MEDIA ONLINE IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Sabtu, 21 Maret 2015

Kegiatan IMM



IMM SEBAGAI KEPEMIMPINAN INTELEKTUAL


Senin 14 mei 2012, terkutip sebuah obrolan “ mereka berkompetisi demi kepentingan-kepentingan yang mereka bawa, bukan karena kepentingan-kepentingan ikatan, hanya sebuah kepentingan pribadi, membuat suasana tak seperti yang di harapkan dan penuh dengan kelicikan, semua ingin menuntaskan ego masing-masing, tidak ada toleransi, tidak ada empati, semua saling menjegal, dari mulai akar hingga keujung buahnya. Dari awal sudah terlihat, sudah terbaca, semuanya hanya memakaiikatan sebagai topeng, sebagaibarongsai untuk tercapainya ambisi pribadi dan akumuak, ini perlu dituntaskan”. Entah apayang dimaksud dengan kutipan obrolan itu, hanya saja satu yang bisa tertangkap dengan jelas yaitu kepemimpinan.


Dikutip dari makalah berjudul “definisi fariabel yang terkait leadership” Hendri kurniawan menjabarkan berbagai macam makna leadership atau bahasa rakyatnya “kepemimpinan” yang juga dikutip Hendri dari  Gary Yukl (2002), antara lain:
House dan rekan pada tahun 1999 mendefinisikan Kepemimpinan merupakan kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan memungkinkan orang-orang memberikan kontribusi terhadap keefektivan dan kesuksesan organisasi.

Sedangkan Drath & palus pada tahun 1994 mengartikan Kepemimpinan merupakan proses membangun rasa atas apa yang dilakukan bersama sedemikian rupa sehingga orang-orang memahami apa yang dilakukan dan bertanggung jawab.

E.H. Schein (1992) juga mendefinisikan Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk menapaki budaya dan secara evolusioner mulai berusaha mengubah proses-proses sehingga lebih adaptif.
Selain itu definisi dimana Kepemimpinan adalah proses mememberi arti terhadap usaha kolektif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran merupakan definisidari Jacobs dan Jacques, 1990.

Richards & Engle 1986 mengartikan Kepemimpinan adalah menyangkut pengartikulasian visi, pembentukan nilai-nilai, dan menciptakan lingkungan sehingga segala sesuatunya dapat diselesaikan.
Ada pula definisi lain dimana burns 1978 berpendapat bahwa Kepemimpinan merupakan latihan (exercise) yang memobilisasi orang-orang secara institusional, politik, psikologis, dan sumberdaya lain sedemikian rupa, untuk membangkitkan, mengikutsertakan, dan memuaskan motif-motif para pengikut. Serta Katz dan Kahn 1978 yang juga berpendapat bahwa Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi.

Dari berbagai macam definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya leadership atau kepemimpinan itu adalah perilaku seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau suatu kelompok beserta sub-sub sistemnya secara holistik demi tercapainya tujuan yang telah disepakati.
Terdapat berbagai macam tipe kepemimpinan, menurut Ritfan Wisesa dalam makalahnya yang berjudul  “Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Loyalitas” tipe kepemimpinan antara lain kepemimpinan otoriter, kepemimpinan demokratis, kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional,  dan mungkin masih banyak lagi tipe-tipe kepemimpinan yang lain. Ada salah satu tipe kepemimpinan yang baru saja penulis ketahui  dari persyaratan mengikuti DAM yaitu kepemimpinan intelektual.

Apa yang dikamksud dengan kepemimpinan intelektual?
Berbagai macam makna kepemimpinan telah dijabarkan secara singkat diatas, lalu apa yang di maksud dengan intelektual? Mengutip dari tulisan Reza A. A. Watimena tentang “Kaum Intelektual dan Kepemimpinan” dapat diartikan bahwa intelektual adalah sebuah pengetahuan teoritik mendalam, sekaligus kemampuan praktis yang dapat digunakan dalam penerapan, yang berguna untuk menyelesaikan masalah-masalah sehari-hari. Intelektual juga dapat diartikan sebagai kecerdasan, yaitu kecerdasan dimana seseorang memiliki sebuah kemampuan berfikir yang dapat membedakannya dari segi kualitas dengan orang lain. Masih mengutip dari makalah berjudul “Definisi Fariabel Yang Terkait Leadership” oleh Hendri kurniawan, makalah tersebut menyebutkan bahwa Kecerdasan intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Istilah ini dipopulerkan kembali pertama kali oleh Francis Galton, seorang ilmuwan dan ahli matematika yang terkemuka dari Inggris (Joseph, 1978, p.19). Inteligensi adalah kemampuan kognitif yang dimiliki organisme untuk menyesuaikan diri secara efektif pada lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor genetik (Galton, dalam Joseph, 1978).

Raven memberikan pengertian yang lain. Ia mendefinisikan inteligensi sebagai kapasitas umum individu yang nampak dalam kemampuan individu untuk menghadapi tuntutan kehidupan secara rasional (dalam Suryabrata, 1998). Intelligensi lebih difokuskan kepada kemampuannya dalam berpikir. Wechsler mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan global yang dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara bermakna serta bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efisien (dalam Anastasi dan Urbina, 1997).

Anastasi (1997, p.220) mengatakan bahwa inteligensi bukanlah kemampuan tunggal dan seragam tetapi merupakan komposit dari berbagai fungsi. Istilah ini umumnya digunakan untuk mencakup gabungan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya tertentu. Kemampuan intelektual ini dapat diukur dengan suatu alat tes yang biasa disebut IQ (Intellegence Quotient). IQ adalah ekspresi dari tingkat kemampuan individu pada saat tertentu, dalam hubungan dengan norma usia yang ada (Anastasi, 1997).

Dapat disimpulkan bahwasannya intelektual merupakan sebuah kecerdasan dimana individu memiliki kemampuan pembeda dengan orang lain dimana kemampuan tersebut digunakan untuk berpikir agar bertindak secara rasional serta berinteraksi dengan lingkungannya secara efektif dan efisien.
Berarti kepemimpinan intelektual dapat berarti perilaku seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau suatu kelompok beserta sub-sub sistemnya secara holistik demi tercapainya tujuan yang telah disepakati dengan menggunakan kemampuan berfikir rasional sehingga dapat berinteraksi dan bertindak secara efektif dan efisien.

Suatu kepemimpinan tidak akan berjalan tanpa adanya sosok pemimpin dan sosok terpimpin. Baik sosok yang memimpin maupun sosok yang dipimpin hendaknya memiliki sifat-sifat yang dapat mengantarkan pada pencapaian tujuan bersama sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat berbagai macam sifat “ideal” seorang pemimpin dan seorang yang dipimpin antara lain dengan kecerdasan. Kecerdasan seseorang merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pencapaian tujuan. Kecerdasan disini tak hanya diartikan sebagai sosok dengan keserbatahuannya. Melainkan juga sosok dengan keserbatahuannya yang dapat diterapkan dalam masyarakat dan dapat digunakan untuk merengkuh kelompok sosial yang ada agar pencapaian tujuan bersama dapat segera terwujud. Cerdas disini bukan hanya cerdas berfikir namun juga meliputi cerdas berinteraksi, bertindak dan cerdas dalam mengambil keputusan serta cerdas dalam membaca realita sosial yang sedang berjalan, membaca serta menelaah apa yang seharusnya dilakukan dan ditindak.

Selain itu pula seorang pemimpin hendaknya Sadar diri & sadar sosial. Ketika seorang pemimpin sudah memiliki kecerdasan namun tidak sadar akan kondisi yang ada disekitarnya maka kecerdasannya hanya sebuah label saja. Kecerdasannya akan sia-sia dan hanya akan menumpuk memenuhi otak. Namun ketika kecerdasan itu diikuti dengan kesadaran untuk berbuat atau merubah sesuatu, maka kecerdasan itu akan menjadi sebuah anugrah yang sangat bermanfaat.

Pemimpin juga hendaknya memiliki sifat kepedulian, Kepedulian merupakan elemen yang sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin maupun pengikutnya. Tak hanya kepedulian antar sesama golongannya atau sesama manusia, namun juga kepedulian terhadap sistem sosial yang sedang berjalan. Kepedulian merupakan sebuah manifestasi dari pembelajaran akan lingkungan dan sistem sosial yang sedang berjalan. Kepedulian merupakan tahap lanjut dari sintesis sebuah proses membaca masyarakat. Ketika kecerdasan, kepedulian dan kesadaran itu telah bersatu maka akan menyusul sikap untuk berinisiatif, Kreatif, Visioner dan Independen, pada akhirnya sebuah tindakan pun akan terwujud jika keberanian sudah melandasi.

Lalu bagaimana halnya dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah? Bukankah IMM merupakan sebuah wadah pergerakan mahasiswa, dan sekali lagi cap intelektualitas pada tubuh mahasiwa itu sendiri sudah merekat erat. Sudahkan IMM melaksanakan kepemimpinan intelektual ini?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis seharusnya memang harus mencari evidence basenya terlebih dahulu.

Apabila didasarkan pada sudut pandang dari kaca mata penulis yang sudah sedikit kabur, pelaksanaan kepemimpinan intelektual belum sepenuhnya dilaksanakan. Walaupun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sudah memiliki tradisi intelektual yang sudah cukup berjalan dengan baik yaitu diskusi, membaca dan menulis, tapi sepertinya tradisi itu hanyalah menjadi sebuah tradisi yang hasilnya belum maksimal diterapkan dalam berorganisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Para kaum intelektual IMM sepertinya belum mampu secara komprehensif dan holistik menerapkan apa yang telah dikaji, dibaca dan ditulis. Sebagai bukti nyata adalah kutipan obrolan yang sempat tertangkap telinga penulis yang dijadikan prolog dari tulisan ini. Masih ada beberapa kaum yang belum sepenuhnya sadar diri dan sadar sosial, belum terlihat ikhlas dalam berjuang dan masih menghawatirkan soal jabatan, padahal menurut Kuntowijoyo,kaum intelektual adalah kaum yang berani, berani mengambil suatu pilihan dan jalan untuk melakukan transformasi sosial, memiliki sifat independen dan tidak berpangkat dan tak bertahta.

Realita ini sepertinya yang masih perlu di evaluasi dari tubuh ikatan kita. Agar mencapai hasil yang maksimal, yaitu menjadikan IMM sebagai kepemimpinan intelektual maka penelusuran dari awal sepertinya perlu dilakukan. Awalnya perlu dikaji terlebih dahulu kondisi realikatan saat ini begitu pula kader yang ada. Dikaji secara keseluruhan, tak hanya kebiasaan intelektualnya namun juga kebiasaan dalam berinteraksi serta kepekaan sosialnya.perlu dikaji pula kesadaran diri para kader mengenai potensi-potensinya, tak hanya potensi yang dapat meningkatkan kualitas ikatan ke arah yang lebih baik, namun juga potensi-potensi indifidu yang nantinya beresiko berubah menjadi sebuah karsinogen dan patogen yang dapat menggerogoti tubuh ikatan.

Selain itu pula perlu dikaji kepekaan kader terhadap lingkungan sekitarnya, meminjam istilah “comunity as partner”nya Anderson dan Mcfarlane, sebagai observator,sekiranya tidakhanya mengkaji inti atau core nya saja, ketika kualitas kader memang sudah baik dan “berilmu” kita pun perlu mengkaji sub sistem yang melingkarinya, apakah “inti” ini memang peduli dan peka terhadap perubahan lingkungan yang ada baik dari segi ekonomi, sosial, polotik, budaya dan agama.

Ketika proses penciptaan kader intelektual berjalan dengan baik, maka mimpi untuk menjadikan Ikatan sebagai kepemimpinan Intelektual pun akan terwujud. Tak hanya menjadikan intelektualitas sebagai topeng namun benar-benar menjadikan intelektualitassebagai sarana untuk memperbaiki diri, merubah komunitas kearah yang lebih baik dan menciptakan iklim berkemajuan yang begitu indah di ranah sosial.
Apabila seluruh proses terus berjalan dengan berkesinambungan, dan dibarengidengan evaluasi yang terus menerus maka kesetabilan sistem yang di harapkan pun akan tercapai. Sehingga perebutan kekuasaan, ketidak pedulian, jegal menjegal, serta kepentingan perseorangan itu tak akan muncul lagi di tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang jaya ini. (Alif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar