IMM SEBAGAI KEPEMIMPINAN INTELEKTUAL
Senin 14 mei 2012, terkutip sebuah obrolan “ mereka berkompetisi
demi kepentingan-kepentingan yang mereka bawa, bukan karena
kepentingan-kepentingan ikatan, hanya sebuah kepentingan pribadi,
membuat suasana tak seperti yang di harapkan dan penuh dengan kelicikan,
semua ingin menuntaskan ego masing-masing, tidak ada toleransi, tidak
ada empati, semua saling menjegal, dari mulai akar hingga keujung
buahnya. Dari awal sudah terlihat, sudah terbaca, semuanya hanya
memakaiikatan sebagai topeng, sebagaibarongsai untuk tercapainya ambisi
pribadi dan akumuak, ini perlu dituntaskan”. Entah apayang dimaksud
dengan kutipan obrolan itu, hanya saja satu yang bisa tertangkap dengan
jelas yaitu kepemimpinan.
Dikutip dari makalah berjudul “definisi fariabel yang terkait
leadership” Hendri kurniawan menjabarkan berbagai macam makna leadership
atau bahasa rakyatnya “kepemimpinan” yang juga dikutip Hendri dari
Gary Yukl (2002), antara lain:
House dan rekan pada tahun 1999 mendefinisikan Kepemimpinan merupakan
kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan memungkinkan
orang-orang memberikan kontribusi terhadap keefektivan dan kesuksesan
organisasi.
Sedangkan Drath & palus pada tahun 1994 mengartikan Kepemimpinan
merupakan proses membangun rasa atas apa yang dilakukan bersama
sedemikian rupa sehingga orang-orang memahami apa yang dilakukan dan
bertanggung jawab.
E.H. Schein (1992) juga mendefinisikan Kepemimpinan merupakan
kemampuan untuk menapaki budaya dan secara evolusioner mulai berusaha
mengubah proses-proses sehingga lebih adaptif.
Selain itu definisi dimana Kepemimpinan adalah proses mememberi arti
terhadap usaha kolektif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan
usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran merupakan definisidari
Jacobs dan Jacques, 1990.
Richards & Engle 1986 mengartikan Kepemimpinan adalah menyangkut
pengartikulasian visi, pembentukan nilai-nilai, dan menciptakan
lingkungan sehingga segala sesuatunya dapat diselesaikan.
Ada pula definisi lain dimana burns 1978 berpendapat bahwa
Kepemimpinan merupakan latihan (exercise) yang memobilisasi orang-orang
secara institusional, politik, psikologis, dan sumberdaya lain
sedemikian rupa, untuk membangkitkan, mengikutsertakan, dan memuaskan
motif-motif para pengikut. Serta Katz dan Kahn 1978 yang juga
berpendapat bahwa Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi
sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap
pengarahan-pengarahan rutin organisasi.
Dari berbagai macam definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya leadership atau kepemimpinan itu adalah perilaku seseorang
yang dapat mempengaruhi orang lain atau suatu kelompok beserta sub-sub
sistemnya secara holistik demi tercapainya tujuan yang telah disepakati.
Terdapat berbagai macam tipe kepemimpinan, menurut Ritfan Wisesa
dalam makalahnya yang berjudul “Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan
Loyalitas” tipe kepemimpinan antara lain kepemimpinan otoriter,
kepemimpinan demokratis, kepemimpinan transformasional, kepemimpinan
transaksional, dan mungkin masih banyak lagi tipe-tipe kepemimpinan
yang lain. Ada salah satu tipe kepemimpinan yang baru saja penulis
ketahui dari persyaratan mengikuti DAM yaitu kepemimpinan intelektual.
Apa yang dikamksud dengan kepemimpinan intelektual?
Berbagai macam makna kepemimpinan telah dijabarkan secara singkat
diatas, lalu apa yang di maksud dengan intelektual? Mengutip dari
tulisan Reza A. A. Watimena tentang “Kaum Intelektual dan Kepemimpinan”
dapat diartikan bahwa intelektual adalah sebuah pengetahuan teoritik
mendalam, sekaligus kemampuan praktis yang dapat digunakan dalam
penerapan, yang berguna untuk menyelesaikan masalah-masalah sehari-hari.
Intelektual juga dapat diartikan sebagai kecerdasan, yaitu kecerdasan
dimana seseorang memiliki sebuah kemampuan berfikir yang dapat
membedakannya dari segi kualitas dengan orang lain. Masih mengutip dari
makalah berjudul “Definisi Fariabel Yang Terkait Leadership” oleh Hendri
kurniawan, makalah tersebut menyebutkan bahwa Kecerdasan intelektual
lazim disebut dengan inteligensi. Istilah ini dipopulerkan kembali
pertama kali oleh Francis Galton, seorang ilmuwan dan ahli matematika
yang terkemuka dari Inggris (Joseph, 1978, p.19). Inteligensi adalah
kemampuan kognitif yang dimiliki organisme untuk menyesuaikan diri
secara efektif pada lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta
dipengaruhi oleh faktor genetik (Galton, dalam Joseph, 1978).
Raven memberikan pengertian yang lain. Ia mendefinisikan inteligensi
sebagai kapasitas umum individu yang nampak dalam kemampuan individu
untuk menghadapi tuntutan kehidupan secara rasional (dalam Suryabrata,
1998). Intelligensi lebih difokuskan kepada kemampuannya dalam berpikir.
Wechsler mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan global yang
dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir
secara bermakna serta bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efisien
(dalam Anastasi dan Urbina, 1997).
Anastasi (1997, p.220) mengatakan bahwa inteligensi bukanlah
kemampuan tunggal dan seragam tetapi merupakan komposit dari berbagai
fungsi. Istilah ini umumnya digunakan untuk mencakup gabungan
kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya
tertentu. Kemampuan intelektual ini dapat diukur dengan suatu alat tes
yang biasa disebut IQ (Intellegence Quotient). IQ adalah ekspresi dari
tingkat kemampuan individu pada saat tertentu, dalam hubungan dengan
norma usia yang ada (Anastasi, 1997).
Dapat disimpulkan bahwasannya intelektual merupakan sebuah kecerdasan
dimana individu memiliki kemampuan pembeda dengan orang lain dimana
kemampuan tersebut digunakan untuk berpikir agar bertindak secara
rasional serta berinteraksi dengan lingkungannya secara efektif dan
efisien.
Berarti kepemimpinan intelektual dapat berarti perilaku seseorang
yang dapat mempengaruhi orang lain atau suatu kelompok beserta sub-sub
sistemnya secara holistik demi tercapainya tujuan yang telah disepakati
dengan menggunakan kemampuan berfikir rasional sehingga dapat
berinteraksi dan bertindak secara efektif dan efisien.
Suatu kepemimpinan tidak akan berjalan tanpa adanya sosok pemimpin
dan sosok terpimpin. Baik sosok yang memimpin maupun sosok yang dipimpin
hendaknya memiliki sifat-sifat yang dapat mengantarkan pada pencapaian
tujuan bersama sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat berbagai macam
sifat “ideal” seorang pemimpin dan seorang yang dipimpin antara lain
dengan kecerdasan. Kecerdasan seseorang merupakan salah satu kunci utama
keberhasilan pencapaian tujuan. Kecerdasan disini tak hanya diartikan
sebagai sosok dengan keserbatahuannya. Melainkan juga sosok dengan
keserbatahuannya yang dapat diterapkan dalam masyarakat dan dapat
digunakan untuk merengkuh kelompok sosial yang ada agar pencapaian
tujuan bersama dapat segera terwujud. Cerdas disini bukan hanya cerdas
berfikir namun juga meliputi cerdas berinteraksi, bertindak dan cerdas
dalam mengambil keputusan serta cerdas dalam membaca realita sosial yang
sedang berjalan, membaca serta menelaah apa yang seharusnya dilakukan
dan ditindak.
Selain itu pula seorang pemimpin hendaknya Sadar diri & sadar
sosial. Ketika seorang pemimpin sudah memiliki kecerdasan namun tidak
sadar akan kondisi yang ada disekitarnya maka kecerdasannya hanya sebuah
label saja. Kecerdasannya akan sia-sia dan hanya akan menumpuk memenuhi
otak. Namun ketika kecerdasan itu diikuti dengan kesadaran untuk
berbuat atau merubah sesuatu, maka kecerdasan itu akan menjadi sebuah
anugrah yang sangat bermanfaat.
Pemimpin juga hendaknya memiliki sifat kepedulian, Kepedulian
merupakan elemen yang sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin maupun
pengikutnya. Tak hanya kepedulian antar sesama golongannya atau sesama
manusia, namun juga kepedulian terhadap sistem sosial yang sedang
berjalan. Kepedulian merupakan sebuah manifestasi dari pembelajaran akan
lingkungan dan sistem sosial yang sedang berjalan. Kepedulian merupakan
tahap lanjut dari sintesis sebuah proses membaca masyarakat. Ketika
kecerdasan, kepedulian dan kesadaran itu telah bersatu maka akan
menyusul sikap untuk berinisiatif, Kreatif, Visioner dan Independen,
pada akhirnya sebuah tindakan pun akan terwujud jika keberanian sudah
melandasi.
Lalu bagaimana halnya dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah? Bukankah
IMM merupakan sebuah wadah pergerakan mahasiswa, dan sekali lagi cap
intelektualitas pada tubuh mahasiwa itu sendiri sudah merekat erat.
Sudahkan IMM melaksanakan kepemimpinan intelektual ini?. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, penulis seharusnya memang harus mencari evidence
basenya terlebih dahulu.
Apabila didasarkan pada sudut pandang dari kaca mata penulis yang
sudah sedikit kabur, pelaksanaan kepemimpinan intelektual belum
sepenuhnya dilaksanakan. Walaupun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sudah
memiliki tradisi intelektual yang sudah cukup berjalan dengan baik yaitu
diskusi, membaca dan menulis, tapi sepertinya tradisi itu hanyalah
menjadi sebuah tradisi yang hasilnya belum maksimal diterapkan dalam
berorganisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Para kaum intelektual IMM
sepertinya belum mampu secara komprehensif dan holistik menerapkan apa
yang telah dikaji, dibaca dan ditulis. Sebagai bukti nyata adalah
kutipan obrolan yang sempat tertangkap telinga penulis yang dijadikan
prolog dari tulisan ini. Masih ada beberapa kaum yang belum sepenuhnya
sadar diri dan sadar sosial, belum terlihat ikhlas dalam berjuang dan
masih menghawatirkan soal jabatan, padahal menurut Kuntowijoyo,kaum
intelektual adalah kaum yang berani, berani mengambil suatu pilihan dan
jalan untuk melakukan transformasi sosial, memiliki sifat independen dan
tidak berpangkat dan tak bertahta.
Realita ini sepertinya yang masih perlu di evaluasi dari tubuh ikatan
kita. Agar mencapai hasil yang maksimal, yaitu menjadikan IMM sebagai
kepemimpinan intelektual maka penelusuran dari awal sepertinya perlu
dilakukan. Awalnya perlu dikaji terlebih dahulu kondisi realikatan saat
ini begitu pula kader yang ada. Dikaji secara keseluruhan, tak hanya
kebiasaan intelektualnya namun juga kebiasaan dalam berinteraksi serta
kepekaan sosialnya.perlu dikaji
pula kesadaran diri para kader mengenai potensi-potensinya, tak hanya
potensi yang dapat meningkatkan kualitas ikatan ke arah yang lebih baik,
namun juga potensi-potensi indifidu yang nantinya beresiko berubah
menjadi sebuah karsinogen dan patogen yang dapat menggerogoti tubuh
ikatan.
Selain itu pula perlu dikaji kepekaan kader terhadap lingkungan
sekitarnya, meminjam istilah “comunity as partner”nya Anderson dan
Mcfarlane, sebagai observator,sekiranya tidakhanya mengkaji inti atau
core nya saja, ketika kualitas kader memang sudah baik dan “berilmu”
kita pun perlu mengkaji sub sistem yang melingkarinya, apakah “inti” ini
memang peduli dan peka terhadap perubahan lingkungan yang ada baik dari
segi ekonomi, sosial, polotik, budaya dan agama.
Ketika proses penciptaan kader intelektual berjalan dengan baik, maka
mimpi untuk menjadikan Ikatan sebagai kepemimpinan Intelektual pun akan
terwujud. Tak hanya menjadikan intelektualitas sebagai topeng namun
benar-benar menjadikan intelektualitassebagai sarana untuk memperbaiki
diri, merubah komunitas kearah yang lebih baik dan menciptakan iklim
berkemajuan yang begitu indah di ranah sosial.
Apabila seluruh proses terus berjalan dengan berkesinambungan, dan
dibarengidengan evaluasi yang terus menerus maka kesetabilan sistem yang
di harapkan pun akan tercapai. Sehingga perebutan kekuasaan, ketidak
pedulian, jegal menjegal, serta kepentingan perseorangan itu tak akan
muncul lagi di tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang jaya ini. (Alif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar