai gerakan
purifikasi atau sebagai gerakan yang berwajah dinamisasi. Sejalan
dengan dinamika sosial dan intelektual, pemikiran keagamaan dalam
Muhammadiyah mengalami proses institusionalisasi dan ideologisasi.
Dalam
fakta historisnya, dengan kuatnya pengaruh kaum ‘ulama yang cenderung
skolastik pada periode pertengahan Muhammadiyah, tendensi
purifikasionisme untuk jangka waktu lama mendominasi wacana keagamaan,
sampai munculnya tendensi liberal pada periode kontemporer.
Kecenderungan liberal dalam pembaruan keagamaan ini mendapatkan respons
kritis dari kelompok yang dapat disebut sebagai neo-revivalis
(ortodoks) yang merupakan kontinuitas dari tendensi purifikasionisme
awal. Pemikir-pemikir Muhammadiyah yang bercorak neo-revivalis tidak
sependapat dengan pemikiran keagamaan bercorak liberal, dan menegaskan
urgensi kembali kepada warisan pemikiran keagamaan generasi Muhammadiyah
sebelumnya yang bercorak pemurnian (purifikasionis) (Fuad, 2010).
Sebagai
contoh pembaruan dalam bidang pemikiran keagamaan. Proses
institusionalisasi pemikiran juga mengalami hambatan prosedural dan
epistemologis. Dalam wacana tentang pluralisme keagamaan (seperti
tertuang dalam Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama),
terdapat kontroversi terutama di kalangan orang-orang Muhammadiyah,
antara yang mendukung gagasan pluralisme keagamaan dan
implikasi-implikasi yang menyertainya dan yang menolak sama sekali
gagasan pluralisme keagamaan. Karya tafsir tersebut sesungguhnya
dihasilkan oleh lembaga resmi Muhammadiyah, yaitu Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam. Namun karena topik yang dibicarakan
tergolong kotroversial dan pandangan-pandangan yang tertuang dalam buku
tersebut juga mengundang perdebatan teologis, maka banyak reaksi yang
timbul terhadap tafsir yang dinilai liberal tersebut. Di sinilah terjadi tarik menarik pemikiran, antara tendensi revivalisme-ortodoksi dan tendensi liberal.
Dialektika
pembaruan Muhammadiyah juga menggores jelas dalam berbagai institusi
(baik penerbitan maupun kelompok studi) yang belakangan muncul di
Muhammadiyah. Di satu pihak tumbuh gagasan-gagasan yang membawa
Muhammadiyah dalam rumah yang tertutup dengan dalih kembali kepada
al-Quran dan sunnah sambil meminimalisir ruang dinamisasi gerakan.
Dalam Muhammadiyah tegas-tegas disebutkan ada aspek
“pemurnian” selain “pembaruan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain
anjuran ber ‘amar ma’ruf’. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai
mengemasnya akan sangat mudah beralih menjadi
‘radikal-ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan
sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keummatan Islam
yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air
tetapi juga di seluruh dunia Muslim.
Sedang
penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan
‘amar ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dan
radikalisme dengan menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif (persuasive). Gelombang
radikalisme sekriptural rasanya akan memikat dan menarik generasi muda
yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara kejiwaan
apalagi ekonomi, fenomena ketidakadilan yang mereka saksikan di berbagai
tempat di negeri mereka masing-masing.
Sementara
di pihak lain, muncul kelompok komunitas dalam Muhammadiyah yang
menyadari akan peran yang harus dimainkannya dalam konteks perjuangan
umat. Komunitas ini mengajak Muhammadiyah perlu melakukan kerja
intelektual dan bukan mencari sumber otoritatif yang tertutup, juga
bukan merekonstruksi sejarah masa lalu. Tetapi
sebaliknya, melakukan dekonstruksi teks untuk melakukan dialog
peradaban yang kini menantang Islam dan umat Islam di mana-mana.
Apalagi, dalam konteks dialog peradaban global seperti yang sekarang
berlangsung, Islam memerlukan ketegasan sikap terhadap orang lain dan
dengan jujur mengakui bahwa Islam telah menjadi kenyataan sejarah.
Dengan
demikian, gerakan pemikiran yang diusung oleh Muhammadiyah adalah
menempatkan al-Qur'an sebagai spirit utama dalam dinamika zaman yang
semakin kompleks. Baik kompleksitas sains, politik, ekonomi maupun
perkembangan ilmu-ilmu maupun isu-isu kemanusiaan yang belakangan
semakin menggurita. Teori spider web Amin Abdullah yang
memberikan deskripsi yang sangat berarti bagaimana menempatkan al-Qur'an
di tengah kompleksitas yang sedemikian rupa itu, mungkin bisa
dijadikan model oleh Muhammadiyah.
Di
samping itu, kini berkembang sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam
melakukan reorientasi terhadap gerakan tajdid yang diperankannya.
Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid Sosial sebagaimana
gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai blueprint (cetak biru) tajdid
Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii Maarif menawarkan Muhammadiyah
sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di tengah pergulatan
pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks saat ini.
Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa
gerakan Islam modern seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc,
kaya amal tetapi kering pemikiran, dan kehilangan daya
transformasionalnya di tengah perubahan dan perkembangan zaman yang
sarat kompleksitas masalah dan tantangan sebagaimana kritik kaum
noemodernisme terhadap modernisme.
Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar sebagaiman dikutip Haedar
Nashir, juga memberikan tawaran bahwa kini pembaruan Muhammadiyah
memerlukan pengembangan dari paradigma tajdid juz’i-‘alami (pembaruan praksis amaliah) ke tajdid usuli-nazari
(pembaruan pemikiran yang lebih mendasar). Dalam konteks ini secara
sistemik tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada
dalam bingkai dan legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan
kecuali untuk wacana dan pengembangan wawasan pemikiran. Pembaruan
Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja
memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak
mengalami kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi statis.
Sedangkan berbagai variasi dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya
diberi ruang yang lebih longgar agar tradisi pemikiran terus berkembang,
tentu saja disertai sikap tasamuh dan memiliki pertanggungjawaban
intelektual yang tinggi.
Sekurang-kurangnya
ada empat alasan dan agenda mengapa kaum Muhammadiyah harus tetap
memperkuat perannya dalam tajdid atau pembaruan Islam. Pertama,
mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan Islam yang sadar
akan beban sejarah yang dipikulnya. Artinya,
Muhammadiyah harus semakin lebih dewasa dan matang dalam merespon
berbagai persoalan krusial yang berkembang di masyarakat, bukan malah
membiarkan dominasi kaum konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah yang
sewaktu-waktu bisa menjadi benalu dan penghambat kemajuan.
Dalam
perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah telah membawa semangat pembebasan,
yakni bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan
mendorong penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan.
Muhammadiyah tidak hanya memelihara kaum konservatif yang hanya
mengurusi masalah-masalah ritual-formalisme organisasi sembari
mengabaikan persoalan-persoalan sosial tanpa paradigma keilmuan yang
jelas.
Kedua,
Muhammadiyah harus terbuka terhadap pikiran-pikiran
progresif-liberatif, sehingga tidak menjadi organisasi Islam yang
eksklusif-tekstualis. Selama ini, ada sejumlah kekhawatiran dari para
elit Muhammadiyah terhadap anak-anak muda yang senang mengkaji
pemikiran-pemikiran progresif, yang sesungguhnya wajar sebagai sebuah
refleksi eforia intelektual. Seyogyanya para elit Muhammadiyah memberi
ruang kebebasan untuk berwacana dan mengekpresikan ide-idenya, baik
melalui forum-forum ilmiah maupun tulisan di berbagai media massa. Bukan
malah mengebiri dan mengganggapnya sebagai ancaman bagi Muhammadiyah.
Generasi baru pemikiran Islam tidak hanya bercorak liberal sebagai
kelanjutan dari reformisme awal yang dianut Dahlan, tetapi juga bercorak
“liberal yang liberatif” atau transformatif. Corak ini tidak berhenti
pada dimensi intelektual melainkan menterjemahkannya dalam bentuk
gerakan sosial baru (new social movement), dengan hermeneutika dan ilmu sosial kritis sebagai perangkat metodologisnya (Fuad, 2010).
Ketiga,
perlunya dialog lintas generasi di Muhammadiyah secara
berkesinambungan. Selama ini, kondisi yang tampak adalah kurangnya
intensitas pertemuan antara generasi muda dengan generasi tua. Bahkan
ada kesan generasi tua merasa sudah begitu senior, bahkan lebih
superior dibanding generasi mudanya. Kondisi seperti ini harusnya tak
boleh terjadi, sebab masa depan Muhammadiyah tak cukup dibebankan hanya
kepada kaum tua. Kaum muda Muhammadiyah harusnya mengambil bagian dan
peran yang signifikan bersama-sama dengan kaum tua, dan merumuskan
kembali prinsip purifikasi dan dinamisasi Islam dengan berbagai problem
dan perkembangan zaman sekarang ini. Dari situlah mereka dapat
melakukan kerja-kerja religius dan kebudayaan untuk masa depan yang
lebih mencerahkan.
Keempat,
perkembangan wacana pemikiran Islam yang demikian cepat makin
menjelaskan bahwa gaya konservatif tidak lagi memadai untuk merespons
masalah aktual yang terus bergulir. Lambatnya
kaum konservatif Muhammadiyah merespons masalah-masalah aktual, salah
satunya disebabkan oleh adanya monopoli tafsir. Kecenderungan ini
merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan
sakralisasi terhadap tafsir keagamaan.
Catatan Penutup
Rekonstruksi
Muhammadiyah sebagai gerakan permbaharuan diarahkan untuk menjawab
tantangan kemajuan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Aspek penting dari
rekonstruksi ini adalah menumbuhkan kesadaran warga Muhammadiyah untuk
tidak puas dengan keadaan yang ada. Mereka harus merasa sebagai
kelompok yang tidak ingin mempertahankan sesuatu itu sebagaimana adanya
(status quo), tetapi menjadi kelompok yang selalu peka terhadap
perubahan bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Berbagai tantangan yang
dihadapi oleh Muhammadiyah sebagian merupakan problem yang muncul
akibat pembaruan yang telah dilakukannya. Orang mengkaitkan kemajuan
ini dengan semakin meratanya ide dan ciri kemodernan yang dulu umumnya
hanya ditemukan di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi sekarang ini
hampir menggejala di kalangan masyarakat luas. Dalam beberapa aspek
pemikiran, dari sebagian kelompok yang disebut terakhir ini bahkan
ditemukan ide dan gagasan yang lebih maju, atau, paling tidak,
responsif terhadap wacana yang berkembang terkait dengan masalah
keagamaan kontemporer.
Muhammadiyah
telah mengukir kisah sukses melakukan perubahan ke arah kemajuan dalam
kehidupan umat/masyarakat dari kondisi tradisional ke kemajuan selaras
dengan tuntutan zaman. Dengan semangat kembali pada sumber ajaran
Islam yang murni (al-Quran dan al-Sunnah yang maqbulah) Muhammadiyah
mampu memperbarui alam berfikir dan model amaliah umat Islam dalam
sejumlah bidang kehidupan seperti pendidikan, gerakan perempuan,
pelayanan kesehatan dan sosial, pemberdayaan masyarakat, di samping
pemurnian akidah dan ibadah serta pembinaan akhlak Islami. Muhammadiyah
dalam konteks kehidupan masyarakat telah berhasil memodernisasi
kehidupan sosial dengan tetap mengokohkan fondasi iman dan kepribadian, sehingga mampu menampilkan Islam yang murni dan berkemajuan.
Kini
dalam usia satu abad Muhammadiyah dihadapkan pada masalah dan
tantangan baru dalam kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan yang
semakin kompleks. Muhammadiyah dengan paradigma tajdid dituntut untuk
memperkaya dan mempertajam orientasi tajdidnya yang bersifat pemurnian
dan pengembangan, sehingga mampu menjadi gerakan alternatif di tengah
lalulintas berbagai gerakan Islam dan gerakan sosial-kemasyarakatan
yang pusparagam. Masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan kesadaran
baru di tengah arus globalisasi memerlukan penghadapan tajdid
Muhammadiyah. Hal serupa diperlukan ketika menghadapi masalah krisis
moral dan spiritual yang diakibatkan oleh kehidupan modern yang
kehilangan keseimbangan dalam peradaban umat manusia.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000).
Fadl, Khalid Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006)
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, terj. Ruslani Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2004.
Jaenuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis, Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 1998).
Mughni, Syafiq A. Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Mulkhan, Abdul Munir, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan (Yogyakarta: UII Press, 2000).
Nashir, Haedar, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,” dalam Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009).
________,
“Paradigma Tajdid Muhammadiyah sebagai Gerakan Modernis Reformis”,
Makalah disajikan dalam Seminar Pra-Muktamar,“Satu Abad Gerakan Tajdid
Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi
Tajdid”, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal
21 s.d 22 November 2009
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi, 2004).
Soemantri, Gumilar Rusliwa, “Tajdid Muhammadiyah, Islam dan Kebangsaan”, Seminar Pra-Muktamar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar